OLEH : Aliya
Mahasiswi Institut Sains dan Teknologi An-nuqayah
__________________________
Sejak disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pindana (RKUHP) pada tanggal 6 Desember 2022 lalu, ternyata banyak memanen komen dari berbagai pihak, sebab dari awal memang ditolak oleh masyarakat sipil.
Mungkin saja wakil rakyat ‘pura-pura’ menutup mata dan telinga karena tetap mengesahkan rancangan undang-undang yang memang menuai polemik sejak empat tahun silam dan masih banyak kemungkinan lainnya karena kami rakyat kecil tidak boleh ‘berprasangka buruk’ terhadap pemerintah yang sudah berbaik hati mengatur segala bentuk tata kehidupan.
Selain memuat beberapa pasal kontroversial, masyarakat menilai rancangan undang-undang terbaru masih meneruskan tradisi kolonial yang menganak tirikan rakyat sendiri sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara demokrasi.
Peristiwa tersebut mau tidak mau memaksa kita untuk mengingat kembali aksi demonstrasi besar-besaran pada tahun 2019 dengan agenda yang sama yaitu menolak pengesahan RKUHP pada waktu itu. Lantas apakah pemerintahan kita sedang mengalami ‘tunarungu’ sehingga suara rakyat termarjinalkan dari substansi dibentuknya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) itu sendiri?
#SemuaBisaKena kecuali?
Tagar #SemuaBisaKena sempat menjadi trending tagar di semua media sosial sebagai bentuk protes publik terhadap bentroknya suara pemerintah dengan masyarakat. Mbak Najwa Shihab dalam kanal YouTube-nya mengatakan “Jangan sampai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjelma menjadi hewan buas yang sengaja dilepas, menerkam siapa saja, #SemuaBisaKena kecuali Tuannya”
Benar sekali, masyarakat kita adalah masyarakat yang dipaksa patuh terhadap pemerintah yang menjadi tuhan kecil dan menyusun skenario berjilid-jilid pasal yang tidak transparan. Beberapa pasal kontroversial justru dinilai menyasar pada problem ranah pribadi dan mempersempit ruang berekspresi publik. Diantaranya ialah, pasal yang mengatur penghinaan terhadap Presiden, pasal makar, penghinaan lembaga negara, pidana demo tanpa pemberitahuan, hukuman koruptor turun, pidana kumpul kebo dan lain sebagainya.
Mengutip dari Republika.co.id Peneliti Pusat Studi Hukum dan HAM LP3ES Milda Istiqomah menilai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpeluang mengancam demokrasi di Tanah Air. Ia khawatir, KUHP akan digunakan untuk memuluskan tujuan penguasa, apalagi menjelang hangatnya isu-isu pesta pemilu 2024.
Dewan pers, mahasiswa, guru, petani, dosen dan seluruh masyarakat Indonesia #SemuaBisaKena kecuali para pembuat undang-undang. Protes ditujukan untuk mencegah tindakan kriminalisasi agar demokrasi tidak hanya menjadi catatan diatas kertas tanpa arti.
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), alat pembungkam masyarakat
Ibarat peribahasa ‘Maju kena mundur kena’ masyarakat kita tengah berada dalam situasi serba dilema. Sejarah Indonesia mencatat, hukum pidana Indonesia merupakan adopsi warisan hukum Belanda yang bernama Wetbeok Van Strafrecht Voor Nederlandsch-Indie yang disahkan melalui undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang kemudian dinamakan Kita Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Beberapa akademisi khawatir dekolonisasi hanya tercatat dalam undang-undang tapi tidak dalam praktik hukum kita. Ditambah tidak adanya transparansi pembukuan draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sangat penting untuk melibatkan publik dalam pemberian kritik, saran dan aspirasi. Padahal sederhana harapan rakyat, yaitu perubahan dengan hadirnya tata kehidupan baru yang di dukung penuh oleh penguasa agar tercipta sinergi demokrasi yang sesungguhnya.
Lalu sekarang sejak disahkannya pasal-pasal tersebut, apa daya kami sebagai rakyat kecil, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sedangkan jarak antara rakyat dan wakil rakyat begitu jauh dan dingin, sedingin jeruji besi yang siap membungkam masyarakat awam jika dinilai terlalu mengkritisi pemerintahan.