Artikel

Perkembangan Radikalisme di Indonesia Pasca Pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam Perspektif Pertanggungjawaban Pidana

×

Perkembangan Radikalisme di Indonesia Pasca Pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam Perspektif Pertanggungjawaban Pidana

Sebarkan artikel ini
Perkembangan Radikalisme di Indonesia Pasca Pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam Perspektif Pertanggungjawaban Pidana
FOTO: Mohammad Rizky Tobroni

Perkembangan Radikalisme di Indonesia Pasca Pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam Perspektif Pertanggungjawaban Pidana

Oleh : Mohammad Rizky Tobroni
Prodi : Akuntansi
Fakultas: FEB
Universitas Muhammadiyah Malang

______________________________

ARTIKEL – Marx Juergensmeyer berpendapat bahwa Radikalisme merupakan suatu sikap atau posisi yang mendambakan perubahan dengan penghancuran secara total biasanya cara yang digunakan bersifat Revolusioner dengan menjungkirbalikan nilai-nilai yang ada secara drastis melalui Kekerasan dan aksi-aksi yang ekstrim.

Radikalisme adalah hanya sebuah istilah yang merujuk pada gerakan politik dengan tujuan untuk mencapai Kemerdekaan yang dimulai pada abat ke-18 di Britania Raya dan kata Radikal pertama kali digunakan oleh Charles James Fox pada tahun 1797 dalam hal ini beliau menginginkan Reformasi Radikal dalam Sistem Pemlihan yang mendukung Reformasi Parlemen.

Munculnya kata isme sebagai penanda paham dan berkembang dalam tataran Agama, Sosial dan Politik sehinnga menjadikan Radikalisme tumbuh dan berkembang dalam segala pergerakan sesuai tujuan pergerakan itu sendiri. Konsep Komunisme, Leninisme dan Marxisme di Indonesia adalah sebuah bentuk dalam Ideologi yang dicoba dimasukan di Indonesia dengan dihubungkan beberapa Ideologi lain.

Sehingga Soekarno pernah merumuskan Nasakom (Nasionalis, Komunis dan Agamais) tahun 1959 untuk menjadi satu agar tidak terjadi perbedaan Ideologi Politik dimasa Demokrasi Terpimpin, namun gagasan ini kandas akibat gerakan 30 September 1965 atau dinamakan G30S PKI dimana Soeharto tidak setuju dengan Komunisme berkembang di Indonesia.

Radikalisme sebelumnya pernah masuk ditahun 1949 kepada gerakan-gerakan DI/TII yaitu Gerakan pemberontakan yang bertujuan mendirikan Negara Islam Indonesia atau disingkat NII yang dipimpin oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat.

Terlepas dari gerakan sebelumnya konsep Syariat Islam pernah dibawah oleh Hizbut Tahrir Indonesia dengan menginginkan pembentukan Khilafah Islamiyah namun pada tahun 2017 kemenkumham mencabut status badan Hukum Organisasi Masyarakat tersebut karena pemikiran HTI terkait Khilafah Islamiyah dianggap membahayakan Pancasila.

Bahaya Radikalisme memang sangat nyata sebelumnya terjadi pada Bom Bali 1 yang pelakunya Amrozi, Imam Samudra dan Ali Ghufron beserta jajarannya yang sudah dihukum mati dan beberapa anggota lainnya di hukum seumur hidup serta beberapa angguta tersebut melakukan deradikalisasi agar mereka tidak salah mengambil langkah dan membuat Teror atau aksi Bom bunuh diri.

Metode atau cara menanggulangi Kejahatan perlu juga melihat asal muasal atau keinginan pelaku dalam melakukan hal tersebut. Paham yang diajarkan untuk berjihad sehingga bertujuan untuk mati dalam keadaan Syahid terlihat dari Doktrin yang dimanfaatkan oleh pelaku radikal yang sengaja dibelokkan untuk tujuan aksi Terorisme.

Model Pertanggungjawaban Pidana Tujuan Pemidanaan bukan semata-mata memberikan Efek Jerah akan tetapi supaya orang yang melakukan Kejahatan itu tidak mengulanginya atau dia tidak menjadi Residivis terhadap Kejahatan yang sama dikemudian hari. Pertanggungjawaban Pidana dalam teori Van Hamel merupakan keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa 3 macam kemampuan yaitu memahami arti dan akibat dari Perbuatannya sendiri.

Menyadari Perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang Masyarakat dan menentukan kemampuan terhadap Perbuatan. 10 Konsep Pertanggungjawaban Pidana dikenal dengan ajaran Kesalahan dalam Doktrin mensrea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan orang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat dan syarat untuk dapat dipenuhi dalam memidana seseorang yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang (actus reus).

Sudarto menyatakan Seseorang dapat dimintai Pertanggungjawaban Pidana apabila memenuhi beberapa syarat yaitu: Adanya suatu Tindak Pidana yang dilakukan Pembuat, Adanya suatu unsur Kesalahan berupa Kesengajaan dan Kealpaan, adanya pembuat yang mampu bertanggungjawab dan tidak ada alasan Pemaaf, dalam hal ini seseorang dapat dimintai Pertanggungjawaban Pidana jika sebelumnya orang tersebut telah terbukti melakukan Perbuatan pidana yang dilarang.

Dan hal yang tidak mungkin seseorang dimintai Pertanggungjawaban Pidana sementara dia sendiri tidak melakukan Perbuatan yang dilarang oleh Hukum sebagaimana dalam Asas hukum yang menyatakan Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Geen Straft Zonder Schuld)
Pemidanaan terhadap seseorang atas pahamnya yang bertentangan dengan Pancasila dan menyebarkan dimuka umum dilihat dalam konsep Kitab Undang-Undang Pidana terbaru merupakan konsep lama yang dipakai.

Hal tersebut terlihat dari Undang- Undang Subversi yang dicabut lalu konsekuensi terparah adalah dihidupkan kembali dalam konsep KUHP terbaru. Nilai historis sebenarnya merupakan alat ukur untuk mempertanggungjawabkan Perbuatan seseorang dalam melakukan Kejahatan.

Apakah Pikiran seseorang dikatakan jahat apabila ada suatu Paham bertentangan dengan Pancasila ? dan sejauh mana paham itu menentang Pancasila yang awalnya Komunisme pernah masuk kedalam konsep dan kajian Pancasila itu sendiri dan keinginan mayoritas muslim pun pernah dirumuskan dalam sila pertama yang menginginkan Syariat Islam? Asas hukum sendiri menyatakan bahwa Cogitationis Poenam Nemo Patitur yang menyatakan tidak ada seorang pun yang dihukum atas apa yang dia pikirkan.

Nilai dalam suatu paham yang dianggap bertentangan dengan Pancasila yang dimaksudkan dalam Delik pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terbaru haruslah mempunyai pondasi yang kuat seiring dengan makna Pancasila sebenarnya.

Bagaimana mungkin suatu paham bertentangan dengan Pancasila jika alat ukurnya hanyalah kekejaman masa lalu ataupun bagaimana mungkin pondasi dalam pengaturan Pertanggungjawaban Pidana subversi yang sudah dicabut di masa lalu di munculkan dalam konsep KUHP terbaru dan sudah disahkan menjadi Undang-Undang.

Paham yang semakin Absolut inilah membuat berbagai kelompok menyatakan bahwa pancasila bukan lagi sebagai ideologi terbuka karena ada sisi pertentangannya. Bukankan hal ini terlalu Radikal jika menghukum seseorang akibat pahamnya yang bertolak belakang dengan pancasila padahal Pancasila sendiri lahir dengan berbagai macam pertentangan dan dari pertentangan itu menyatukan semua perbedaan Suku, Ras Maupun Agama.

Disatu sisi tidak selesainya diungkap pelaku yang memakan ribuan korban dalam peristiwa tahun 1965 dan dibubarkan HTI Sebagai Ormas haruslah dimaknai bahwa Pertanggungjawaban Pidana harus menemui titik temunya dimasa reformasi. Bagaimana mungkin HTI dibubarkan akan tetapi eks HTI berkeliaran dalam Organisasi Islam lainnya.

Konsep Pertanggungjawaban Pidana perlu mencari dimana titik Mens Reanya apakah sikap batin Pelaku sengaja mengganti Ideologi Negara atas dasar pahamnya atau hanyalah niat dalam mendirikan Ormas Islam dengan konsep Khilafah Islamiyah tapi mendukung Pancasila itu sendiri.

Kalaupun di Pertanggungjawabkan secara Pidana seharusnya bukan terhenti dalam kata paham saja yang menjadi dasar dipidana akan tetapi disertai dalam tindakan nyata dan bukan pada kemungkinan saja dia mengubah dasar negara atau ideologi negara tapi hal ini perlu melihat apa ada Mens Rea dan Apa Ada Actus Reusnya.

Pembelaan HTI dalam sidang yang menyatakan tidak menolak Pancasila sebagai dasar negara haruslah sebagai alat ukur oleh Hakim dalam menentukan apakah SK AHU Kemenkumham benar-benar mempunyai landasan yang kuat dalam membubarkan HTI, seakan-akan pembubaran HTI dianggap tergesa-gesa tanpa mempertimbangkan nilai historis dari Pancasila itu sendiri.
_____________________________

Disclaimer: Seluruh isi dalam artikel ini menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya