Sumenep, 3 Desember 2019 Opini: Yant Kaiy
Limadetik.com — Hidup petani tembakau di Kabupaten Sumenep dan Pamekasan sungguh memprihatinkan. Pemangku kebijakan yang sejatinya memberikan atensi, justru mengambil sikap apatis terhadap problema ini. Kenyataan kalau seorang petani tembakau adalah korban kebijakan yang tidak populis. Kebijakan salah kaprah, menelantarkan aspirasi para petani tembakau.
Pada panen tembakau 2019, banyak hasil produksi tembakau didua kabupaten di Madura tidak terserap. Kalaupun dibeli dengan pihak pabrik rokok harganya pun murah. Tidak sesuai dengan modal yang mereka keluarkan. Itu masih belum menghitung kerja sendiri.
Untuk 2019 kisaran harga tembakau Rp 27.000,- , sedangkan 2018 berada di Rp 50.000,- per kilogram. Bahkan harga tembakau belakangan (perdagangan akhir) di bawah Rp 20.000,- per kilogram. Sejatinya legislatif daerah bisa memberi proteksi bagi kepentingan petani tembakau. Karena mereka tameng kokoh. Bukan malah melakukan pembiaran, petani jadi sasaran empuk pihak pabrikan dalam mendulang keuntungan.
Pihak pabrikan jelas mempertimbangkan pajak yang diwajibkan bagi semua hasil tembakau. Pada akhirnya kemungkinan pihak gudang menyunat harga tembakau petani. Pajak tembakau rajangan itu dihitung per 1 kilogram. Bayangkan berapa ribu ton tembakau hasil petani yang dibeli oleh beberapa gudang pabrik di Madura.
Kalau pungutan itu memang diwajibkan seharusnya adil dan bijak. Tidak mengorbankan petani sebagai penghasil tembakau. Berilah petani payung kebijakan. Sehingga petani tidak menjadi mangsa selamanya. Mangsa dari perundang-undangan. Mangsa dari kaum pengusaha.
Setelah tembakau masuk pabrik pengolahan, diproses menjadi batang rokok. Pembelinya tidak hanya kaum pejabat, tapi dari lapisan masyarakat tingkat bawah. Ujung-ujungnya cukai rokok memberikan sumbangsih besar terhadap income negara.
Kalau tujuannya untuk menekan perokok agar mengurangi daya belinya, semestinya diluncurkan regulasi agar petani tidak menanam tembakau. Kalau bahan baku sudah tidak ada, jelas pabrik akan tutup dengan sendirinya. Tapi mungkinkah itu?
Jika tidak mungkin, beri solusi. Bukan orasi menyayat hati. Yang diperbincangkan kenaikan cukai rokok, petani tembakau tak jadi sorotan.
Seperti dilansir TEMPO.CO hari ini, Senin (3/12/2019), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, akan tetap menaikkan cukai rokok sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.152/PMK.04/2019 tetang Tarif Cukai Hasil Tembakau atau CHT. Peraturan tersebut akan mengatur adanya kenaikan produksi hasil tembakau seperti rokok lewat cukai. Berdasarkan beleid itu, tarif rata-rata sebesar 23 persen dan harga jual eceran 35 persen.
Bagi perokok masih ada solusi untuk tetap merokok. Kok, gitu, tanya saya pada teman duduk. Selalu membawa “pak-lopak” (tembakau rajangan halus dibungkus plastik lengkap dengan paparnya). Ketika hendak merokok, tinggal melintingnya. Sekali gulung sudah jadi sebatang rokok.
Tahun 2020 era baru dengan budaya “tingwe” (linting dewe) bagi perokok. Mungkinkah kesejahteraan petani tembakau akan berjaya dengan adanya “tingwe” ini? Sebab perokok akan beli sama petani, bukan lagi kepada pabrik rokok. Sukses petani.
Penulis adalah wartawan limadetik.com