Scroll Untuk Membaca Artikel
DaerahNasional

Kisah Nenek Sebatang Kara di Gubuk Reyot, Teriak-teriak Saat Lapar

×

Kisah Nenek Sebatang Kara di Gubuk Reyot, Teriak-teriak Saat Lapar

Sebarkan artikel ini
3294010907
Rumah Amur sudah tidak ditempati karena kawatir ambruk. Gentengnya sudah banyak berjatuhan, dindingnya bolong-bolong dan kayu-kayunya sudah banyak yang lapuk.(TAUFIQURRAHMAN) Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Pilu Nenek Amur, Sebatang Kara di Gubuk Reyot, Teriak-teriak Saat Lapar...", https://regional.kompas.com/read/2019/07/05/09300021/kisah-pilu-nenek-amur-sebatang-kara-di-gubuk-reyot-teriak-teriak-saat-lapar?page=3. Penulis : Kontributor Pamekasan, Taufiqurrahman Editor : Aprillia Ika

PAMEKASAN, Limadetik.com – Seorang nenek yang tinggal sebatang kara di Dusun Janglateh Barat, Desa Campor, Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, sering teriak-teriak saat lapar atau sakit perut. Teriakannya terdengar sampai ke rumah tetangganya yang jaraknya hingga 100 meter dari tempat tinggal Amur (72).

Bagi yang mendengarnya, mereka sudah tahu bahwa Amur butuh makan atau butuh obat untuk mengobati sakit lambung yang dideritanya tujuh tahun terakhir. Tiga anaknya sudah tinggal berjauhan dengan Amur. Satu anaknya bernama Abdul Hadi, sudah meninggal tiga tahun yang lalu setelah menderita sakit keras pascapulang dari Malaysia menjadi TKI.

GESER KE ATAS
SPACE IKLAN

Dua anak lainnya, Sulihah dan Sumairah, tinggal di dusun yang sama. Mereka tinggal sekitar 200 meter dari rumah Amur. Sulihah dan Sumairah, keduanya, sudah hidup menjanda.

Halaman rumah terlihat sepi. Rumah berukuran 4×3 meter, kondisinya sudah nyaris ambruk. Atapnya sudah bolong-bolong karena sebagian gentengnya berjatuhan ke tanah.

Dinding rumahnya dari anyaman bambu, juga terlihat bolong dari berbagai penjuru. Rumah tersebut sudah tidak ditempati.

Di depan rumah, ada dapur besar berukuran 3×2. Di atas gentengnya, terlihat ada bekas nasi yang dikeringkan, dengan beralaskan karung plastik. Di dalam dapur, sebuah tungku tanah sudah tertutup debu tebal.

Beberapa ekor ayam dan kucing, berkeliaran di dalamnya. Dapur tersebut, hampir tidak ada bedanya dengan kandang hewan ternak. Amur, tinggal di suraunya. Ia tidak bisa mengenali siapa yang datang. Matanya sudah rabun.

Setiap ada suara di halaman rumahnya, ia menyebut nama Sumairah atau Sulihah. Dua anaknya itu yang paling sering datang mengunjunginya. Ada beberapa tetangga yang merasa iba dengan kondisi Amur, juga datang memberikan makanan sekadarnya.

Melihat ada orang datang di rumah ibunya, Sumairah yang tinggal 200 meter dari rumah ibunya, datang menghampiri setelah mendengar informasi dari tetangganya. Ia tahu jika yang datang, membawa sedikit bantuan. Ia bercerita tentang nasib ibunya dan keluarganya.

Amur hidup tanpa mendapat perhatian dari pemerintah. Sulihah berkata, hidupnya yang miskin, masih terbebani untuk merawat keluarganya sendiri dan ibunya. Sedangkan Sumairah sendiri, sudah janda dan menganggur. Dirinya bekerja serabutan, menjadi kuli tani.

“Ibu saya kalau lapar sering teriak-teriak minta makan. Kalau kebetulan ada beras, saya memasaknya. Kalau tidak ada beras, saya rebus ketela yang diambil di kebun,” terang Sumairah.

Untuk kebutuhan belanja sehari-hari, Sumairah mengaku kadang seminggu hanya punya uang Rp 5.000. Uang tersebut dibelanjakan untuk lauk ibunya. Untuk dirinya, sudah tidak dipikirkan. Yang didahulukan adalah ibunya.

“Kalau saya bisa kuat menahan lapar. Ibu saya teriak-teriak kalau lapar,” imbuh Sumairah.

Yang paling membingungkan, ketika Amur mengeluh sakit lambung. Selain teriak-teriak, Amur juga sampai menangis karena menahan sakit. Saat kondisi seperti itu, Sumairah harus pergi mencari utangan ke tetangganya untuk membeli obat pereda sakit lambung.

“Saya tidak tega kalau penyakit lambung ibu kambuh. Demamnya langsung naik. Meskipun utang, terpaksa saya jalani,” ungkap Sulihah.

Suatu waktu, demam Amur tidak turun selama dua hari. Sumairah kebingungan. Ia mengubungi adiknya, Sulihah.

Keduanya memutuskan untuk mendatangkan seorang perawat di desanya. Namun, segala biaya dan obat tidak ditarik biaya. Alasannya, perawat itu datang hanya sekedar membantu.

“Ada tetangga yang jadi perawat. Ia beberapa kali kami datangkan karena ibu sudah tidak bisa jalan. Alhamdulillah, perawat itu tidak pernah minta bayaran,” ujar Sumairah.

Belakangan, ada beberapa orang yang prihatin dengan kondisi Amur. Mereka datang menyalurkan bantuan kepada Amur. Bahkan ada sekelompok pemuda, datang memberikan bantuan alas kasur, sembako dan uang sekedarnya.

“Saya prihatin mendengar kehidupan Amur. Bersama kawan-kawan, saya kumpulkan uang untuk membantu Amur,” ucap Fudholi, pemuda asal Kecamatan Palengaan, Pamekasan.

Bahkan, Fudholi dan kawan-kawannya, akan berusaha untuk merehab rumah tinggal Amur. Ia akan mengumpulkan donasi bersama kawan-kawannya.

“Mator kaso’on bentoana. Samoga etarema bik se kobesa Allah ta’ala. (Terima kasih bantuannya. Semoga diterima oleh Allah SWT),” kata Amur kepada Fudholi dengan bahasa Madura.

Hingga saat ini, belum pernah ada aparat dari desa atau kecamatan yang datang melihat kondisi Amur. Namun demikian, Sulihah tidak mempersoalkannya. Hidup serba kekurangan, sudah lama dijalani Sulihah dan Amur serta anak-anaknya.

“Ada bantuan atau tidak ada, saya pasrah kepada Allah. Karena hidup dan mati itu di tanganNya,” kata Sumairah.

 

 

 

 

 


Sumber: Kompas

× How can I help you?