Scroll Untuk Membaca Artikel
OpiniPolitik

Nasib NU Pasca Pilgub Jatim

×

Nasib NU Pasca Pilgub Jatim

Sebarkan artikel ini
moh rasyid
Moh. Rasyid, Mahasiswa UTM Bangkalan

Oleh: Moh. Rasyid
(Mahasiswa UTM Bangkalan)

Tulisan sederhana ini saya persembahkan untuk yang mulia:

GESER KE ATAS
SPACE IKLAN

Prof Dr KH Said Aqil Siradj, MA, (Ketua Umum PBNU)

Drs. H. Syaifullah Yusuf (Calon Gubernur Jawa Timur)

Khofifah Indar Parawansa (Calon Gubernur Jawa Timur)

Dan tentu para ulama beserta Warga NU yang tidak mungkin saya sebut satu persatu.

Setelah melalui proses persiapan yang sangat panjang, pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur 2018 menyita banyak perhatian dari berbagai kalangan. Mulai dari partai politik (Parpol), elite politik, akademisi, bahkan beberapa tokoh ulama’ yang juga ikut andil dalam kontestasi Pilkada Jatim 2018. Dalam babakan drama politik pada Pilkada Jatim kali ini, kita disuguhi lakon politik yang amat dramatis. Syaifullah Yusuf yang selama dua periode sebelumnya menjadi wakil Gubernur Jawa Timur (latar;eksekutif) berpasangan dengan Puti Guntur Soekarno (latar;legislatif), dan Khofifah Indar Parawansa (latar;eksekutif) bersama Emil Elistiano Dardak (latar;eksekutif).

Dari sisi track record masing-masing calon tersebut, dapat dipastikan keduanya merupakan sosok yang mumpuni dalam hal kepemimpinan (leadership). Terbukti berbagai model kursi jabatan dari tingkat paling bawah hingga pada tingkatan Republik pernah mereka jamah, seperti di eksekutif dan legislatif. Kondisi ini yang kemudian menjadi warna baru dalam pesta demokrasi lima tahunan rakyat Jatim kali ini. Namun demikian, semuanya kembali pada konteks hak asasi nurani rakyat dalam menentukan pilihannya di Pilkada Jatim mendatang.

Pilkada Jatim 2018 sudah hampir tiba. Berbagai strategi politik pun dilakukan untuk mencapai puncak kemenangan demokrasi. Isu-isu hangat kian menerpa masing-masing pasangan calon. Dari isu pembelaan terhadap dirinya, bahkan isu untuk menumbangkan kompetator politiknya marak disebar-luaskan kepada khalayak Jatim. 27 Juni 2018 menjadi hari penentu siapa sosok yang layak memimpin Jawa Timur. Para politisi, akademisi, tokoh masyarakat, bahkan ulama’ sekalipun sedang bersiap diri untuk memenangkan pemimpin pilihannya.

Dalam kontes ini, Pilkada Jatim akan berlangsung lebih sengit dari pada sebelumnya. Implikasinya dapat sedikit diprediksikan akan memicu konflik berkepanjangan dikalangan ulama’ jika tidak didasari dengan filter diri yang kuat, khususnya dikalangan nahdhiyyin (sebutan masyarakat pengikut NU).

Kita dapat berpendapat Pilkada Jatim tahun ini sebagai panggung duel politik elite NU, karena pasangan calon yang akan berebut kepemimpinan di Jawa Timur ini notebene adalah kader NU. Gus Ipul (Syaifullah Yusuf) merupakan mantan Ketua Umum GP Ansor, memiliki trah kiai. Juga kompetitornya, Khofifah Indar Parawansa. Meski garis keluarganya bukan tergolong kiai, nama besar Khofifah di kalangan masyarakat NU, khususnya emak-emak, tak perlu diragukan lagi. Sejak tahun 2016 hingga sekarang, Khofifah tercatat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muslimat NU.

Kaitannya dengan ini, dapat dipastikan perebutan suara di Jawa Timur akan berlangsung ketat. Hal ini berbanding lurus dengan terbelahnya dukungan tokoh-tokoh NU, khususnya dari kalangan kiai. Gus Ipul yang diprediksi kuat di daerah Tapal Kuda, Probolinggo, dan sekitarnya, dipastikan akan mendapat perlawanan cukup sengit. Karena Khofifah sendiri juga memiliki basis dukungan cukup besar, terutama dari kalangan nahdhiyyin Madura seperti pesantren, santri, nyai, dan kiai setempat.

Lantas, masih adakah diantara kita yang meragukan dukungan dari tokoh-tokoh NU akan tetap utuh tak terpecah-belahkan? Tentulah tidak. Keberpihakan dukungan NU pada masing-masing jagoan politiknya bukan merupakan dampak dari kebijakan struktural yang dilakukan internal NU untuk memecah-belah organisasinya, namun sirkulasi politik yang semakin memanas mengubah pernyataan menjadi kenyataan yang mewarnai Pilkada Jatim.

Hemat saya, Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur kali ini membutuhkan perhatian yang betul-betul serius dari warga NU-pada khususnya. Karena kedua kontestan politik di Pilkada saat ini sebagai representasi dari organisasi yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 Masehi atau 16 Rajab 1344 Hijriyah di Kota Surabaya tersebut. Dapat dipastikan jika kita (nahdhiyyin) bersikap lengah, apalagi tak acuh dalam meghadapi pesta demokrasi 2018 yang melibatkan salah satu kader terbaiknya, maka berbagai kemungkinan krusial akan menghantui internal NU. Kemungkinan yang justru akan menjadikan NU semakin tidak kondusif lagi, saling senggol satu sama lain, bahkan memicu terjadinya situasi dimana warga NU akan saling menjatuhkan sesamanya.

Lalu, bagaimana dengan nasib NU dan para pengikutnya pasca Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018? Apakah hanya persoalan “sepele” ini warga NU akan saling bermusuhan? Jawaban dari pertanyaan ini sebenarnya ada pada diri kita masing-masing sebagai tulang punggung NU itu sendiri. Selama warga NU masih sanggup ber-tabayyun dalam menghadapi setiap persoalan yang ada, NU tidak akan pernah bergeser dari garis substansinya. Dan selama warga NU masih siap menjadi pondasi dasar tiang NU, tidak akan pernah ada golongan yang berani mengkotak-kotakan NU sehingga terjadi pergeseran orientasi pada wajah NU.

Justru Pilkada Jatim menjadi momentum bagi semua warga NU, khususnya bagi Syaifullah Yusuf dan Khofifah Indar Parawansa untuk lebih bijaksana dan mandiri dalam berdemokrasi. Tidak ada maksud dan tujuan untuk menggurui, melainkan semua ini sebagai bentuk kepedulian warga NU demi kelancaran jalannya Pilkada Jatim 2018 dan kedamaian diantara warga NU. Persoalan kemudian salah satu diantara mereka (Gus Ipul & Khofifah) ada yang kalah, bukankah hal tersebut adalah hukum alam yang tidak dapat dipungkiri dalam prinsip demokrasi. Menang dan kalah adalah sesuatu yang pasti dalam sebuah pertarungan. Menang–kalah sebetulnya sama saja. Yang menang akan bersyukur, yang kalah pasti akan bersabar. Pesannya, siapa pun yang menang tetap akan kita support dia, tanpa menyisahkan sedikitpun benalu bagi dia yang kalah. Intinya, apapun keputusan akhirnya, ini semua merupakan kemenangan Jawa Timur pada umumnya, dan warga NU pada khususnya.

Sudah saatnya pesta demokrasi menjadi wadah pemersatu bangsa, bukan sebagai ajang permusuhan atau pertengkaran. Persatuan warga NU akan mencuak setelah helatan Pilkada Jatim 2018 usai. Semoga NU menjadi organisasi yang tetap konsisten berpegang teguh pada karakternya, moderat (tawassuth), toleran (tasamuh), dan harmoni (tawazun). Teruntuk Syaifullah Yusuf dan Khofifah Indar Parawansa, coba buktikan bahwa anda cinta mati kepada Jawa Timur dan NU.

× How can I help you?