Pasar Gelap Pemilu, Mahalnya Harga Demokrasi
Penulis: Alfan Huda
ARTIKEL – Tulisan ini berangkat dari perdebatan obrolan warung kopi yang tak ada habisnya. Mulai dari isu nasional sampai daerah, dilahap habis dari satu tempat ke tempat yang lain. Kurang dari enam bulan, tepatnya rabu 14 Februari kita akan melaksanakan pemilihan umum Presiden Republik Indonesia.
Namun demikian, pesta lima tahunan itu masih banyak meninggalkan persoalan pelik yang menjadi diskursus publik. Mulai dari kasus suap, polarisasi, vote buying, hingga intimidasi, kerap mewarnai saat memasuki tahun politik.
Pemilu hanya sekedar pasar tempat pelelangan para politisi, yang didalamnya terdapat proses tawar-menawar (Jual-beli suara), distribusi proyek, bahkan memperjual-belikan perizinan kontrak. Hal ini selaras dengan perkataan Aspinall, bahwa demokrasi di Indonesia hanya sekedar demokrasi dagangan.
Kita bisa melihat seorang kepala daerah, membutuhkan ongkos politik hingga puluhan miliar untuk kampanye pemilihan, tentu harga yang sangat mahal untuk menebus demokrasi. Ini adalah cara bagi politisi untuk mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, mulai dari ketua partai politik, broker, dan masyarakat. Hampir mustahil rasanya proses pertarungan politik yang terjadi tidak melibatkan transaksi uang di dalamnya. Yang memainkan peran penting keberhasilan seorang calon.
Fenomena yang terjadi saat ini, tidak terlepas dari kebiasaan para aktor politik yang memanfaatkan celah untuk meraih keuntungan dari sistem politik yang ada. Sehingga praktik politik yang dijalankan atas niat yang sangat pragmatis.
Mengingatkan saya tentang apa yang dikatakan Bennedict Anderson dan Heather Sutherland bahwa, negara Indonesia yang bertindak sebagai negara bagi dirinya sendiri, tidak jauh berbeda dengan pendahulunya yang suka mengeruk untuk kepentingan pribadi yaitu negara kolonial.
Fakta ini menunjukkan bahwa ongkos demokrasi di Indonesia tidaklah murah. Mau tidak mau, suka tidak suka, politisi harus tunduk kepada para pebisnis atau pengusaha yang membantu pendaan mereka selama kampanye. Kongsi antara pebisnis dan politisi berimplikasi terhadap relasi yang terbangun.
Alih-alih memikirkan rakyat, mereka justru bersepakat untuk memonopoli sumber daya negara. Memberikan keuntungan eksklusif kepada segelintir orang yang mengakibatkan ketidaksetaraan dalam mendapatkan akses. Merupakan pendorong awal mula terjadinya praktik politik patron-klien.
Pervasifnya pertukaran klientelistik telah merubah hakikat pemilu yang syarat transaksional. Politisi menawarkan bantuan dengan harapan para penerima tersebut membalasnya dengan dukungan politik. Menggambarkan bahwa masyarakat hanya menjadi pemain pinggiran yang kerap dimanfaatkan demi mendulang suara.
Meskipun terlihat runyam, tulisan ini tidak bermaksud membawa pembaca kedalam semangat pesimisme. Melainkan hendak mengajak untuk merefleksikan kembali makna demokrasi dan pemilu. Kita tidak perlu mendaki-daki untuk mewujudkan negara menjadi lebih baik, sebelum perut masyarkat kita kenyang.
Pada Tingkat ini, pertumbuhan ekonomi harapannya secara perlahan bisa mendorong masyarakat untuk meninggalkan praktik klientelistik, sehingga mereka tidak tergiur dengan uang yang ditawarkan. Begitupun dengan pejabat publik, tidak boleh menggantungkan hidupnya dari hasil politik. Yang memungkinan mencari keuntungan pribadi dari kekuasaannya.
Seorang pejabat, selain memiliki kekuasaan politik juga harus memiliki kuasa ekonomi, agar tidak bergantung dan dipermainkan para pengusaha.