Artikel

Marketplace Guru di Indonesia

×

Marketplace Guru di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Marketplace Guru di Indonesia
Marketplace Guru

Marketplace Guru di Indonesia

Oleh Faisol Ridho
__________________________

ARTIKEL – Berbicara mengenai pendidikan di Indonesia, kiranya memang perlu dipikirkan bersama. Persoalan mengenai kualitas pendidikan di indonesia masih jauh dibawah rata-rata. Sekitar peringkat ke 74 dari 80 negara yang tergabung dalam organization for economic co-perative and development (OECD) tertera dalam data Program International Student Assesment (PISA). Ketertinggalan pendidikan disebabkan oleh terjadinya komplanasi dan distribusi anggaran yang tidak tepat sasaran.

Pemerintah terus berupaya menaikkan peringkat pendidikan Indonesia dikancah global, beberapa program diantaranya semenjak menjabatnya Anwar Nadiem Makarim sebagai Mentri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tekhnologi dengan menggagas Kurikulum Merdeka, menghapus Ujian Nasional, Program Guru Penggerak, Kampus Mengajar dan lain sebagainya. Banyak perombakan yang telah dilakukan untuk memecahkan komplanasi ditengah masyarakat, kali ini mengenai “Marketplace Guru” yang berorientasi pada guru.

Mas Mentri menyampaikan marketplace guru adalah database yang didukung oleh kemampuan tekhnologi agar bisa di akses oleh semua lembaga sekolah. Melalui marketplace, sekolah dapat mengetahui guru-guru yang terdaftar dan merekrutnya sesuai kebutuhan sekolah. Akan tetapi tidak semua guru bisa terdaftar dalam market place begitu saja, guru-guru yang terdaftar adalah guru honorer yang lulus seleksi dan lulusan pendidikan profesi guru (PPG) pra jabatan.

Dengan demikian, diharapkan banyak guru yang terdaftar dalam database tersebut. Apakah marketplace adalah solusi bagi sekolah yang kekurangan tenaga pendidik dan bagi semua guru ?.

Bukan tidak ada kelemahan dari setiap kebijakan yang akan diambil. Kelemahan dari marketplace guru salaha satunya adalah dilansir terjadinya nepotisme di lembaga sekolah, sehingga perekrutannya tidak memberikan keadilan bagi guru-guru yang kompeten.

Kehawatiran ini banyak terjadi dan menjadi perbincangan public. Sebenarnya persoalan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) bukan hal yang baru semenjak orde baru, termasuk sampai saat ini OECD masih menilai negara kita dalam sektor pendidikan menghabiskan banyak anggaran dan belum mendapatkan hasil yang sepadan.

Nepotisme memang tidak memberikan persamaan dan kesetaraan, hal ini akan berdampak pada kualitas pendidikan sebab konsekuensi dari sistem marketplace memberikan keleluasaan yang tidak dibatasi dengan kebijakan-kebijakan lain, untuk itu para calon guru marketplace berharap agar lebih dikaji ulang beberapa ketentuan yang memberikan kejelasan bagi guru.

Memang seharusnya hal-hal demikian dapat ditekan oleh pemerintah karena pengalaman/sejarah masa orde baru menjadi pelajaran penting agar tidak terulang kembali, seperti yang dikatakan Majdid (2014) menarik pengalaman pahit untuk tidak mengulanginya lagi.

Nepotisme dalam bentuk liberal bisa berdampak positif selama tidak terlepas dari tujuan yang dimaksud, berdampak negatif apabila tidak bisa mencapai tujuan. Pemikiran semacam ini sebab didorong oleh kepentingan yang tak selamanya negatif. Sementara nepotisme dikatakan negatif apabila ada motif, misalnya bentuk keserakahan.

Jadi dibentuk dari latar belakang yang menjadi diskursus nilai dari nepotisme. namun tetap saja ditentang sebab ketidak adilannya, memang berbicara keadilan cukup rumit karena beberapa pertimbangan yang harus diketahui informasinya. Maka dari itu menerapkan konsep keadilan dalam sudut pandang agam misalnya maka tidak cukup mudah menerjemahkannya. Selain dalil dalam Alquran juga disampaikan oleh Sahabat Ali sebagai Khalifah keempat yang mengartikan keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya.

Dalam sudut pandang Handoyo (2012), Nepotisme sebagai perbandingan terhadap kepentingan umum. Kepentingan privat dalam sudut pandang nepotisme dan kepentingan umum yang berkaitan denan masyarakat luas memang terkadang tidak memiliki batas-batas yang absolut. Kepentingan privat bisa saja berdampak pada kepentingan umum dan sebaliknya. Pun terkadang keduanya tidak selaras. Maka untuk mengatasi hal demikian biasnya dikembalikan pada sistem pasar, pemerintah bertugas melayani kepentingan privat untuk mencukupi kebutuhan publik.

Kedua berbicara sistem seleksi guru, baik honorer juga PPG. Hal tesebut juga rentan dipermudah untuk meluluskan guru yang sebenarnya tidak memiliki kualitas dan kapabilitas jika marketplace menjadi kebijakan. Jika hal demikian dipaksakan maka alternatifnya adalah minimal penguasaan guru terhadap kompetensi dasar guru meliputi profesionalismenya, pedagogik, kepribadian dan sosial seperti yang telah diatur dalam Undang-undang Guru dan dosen No 14 tahun 2005. Jadi kualitas tenaga pendidik dapat diusahakan oleh pengelola lembaga sekolah.

Ketiga berbicara nama “marketplace” yang banyak menyinggung para guru dan calon guru, sebab nama tersebut adalah nama fitur yang digunakan untuk jual beli barang dagangan di Aplikasi facebook. Menyamakan manusia apalagi guru yang sering disebut pahlawan tanpa jasa maka kurang baik dan kurang estetik dari sudut pandang nilainya.

Guru di indonesia tidak bisa diasumsikan sebagai profesi profit/keuntungan materi sebab gaji guru memang tidak cukup untuk biaya hidup normal saat ini, sementara Marketplace di fitur Facebook adalag orientasi profit yang mengejar keuntungan materi. Hal yang perlu diketahui bahwa bapak revolusioner kita, Bung Karno, juga pernah menjadi guru, bagaimana mungkin hal itu disematkan pada jejak sang pejuang yang telah banyak berjasa pada berdirinya negara ini.

Keempat mengenai status guru apakah masuk pada aturan pegawai negeri sipil ( PNS ) atau sebagai Pegawai pemerintah dengan perjanjian kontrak (PPPK). Sebab seleksi PPPK selalu au marut dalam pelaksanaannya menyebabkan penyerapan satu juta guru hanya mampu 544.292 guru pertahun 2021-2022, dan sampai 2023 kebutuhan guru yang masih perlu dibukakan formasi berksar 601.102 guru.

Artinya perekrutan ini masih belum optimal. Hal lain mengenai pengajuan guru dari pemerintah daerah hanya 278.102 guru, sementara yang lulus passing grade (PG) PPPK sekitar 193.954 guru, dari jumlah tersebut yang sudah dapat penempatan 131.025 guru dan sisanya belum mendapatkan penempatan.

Jika dilihat dari sudut pandang positifnya, market place adalah upaya dalam pemerataan tenaga pendidik agar tidak banyak bertumpu dipusat kota, namun sekolah-sekolah di kepulauan yang jauh dari akses fasilitas umum dapat tersentuh.

Persoalan disparitas ini telah banyak dirasakan oleh masyarakat yang jauh dari perkotaan. Dan melalui marketpalace guru juga akan menguatkan kualitas tenaga pendidik agar memiliki kompetensi keguruan, sebab banyaknya guru yang tidak linear menjadi pro-kontra mengenai kemampuannya.

Maka dengan demikian ikhtiar pemerintah membangun pendidikan yang berkualitas perlu kita dorong bersama, sebab terobosan-terobosan tersebut salah satu upaya mencapai tujuan kemerdekaan, mencerdaskan kehidupan bangsa.