Budaya Saronen Mati Ditangan Pemuda Kabupaten Sumenep
Oleh : Achmad Syafiqi
Anggota FORMASI Sentral Sumenep
_________________________________
OPINI – Pada era modernisasi, kini budaya lokal di sumenep makin terkikis akibat globalisasi. Salah satunya budaya saronen, faktor yang mengancam akan terkikisnya budaya saronen di akibatkan kecanggihan teknologi yang menjadi tolak ukur regenerasi muda di sumenep.
Sehingga masyarakat sumenep dan para pemudanya berpaling muka dan tidak memiliki kesadaran terhadap budaya saronen tersebut. Kurangnya empati dan minat mereka terhadap saronen juga menjadi acuan yang kurang baik terhadap budaya saronen, hal ini di sebabkan dengan berbagai alasan yang cukup mendasar sehingga mereka merasa kurang memahami tentang budaya saronen.
Maka berawal dari ketidak pahaman ini mereka meninggalkan budaya saronen dan serta merta menyalahkan masyarakat setempat karena kurang menanamkan budaya saronen terhadap generasi mudanya. ternyata dalam kenyataannya pemudanya lah yang tidak ingin tau, mereka merasa gengsi dan tidak gaul mengenai budaya saronen karena merasa budaya tersebut di anggap kuno dan tidak secanggih teknologi pada zaman ini.
Pemudanya tidak memikirkan budaya mereka hanya sibuk dengan ekonomi. Sebaiknya budaya tersebut di lestarikan sebagai simbol bangsa Indonesia tentang ragam budayanya. Konon menurut sejarah saronen sebagai sarana penyebaran agama islam di madura lebih tepatnya di sumenep.
Seharusnya budaya saronen di kembangkan karna sudah menjadi simbol kabupaten sumenep, salah satunya dengan di adakan event budaya besar-besaran agar bisa menanamkan nilai – nilai budaya dan melestarikan kebudayaan yang ada di Kab. Sumenep.
Sumenep hanya fokus pada budaya yang bersifat hura-hura, demikian seloroh catatan yang ditulis oleh sang penulis mengakhiri goresan tintanya.