Opini

Elegi Dusta di Era Millenial

×

Elegi Dusta di Era Millenial

Sebarkan artikel ini
1556595950286 1
kaiyyant
Jumat, 11 Oktober 2019
Limadetik.com, oleh: Yant Kaiy

OPINI – Dusta menatalkan dosa. Berapakali dalam satu hari kita berdusta. Dusta tak terhitung melingkupi perilaku manusia. Bahkan tak jarang kita tidak bisa lepas dari dusta. Bahwa manusia yang terbiasa berdusta tidak akan menyadari bahwa ia berdusta. Ibarat makanan, dusta sering menjadi lauk yang melezatkan menu hidangan bagi sebagian manusia.

Lebih parah lagi, dusta dianggapnya vitamin yang bisa membuatnya sehat jiwa-raga. Itu yang lumrah terjadi di jaman canggih masa kini. Ada banyak alasan yang melatarbelakangi mereka berdusta. Karena sebuah gengsi akhirnya tercabuli dengan dusta. Karena kekuasaan takut terkontaminasi transparansi yang membuat jabatan tergerus, mereka lalu melakukan dusta, dan dusta yang dibedaki senyum dengan gincu di bibirnya.

Semuanya menjadi palsu sebagai pengejawantahan dusta yang tak terukur. Korban
dusta pun tidak ketinggalan melakukan hal dusta terhadap sesama. Pulang ke rumah, istri dan anaknya dicemari dengan dusta pula agar dirinya dianggap sebagai manusia yang paling bijaksana di alam fana. Oh, sungguh brengsek itu dusta. Tapi ini realita yang menghiasi lingkaran hidup manusia.

Dan kerugian seperti apa lagi yang lebih buruk daripada hilangnya kesadaran seseorang akan sikap dan perilakunya yang sesungguhnya banyak merugikan orang lain, namun tanpa sadar ia terus lakukan dusta. Ini adalah hukuman sangat buruk atas diri seorang hamba. Pada akhirnya orang yang berdusta akan membunuh akal pikirannya dan akan mengubur hati nuraninya, sehingga ia tidak hidup seperti layaknya manusia. Ia malah menjadi beban masyarakat, biang kerusakan dan sumber dari segala kegaduhan.

Lihatlah hari ini bagaimana orang-orang yang enggan bahkan terbukti gagal memenuhi janjinya. Sementara mereka terus ingin mendapatkan kekuasaam, maka dusta demi dusta terus dilakukan agar mendapatkan apa yang diinginkan. Ada pertanyaan yang menggantung di benak kita. Mengapa mereka tidak insaf terhadap dusta yang tiap waktu mereka perbuat? Mereka tentu tidak akan pernah sadar, sebab ketidaksadaran itulah yang hidup dalam jiwa dan pikirannya, sehingga ia akan terus berdusta. Hanya mereka sendiri yang dapat menghentikan dusta tersebut. Itu pun dengan catatan ia akan kembali kepada
Allah SWT. Berarti selama ini kita juga lahir dari dusta kedua orang tua. Dusta telah diwariskan kepada kita.

Rambut, kulit, tulang, sumsum, dan darah yang dipompa jantung mengalir ke sekujur raga
berasal dari benih dusta. Apabila memang sengaja melakukan pembiaran, dusta menerjang
perilaku hidup berkepanjangan tanpa bisa dikendalikan, maka suatu saat akan jadi petaka. Sebab hukum alam masih tetap berlaku; siapa menanam, ia akan memetik.

Pertanyaannya, apakah kita juga akan mewariskan dusta dan dusta kepada anak cucu yang tidak berdosa agar kita dikatakan manusia paling berjasa? Atau hanya sebagai implementasi dari sebagian karsa kita terhadap kehidupan berbangsa? Semua kadang menjadi rancu. Sebab dusta tidak bisa diraba.

Tapi akan sangat terasa ketika manusia menjadi kecewa dan terluka. Ikrar berbusa-busa calon sang penguasa di desa-desa menggiring rakyat jelata untuk berlomba-lomba meramaikan pesta demokrasi. Ada yang bergelimang harta tertawa, yang papa hanya berharap pada Sang Pencipta agar dirinya bisa meraih cita-cita. Ada yang tulus tidak punya fulus.

Ada yang berakal bulus tidak ketinggalan juga banyak berharap dirinya bisa melenggang mulus. Semua membaur. Tapi ini bukan nasi campur yang mengenyangkan perut, atau es campur yang kalau dikonsumsi sangat nikmat di tengah hari yang panas. Jadi kita pun bingung dalam menentukan pilihan. Di tengah kemarau yang panas dan udara terasa garing, kita disodori minuman yang mampu melegakan tenggorokan. Apakah kita akan meminumnya? Sebagai manusia yang berakal tentu kita akan meminumnya. Kita tidak akan memikirkannya lagi dari mana minuman tersebut berasal. Yang penting tidak mematikan.

Seperti dusta-dusta kandidat kepala desa yang ada di altar pengenalan visi-misi. Semua bagus walau suatu saat nanti kita tidak tahu kapal desa akan membawa awaknya ke pantai mana bisa berlabuh. Ada anekdot di banyak kampung tumbuh subur. Calon kepala desa untuk bisa memenangkan pertarungan, ia mesti menerapkan metode visi, misi, dan pissi (pesse/uang). Sesungguhnya hal ini sangat ironi, tapi money politic adalah jalan yang 85 persen seorang kandidat lakukan.

Terbukti manjur. Banyak dari mereka lolos melenggang ke arah tujuan. Ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari dusta sang penguasa kepada para hamba. Siapa yang memulai, ia yang harus mengakhiri. Kalau bukan diri kita, siapa lagi yang bisa menghentikan dusta. Stop dusta sekarang. Kita tahu dusta adalah perilaku keji dan nista.

*Ketua Sanggar Adinda Pasongsongan-Sumenep.