Kampus Bukan Pabrik Sarjana, Tapi Ruang Tumbuh Jati diri Mahasiswa
Oleh: Fikri Haikal
Mahasiswa IAI Al-Khairat Pamekasan
________________________________
OPINI – Di tengah arus pendidikan tinggi yang semakin pragmatis, kampus kerap dipersepsikan sebagai “pabrik pencetak sarjana” yang berorientasi pada output: IPK tinggi, kuliah hanya formalitas, pengen cepat lulus, pada akhirnya yang dijadikan tolak ukur kesuksesan ialah pekerjaan dengan tingkat kenyamanan tinggi.
Padahal, esensi kampus jauh lebih besar dari sekadar masuk kuliah, kemudian di wisuda. Kampus merupakan ruang tumbuh bukan hanya secara intelektual, tetapi juga secara sosial, emosional, dan moralitas yang nantinya bisa merealisasikan tiga peran utama sebagaimana termaktub dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi:
•Pendidikan & pengajaran
• Penelitian & pengembangan
• Pengabdian pada masyarakat
Sejarah mencatat pada masa Orde baru bahwa kampus di Indonesia pernah menjadi pusat moral bangsa, tempat mahasiswa bukan hanya belajar teori, tapi juga memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.
Pada masa Orde Baru, misalnya, mahasiswa tampil sebagai kekuatan perubahan. Dalam peristiwa Malari 1974, mahasiswa memprotes ketimpangan ekonomi dan dominasi modal asing yang dianggap merugikan rakyat. Gerakan tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa bukan sekadar pelajar pasif, melainkan subjek sosial-politik yang sadar dan kritis terhadap arah bangsa.
Namun, sebagai respons atas perlawanan tersebut, pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) untuk membungkam gerakan mahasiswa. Mahasiswa dilarang aktif dalam politik kampus, organisasi dibekukan, dan diskusi diskusi kritis diawasi ketat.
Kampus pun berubah menjadi ruang yang sunyi dari dinamika intelektual dan moral. Akibatnya, mahasiswa dipaksa menjadi “mesin akademik” yang hanya dituntut lulus cepat dan ber-IPK tinggi, bukan menjadi pribadi yang berpikir mandiri dan empatik. Ini menunjukkan bahwa ketika kampus hanya difungsikan sebagai “pabrik”, maka keberadaan mahasiswa kehilangan makna sebagai agen perubahan sosial.
Mahasiswa bukan mesin produksi gelar, bukan pula sekedar calon karyawan. Akan tetapi Mahasiswa adalah manusia muda yang sedang mencari makna, nilai, dan arah tujuan kehidupan, gagasan ini juga dikrikritisi oleh Mizanul Akrom di dalam bukunya (Nuansa wacana intelektual PMII) dengan mengatakan:
“Mahasiswa yang masuk kampus hanya untuk menyelesaikan kewajiban formal, cepet lulus, cari pekerjaan tanpa sikap Kritip terhadap realitas sosial.Mereka terpelanting narasi dengan penalaran normatif akademis yang menyempitkan makna kuliah hanya sebagai ajang memperoleh ijazah”.
Jika seluruh sistem kampus hanya mengukur keberhasilan dari nilai akademik, maka kampus telah gagal membentuk manusia secara utuh. Apa artinya IPK 4.00 jika mahasiswa tak punya empati? Apa gunanya lulus cepat jika tak mampu bekerja sama atau memahami realitas sosial?. Apa guna jadi sarjana jika pada akhirnya merugikan negara?.
Jika hal ini terjadi maka akan bertentangan dengan tujuan pendidikan seperti Gus Dur katakan “pendidikan bukan hanya untuk menjadikan orang pintar, tapi menjadikan orang bijak dan bermartabat” yang artinya tujuan pendidikan bukan hanya sebatas kecerdasan intelektual, tetapi membentuk pribadi yang arif, bermoral & memiliki harga diri.
Oleh sebab itu sudah saatnya kampus menata ulang prioritas. Ruang-ruang diskusi harus lebih dihargai dari pada metode ceramah, Organisasi mahasiswa jangan dipandang sebagai pengganggu study, tempat bermukimnya pergaulan bebas ataupun lahirnya Mahasiswa yang tak punya moralitas melainkan sebagai sarana latihan kepemimpinan, solidaritas & mencari jatidiri secara utuh.
Fungsi & tugas dosen bukan sekadar sebagai tenaga pengajar, tetapi pendamping yang membantu mahasiswa tumbuh dengan kritik yang jujur dan apresiasi yang tulus, jangan menjadi dosen yang haus akan hormat, gila pangkat dan jabatan karna itu sangat berpengaruh pada pertumbuhan & kualitas mahasiswa itu sendiri.
Kita butuh kampus yang lebih proporsionalitas (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Memberi ruang gagal bagi mahasiswa, tanpa langsung memberi stigma yang menggugurkan kualitas Mahasiswa. Kita butuh kampus yang tidak hanya.membanggakan akreditasi institusi, tapi juga reputasi etika lulusannya. Karena pada akhirnya, masyarakat tak hanya menilai gelar seseorang, tapi juga kualitas kebermanfaatan & pengabdiannya.
Karena ketika kampus berhenti menjadi ruang pencarian jatidiri dan hanya sibuk mencetak angka kelulusan, maka ia telah gagal memenuhi janjinya sebagai rumah intelektual. Sudah saatnya kita mengingat kembali bahwa mahasiswa bukan hanya calon pekerja, tapi calon pemimpin. Dan pendidikan sejati adalah yang menumbuhkan keberanian berpikir, ketulusan berjuang, dan kepekaan terhadap sesama.