Ruang Lingkup Hukum Mengenai Kepailitan Dalam Suatu Perusahaan di Indonesia
Oleh : Siti Mayyas Sharoh
Prodi: Akuntansi
Fakultas : Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Malang
______________________________
LATAR BELAKANG
ARTIKEL – Pailit dan kepailitan berawal dari ketidakmampuan membayar—namun dalam praktiknya sering menjadi ketidakmauan—debitor untuk membayar utangutangnya yang telah jatuh waktu tempo dan dapat ditagih. Jika debitor berada dalam kondisi demikian, maka debitor, kreditor ataupun pihak lain yang ditentukan didalam peraturan perundang-undangan dapat mengajukan permohonan pailit ke pengadilan.
Pernyataan pailit ini haruslah dengan putusan pengadilan. Dan pengadilan yang berwenang ialah Pengadilan Niaga untuk tingkat pertama dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka seorang debitor dapat dinyatakan pailit apabila :
1. Memiliki sedikitnya dua orang kreditor.
2. Tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu kreditor, dan.
3. Utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Pada dasarnya, setiap keputusan kepailitan melahirkan akibat hukum yang dinilai dapat merugikan banyak pihak, seperti salah satunya para karyawan yang terancam kehilangan pekerjaannya karena masifnya pemutusan hubungan kerja guna menekan biaya produksi.
Kegiatan usaha perusahaan merupakan kegiatan yang sah menurut hukum, bukan kegiatan yang melanggar hukum atau bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Yang menjadi permasalahannya yakni, bagaimana tanggung jawab perusahaan yang dinyatakan pailit terhadap pihak ketiga, serta bagaimana akibat hukum bagi perusahaan yang dinyatakan pailit terhadap pihak ketiga. ( Ridwan 2013 ).
LANDASAN HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA
Kepailitan diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang “UU 37/2004” yang pada dasarnya merupakan suatu kondisi atau keadaan ketika pihak yang berhutang (debitor) yakni seseorang atau badan usaha tidak dapat menyelesaikan pembayaran terhadap utang yang diberikan dari pihak pemberi utang (kreditor). Pengadilan Niaga memiliki kewenangan untuk memutuskan kepailitan Debitor.
Berdasarkan pengertian Kepailitan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) jo. pasal 8 ayat (4) UU 37/2004, dapat disimpulkan bahwa Kreditor yang merasa dirugikan atas belum dipenuhinya prestasi / kewajiban oleh Debitor dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan Niaga apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Debitur terhadap siapa permohonan itu diajukan harus paling sedikit mempunyai dua kreditur, atau dengan kata lain harus memiliki lebih dari satu kreditur.
b) Debitur tidak membayar lunas sedikitnya satu utang kepada salah satu krediturnya.
c) Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih (due and payable).
Pengadilan Niaga harus mengabulkan Permohonan pernyataan pailit yang diajukan Kreditor dalam hal ketiga persyaratan tersebut di atas terpenuhi, namun apabila satu atau lebih persyaratan di atas tidak terpenuhi maka permohonan pernyataan pailit akan ditolak. (Shubhan 2015).
RUANG LINGKUP KEPAILITAN DALAM PERUSAHAAAN
Sebuah perusahaan dinyatakan pailit atau bangkrut harus melalui putusan pengadilan. Dengan pailitnya perusahaan itu, berarti perusahaan menghentikan segala aktivitasnya dan dengan demikian tidak lagi dapat mengadakan transaksi dengan pihak lain, kecuali untuk likuidasi.
Satu-satunya kegiatan perusahaan adalah melakukan likuidasi atau pemberesan yaitu menagih piutang, menghitung seluruh asset perusahaan, kemudian menjualnya untuk seterusnya dijadikan pembayaran utangutang perusahaan.
Penetapan syarat kepailitan yaitu jika perusahaan sebagai debitor mempunyai sedikitnya dua utang yang sudah jatuh tempo dan sekurang-kurangnya satu di antaranya tidak terbayar, dengan ketentuan cukup dibuktikan dengan pembuktian yang sederhana saja, dapat menjadi pisau bermata dua.
Di satu sisi ketentuan ini dapat dimanfaatkan oleh mitra pesaing untuk mengeliminir perusahaan bersangkutan dari pasar, sebab dengan dinyatakan pailit perusahaan itu pasti akan tutup atau berhenti melakukan kegiatan usahanya.
Tanggung jawab suatu perusahaan yang dinyatakan pailit terhadap pihak ketiga terwujud dalam kewajiban perusahaan untuk melakukan keterbukaan (disclosure) terhadap pihak ketiga atas setiap kegiatan perusahaan yang dianggap dapat mempengaruhi kekayaan perusahaan.
Sebuah perusahaan yang dinyatakan pailit atau bangkrut harus melalui putusan pengadilan. Dengan pailitnya perusahaan itu, berarti perusahaan menghentikan segala aktivitasnya dan dengan demikian tidak lagi dapat mengadakan transaksi dengan pihak lain, kecuali untuk likuidasi atau pemberesan, yaitu menagih utang, menghitung seluruh asset perusahaan, kemudian menjualnya untuk seterusnya dijadikan pembayaran utang-utang perusahaan.
Akibat hukum bagi perusahaan yang dinyatakan pailit mengakibatkan perusahaan yang dinyatakan pailit tersebut kehilangan segala hak perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan ke “ Pembekuan “ hak perdata ini diberlakukan oleh Pasal 22 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang. Kepailitan mengakibatkan seluruh kekayaan perusahaan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit diucapkan.
Penetapan syarat kepailitan yaitu jika perusahaan sebagai debitor mempunyai sedikitnya dua utang yang sudah jatuh tempo dan sekurang-kurangnya satu diantaranya tidak terbayar, dengan ketentuan cukup dibuktikan dengan pembuktian yang sederhana saja. (Ginting 2018).
AKIBAT HUKUM PERNYATAAN PAILIT
Apabila seorang debitor telah secara resmi dinyatakan pailit maka secara yuridis akan menimbulkan akibat- akibat sebagai berikut:
1. Debitor kehilangan segala haknya untuk menguasai dan mengurus atas kekayaan harta bendanya (asetnya).
2. Utang-utang baru tidak lagi dijamin oleh kekayaannya;
3. Untuk melindungi kepentingan kreditor, selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, kreditor dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk :
a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitor;
b. Menunjuk kurator sementara untuk mengawasi pengelolaan usaha debitor, menerima pembayaran kepada kreditor, pengalihan atau penggunaan kekayaan debitor (pasal 10);
4. Harus diumumkan di 2 (dua) surat kabar (pasal 15 ayat (4). (Yanuarsi 2020).
CARA MENGANTISIPASI PAILIT PADA PERUSAHAAN
Jika perusahaan (debitur) yang sudah tidakbisa membayar kembali utang pada kreditur, untuk menghindari pailit, mereka dapat mengajukan permohonan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) ke pengadilan niaga untuk mencari jalan tengah dalam menyelesaikan kewajiban debitur.
Adanya permohonan PKPU yang diajukanini untuk memberi kesempatan pada debitur untuk mengatur kembali kewajiban pembayaran. Jika permohonan PKPU dikabulkan, pengadilan akan memberikan waktu 45 hari sebagai kesempatan debitur untuk mengajukan perencanaan damai.
Tetapi, jika rencana perdamaian disetujui, akan adanya penyesuaian jumlah piutang (yang dilakukan kreditor) dengan jumlah utang yang diajukan debitur. Lalu waktu pembayaran utang pun akan ditentukan ulang. Sehingga perusahaan pailit akan terhindari. (Yanuarsi 2020)
DAFTAR PUSTAKA
Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm. 457
UU No. 37 Tahun 2004 Lihat Pasal 2 ayat (1) tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Shubhan, M. H. (2015). Hukum Kepailitan. Prenada Media.
Ginting, E. R. (2018). Hukum Kepailitan: Teori Kepailitan. Bumi Aksara
Yanuarsi, S. (2020). Kepailitan Perseroan Terbatas Sudut Pandang Tanggung Jawab Direksi. Solusi, 18(2), 288-289.