Dilematisasi Antara Kebutuhan atau Kebijakan: Mengungkap Harapan Rakyat Kecil di Balik Industri Rokok Non Cukai
Oleh : Sohibul Kirom
Mahasiswa IAI Al-Khairat Pamekasan
_____________________________________
OPINI – Pernahkah kita membayangkan bahwa setiap hisapan rokok noncukai membawa dua sisi kehidupan? Di satu sisi, ia menjadi sumber penghidupan bagi mayoritas masyarakat yang bergantung pada industri tembakau. Namun di sisi lain, ia juga menandai hilangnya penerimaan negara serta meningkatnya beban kesehatan masyarakat.
Inilah paradoks yang sedang kita hadapi: di antara kebutuhan ekonomi rakyat kecil dan kewajiban negara menjaga kesejahteraan publik, terdapat ruang abu-abu bernama industri rokok non-cukai.
Dalam Theory of Public Finance, Musgrave (1959) mengatakan bahwa alokasi dan distribusi adalah dua tugas utama kebijakan fiskal. Dengan menggunakan pajak atau subsidi untuk mengefisienkan penggunaan sumber daya, fungsi alokasi berusaha untuk mempertahankan keseimbangan pendapatan.
Peningkatan bea cukai sebenarnya adalah upaya untuk mengontrol konsumsi rokok yang berdampak negatif terhadap kesehatan dalam industri rokok. Namun, kebijakan seringkali menekan distribusi karena memperberat beban ekonomi bagi orang-orang yang berpendapatan rendah yang bergantung pada sektor tembakau.
Industri rokok mempengaruhi kehidupan ekonomi lokal di banyak daerah di Indonesia, terutama di daerah seperti Temanggung, Kudus, dan Madura. Rantai produksinya, dari petani tembakau hingga buruh linting dan pedagang eceran, menyediakan lapangan kerja yang sulit diganti. Pemerintah menaikkan tarif cukai secara bertahap untuk mengendalikan konsumsi dan kesehatan. Akibatnya, harga rokok legal meningkat sementara peminatnya menurun.
Alfred Marshall (1890), teori elastisitas permintaan, telah menjelaskan fenomena ini. Dimana Ketika harga rokok naik, konsumen cenderung tetap membeli, karena rokok dianggap sebagai barang yang tidak elastis dalam permintaan.
Namun, bagi kelompok masyarakat, mereka berpendapat rendah, dan elastisitasnya lebih tinggi karena mereka mencari alternatif yang lebih murah, seperti rokok tanpa bea cukai. Dengan demikian, pasar rokok ilegal tumbuh ketika kebijakan bea cukai diperketat.
Bagib posisi sebagian pelaku usaha kecil, jalur non-cukai adalah cara untuk bertahan hidup di tengah ancaman ekonomi dan krisis lapangan pekerjaan, bukanlah tindakan kriminal. Dengan kata lain, mereka lebih suka “bertahan di pinggir hukum” daripada “tenggelam dalam kesulitan ekonomi.”
Pemain di industri non-cukai tidak selalu sindikat besar atau mafia ekonomi. Mayoritas mereka berasal dari tingkatan ekonomi menengah ke bawah, mulai dari pekerja home industry, petani, dan pengecer yang berjuang hidup dengan keuntungan kecil. Mereka melihat aktivitas itu sebagai peluang ekonomi ketika lapangan kerja formal menyempit dan harga bahan baku tembakau menurun.
Namun, dari perspektif negara, mereka adalah bagian dari rantai distribusi ilegal yang menimbulkan kerugian besar. Riset Indodata Research Center (2024) memperkirakan potensi kehilangan penerimaan negara akibat rokok ilegal mencapai Rp97,81 triliun per tahun.
Sementara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) melaporkan bahwa hingga Juni 2025, terdapat 13.248 penindakan dengan nilai barang mencapai Rp3,9 triliun, di mana 61 persen merupakan rokok tanpa pita cukai. Dengan demikian, sesuatu yang dianggap mereka adalah “peluang untuk bertahan hidup,” justru bagi negara adalah kebocoran fiskal.
Kondisi ini menunjukkan bagaimana teori perpajakan Arthur C. Pigou (1920) tentang Pajak Pigouvian diterapkan pada kebijakan tersebut. Pajak pigouvian dirancang untuk mengurangi penggunaan barang-barang yang memiliki reputasi negatif di mata masyarakat, seperti rokok, dengan meningkatkan biaya sosialnya.
Karena struktur ekonomi informal yang luas di negara berkembang, penerapan teori ini seringkali tidak efektif. Pajak tinggi justru menghemat aktivitas ekonomi ke sektor nonformal yang menjanjikan dan mengurangi efektivitas kebijakan daripada menekan konsumsi.
Fenomena tersebut paling terasa di daerah-daerah yang memiliki tradisi panjang dalam industri rokok dan tembakau. Di sana, pabrik kecil bermunculan di sudut kampung, yang sering kali menggunakan mesin sederhana dan tenaga kerja lokal.
Kenaikan cukai yang berlangsung hampir setiap tahun sejak 2020 menjadi pemicu utama. Pada 2025, penerimaan cukai hasil tembakau bahkan mencapai Rp121,9 triliun, meningkat sekitar 9,6 persen dari tahun sebelumnya. Namun, hal itu berbanding terbalik dengan peredaran rokok ilegal yang semakin meningkat.
Yang menandakan bahwa pertumbuhan penerimaan tidak sebanding dengan efisiensi kebijakan. Singkatnya, semakin ketat pengawasan dan tarif cukai, semakin besar pula potensi peralihan ke pasar gelap di wilayah dengan daya beli rendah.
Pada dasarnya, ada dua tujuan utama untuk kebijakan cukai: meningkatkan pendapatan negara dan mengendalikan konsumsi rokok untuk menjaga kesehatan masyarakat. Namun, di dunia nyata, kebijakan ini seringkali memiliki efek ganda.
Industri besar masih dapat menyeimbangkan kenaikan bea masuk dengan peningkatan produktivitas atau variasi produk. Namun, setiap kenaikan tarif menempatkan pekerja informal dan industri kecil di ambang kehilangan pendapatan mereka.
Pemerintah menghadapi paradoks masalah: menjaga stabilitas ekonomi dan sosial di satu sisi, dan menegakkan hukum dan kesehatan di sisi lain.
Maka tak heran bila rokok non-cukai ibarat “asap harapan” yang menggantung di udara menandakan hidup yang terus berjuang, tapi juga menutupi pandangan menuju tata kelola yang bersih dan adil. Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan pendekatan kebijakan yang integratif dan manusiawi agar masalah ini tidak muncul lagi. Beberapa tindakan yang dapat dipertimbangkan termasuk:
1. Peningkatan tarif cukai secara proporsional; kenaikan tarif harus mempertimbangkan daya beli masyarakat dan kondisi industri kecil-menengah agar tidak memicu pergeseran ke pasar ilegal.
2. Memperkuat kerja sama pengawasan. DJBC melaporkan bahwa penindakan rokok ilegal semakin baik. Namun, pengawasan yang efektif harus disertai dengan edukasi masyarakat agar pencegahan berjalan sebelum pelanggaran terjadi.
3. Memberi ruang transisi bagi pelaku usaha kecil. Pemerintah bisa menciptakan program pembinaan, legalisasi bertahap, atau insentif produksi mikro agar mereka dapat masuk ke sistem formal tanpa kehilangan penghasilan.
4. Mendorong transparansi dan partisipasi publik. Kebijakan akan lebih diterima jika disusun melalui dialog terbuka antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat. Dengan begitu, peraturan bukan sekadar instruksi dari atas, melainkan hasil musyawarah bersama.
Langkah-langkah ini sejalan dengan gagasan yang disampaikan oleh Amartya Sen (1999) dalam Development as Freedom, yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi yang sebenarnya diukur bukan hanya oleh peningkatan pendapatan negara tetapi juga oleh kemampuan masyarakat untuk hidup tanpa penghalang dan bebas dari hambatan struktural.
Oleh karena itu, kebijakan fiskal yang efektif bukan merupakan kebijakan yang paling tegas dalam memaksakan suatu keharusan, namun merupakan kebijakan yang paling adil.
Fenomena rokok non-cukai sejatinya menggambarkan dua wajah realitas bangsa. Ia adalah simbol ketahanan ekonomi bagi rakyat kecil, namun sekaligus tantangan bagi sistem fiskal dan kebijakan negara. Ketika pemerintah memandangnya sebagai pelanggaran, dan sebagai rakyat kecil melihatnya sebagai kebutuhan, maka yang terjadi bukan sekadar pertentangan, melainkan harapan yang diamputasi oleh kebijakan.
Kita butuh sebuah kebijakan yang tidak hanya keras terhadap pelanggaran, tetapi juga menjadi solusi alternatif terhadap keterdesakan dan kesenjangan. Karena di balik setiap batang rokok yang tidak memiliki pita cukai, ada tangan-tangan yang berjuang untuk bertahan hidup dalam lingkungan yang penuh dengan penderitaan.
Mungkin sudah saatnya kita mempertimbangkan kembali gagasan bahwa keseimbangan antara keadilan ekonomi dan konsistensi regulasi yang proporsional adalah solusi terbaik.
Jika asap berfungsi sebagai metafora kehidupan, tugas kita adalah mengalihkan asap itu ke arah ruang yang lebih terang, di mana kebijakan nasional dan kesejahteraan masyarakat tercapai dalam keseimbangan yang manusiawi.












