Penangkapan Pelaku Perusakan Pagar di Gili Iyang Menyisakan Teror
LIMADETIK.COM, SUMENEP – Rumah Hosriyani, seorang warga Dusun Bancamara, Pulau Gili Iyang, menjadi sasaran teror oleh orang tak dikenal. Dua kali, tepat pada Rabu dini hari 23 Juli 2025, rumahnya dilempari batu. Lemparan pertama terjadi sekitar pukul 00.30 WIB, disusul lemparan kedua sekitar pukul 00.50 WIB.
Hosriyani bukan warga biasa. Ia adalah pelapor dalam kasus perusakan pagar yang sempat mangkrak di meja penyidik Polsek Dungkek selama lebih dari tujuh bulan. Teror ini muncul hanya berselang beberapa hari setelah Polres Sumenep menetapkan empat tersangka dalam kasus tersebut dan menangkap mereka pada 17 Juli 2025, lalu.
Keempat tersangka itu adalah Mahwi, Rahman, Morsal, dan Musahnan, nama-nama yang disebut dalam laporan warga sejak awal. Namun, selama tujuh bulan, proses hukum nyaris tak bergerak. Kuasa hukum Hosriyani menuding kasus tersebut sengaja diperlambat karena adanya intervensi dari tokoh berpengaruh di Bancamara.
Puncaknya, kasus ini menjadi bola panas setelah gelombang protes warga dan desakan hukum menggema ke Polres Sumenep. Desakan tersebut meminta pencopotan Kanit Reskrim Polsek Dungkek dan penarikan perkara ke tingkat Polres. Dua tuntutan itu dikabulkan. Perkara ditarik, dan AIPTU Joko Dwi Heri Purnomo, Ps. Kanit Reskrim Polsek Dungkek, resmi dicopot.
Dalam pemeriksaan di hadapan Majelis Komisi Kode Etik Polri, Joko mengakui tekanan yang dihadapinya. Ia menyebut ada intervensi “luar biasa” dari tokoh masyarakat setempat. Ia juga mengakui pernah meminta uang kepada kuasa hukum pelapor dengan alasan biaya gelar perkara. Permintaan itu ditolak.
Sualisi Abdurrazaq, Kuasa hukum pelapor tidak tinggal diam. Dalam forum etik tersebut, ia menyampaikan bahwa kasus Hosriyani bukan hanya soal pagar. Ia menuding ada pengaruh kuat dari jejaring mafia di wilayah itu, yakni mafia sabu-sabu dan solar ilegal, yang mencoba membentuk opini bahwa institusi kepolisian setempat berada dalam kendali mereka.
“Saya mendengar sendiri keluhan warga. Mereka merasa aparat setempat tidak bisa lepas dari bayang-bayang para mafia. Seolah hukum tidak bekerja untuk rakyat,” ujar sang pengacara.
Teror terhadap Hosriyani menjadi semacam pesan bahwa keberanian menuntut keadilan masih bisa dibalas dengan ancaman. Sang pengacara meminta perlindungan hukum diberikan kepada kliennya dan mendesak kepolisian untuk mengungkap pelaku teror.
Polres Sumenep belum memberikan keterangan resmi terkait teror tersebut. Namun tekanan publik terus menguat. Kasus ini bukan lagi sekadar soal perusakan pagar. Ia telah menjelma menjadi cermin kecil tentang bagaimana hukum diuji di daerah-daerah terpencil.