Penerapan Hukum Riba dalam Praktik Kredit dan Pinjaman
Oleh : Merisa Nabila Nurindah
Prodi: Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Malang
______________________________
ARTIKEL – Definisi hukum riba adalah konsep hukum yang melarang pemberian atau penerimaan bunga atau keuntungan tambahan dalam transaksi pinjaman. Dalam konteks Islam, riba dianggap sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan dianggap dosa. Istilah riba berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti “pertumbuhan” atau “peningkatan”. Hukum riba merupakan bagian dari prinsip-prinsip hukum Islam yang mengatur transaksi keuangan dan ekonomi.
Ayat Al-Quran terkait hukum riba tertera dalam Al-Baqarah ayat 275 “Orang-orang yang makan (menerima) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.
Negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim menerapkan hukum dan peraturan nasional yang mengatur praktik kredit dan pinjaman, beberapa aturan dan peraturan berikut dapat diterapkan:
1. Larangan Riba. Hukum Islam secara tegas melarang praktik riba. Hal ini berarti bahwa suku bunga atau bunga yang dianggap berlebihan, baik dalam pinjaman maupun dalam bentuk lainnya, tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, peraturan nasional dapat melarang praktik bunga yang dianggap riba dan mendorong penggunaan alternatif pembiayaan syariah yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
2. Pengaturan Suku Bunga. Beberapa negara memiliki regulasi yang mengatur suku bunga dan batasan yang dapat diterapkan dalam praktik kredit dan pinjaman. Tujuannya adalah untuk mencegah penyalahgunaan atau penetapan suku bunga yang tidak adil dan berlebihan.
3.Transparansi dan Perlindungan Konsumen.Peraturan nasional juga dapat mengatur keharusan bagi pemberi pinjaman untuk memberikan informasi yang jelas dan transparan kepada peminjam mengenai kondisi pinjaman, termasuk suku bunga yang dikenakan. Perlindungan konsumen juga dapat meliputi ketentuan-ketentuan tentang pembatalan kontrak, pelaporan yang jelas, dan penanganan keluhan.
4. Lembaga Keuangan Syariah. Negara-negara dengan sistem perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah akan memiliki peraturan yang mengatur operasi dan praktik keuangan berbasis syariah. Ini termasuk peraturan tentang produk keuangan syariah yang dapat disediakan, mekanisme pembiayaan, dan persyaratan kepatuhan dengan prinsip prinsip hukum Islam, termasuk larangan riba.
5. Pengawasan Otoritas Keuangan. Otoritas pengawas keuangan dalam negara juga memiliki peran penting dalam mengatur praktik kredit dan pinjaman dalam konteks hukum riba. Mereka bertanggung jawab untuk memastikan kepatuhan lembaga keuangan terhadap peraturan dan regulasi yang berlaku, termasuk dalam hal pelarangan riba.
Dalam praktik kredit dan pinjaman, terdapat beberapa alternatif pembiayaan syariah yang sesuai dengan ajaran Islam dan tidak melibatkan praktik riba. Berikut adalah beberapa contoh alternatif pembiayaan syariah yang dapat dipertimbangkan:
1. Musharakah. Musharakah adalah bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk melakukan bisnis atau proyek.
2. Mudharabah. Mudharabah melibatkan kerjasama antara pihak yang memberikan modal (rab al-mal) dan pihak yang mengelola bisnis (mudharib).
3. Murabahah. Murabahah adalah transaksi jual beli dengan keuntungan yang sudah ditentukan di awal.
4. Ijarah. Ijarah adalah bentuk pembiayaan yang melibatkan penyewaan atau pemakaian aset atau barang dengan pembayaran sewa yang disepakati antara penyewa (peminjam) dan pemilik aset (lembaga keuangan syariah).