Daerah

HMI Cabang Pamekasan Soroti RUU TNI yang Mengancam Demokrasi dan Merusak Cita-cita Reformasi

×

HMI Cabang Pamekasan Soroti RUU TNI yang Mengancam Demokrasi dan Merusak Cita-cita Reformasi

Sebarkan artikel ini
HMI Cabang Pamekasan Soroti RUU TNI yang Mengancam Demokrasi dan Merusak Cita-cita Reformasi

HMI Cabang Pamekasan Soroti RUU TNI yang Mengancam Demokrasi dan Merusak Cita-cita Reformasi

LIMADETIK.COM, PAMEKASAN – Di tengah wacana efisiensi anggaran, para pembuat kebijakan malah menggelar rapat pembahasan RUU TNI secara tertutup. Sementara itu, substansi RUU ini justru berbahaya. Sama halnya dengan membuka kembali praktik Dwifungsi ABRI yang telah diupayakan hilang sejak Reformasi!.

Awalnya UU TNI hanya mengizinkan prajurit aktif menduduki jabatan di sepuluh kementerian atau lembaga negara. Dan hal itu terdapat didalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, pada awalnya terdapat 10 kementerian/lembaga yang bisa diduduki prajurit TNI aktif.

“Namun, dalam revisi yang diajukan, jumlah tersebut bertambah menjadi lima belas institusi yang dapat diisi oleh personel TNI aktif. Tak hanya itu ada penambahan satu lembaga lagi yang telah ditetapkan, yakni BNPP” kata Ibnu Firdaus, Ketua Bidang Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) HMI Cabang Pamekasan, Selasa (18/3/2025).

Adapun 16 pos instansi kementerian lembaga yang diusulkan bisa ditempati TNI aktif di RUU TNI:

1. Kantor Bidang Polkam
2. Pertahanan Negara
3. Sekretaris Militer Presiden
4. Intelijen Negara
5. Sandi Negara
6. Lemhannas
7. Dewan Pertahanan Nasional
8. SAR Nasional
9. Narkotika Nasional
10. Mahkamah Agung

Tambahan:
11. BNPB
12. BNPT
13. Keamanan Laut
14. Kejagung
15. Kelautan dan Perikanan
16. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).

Di dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI diatas sudah tegas menyatakan bahwa prajurit aktif tidak boleh menempati jabatan sipil, kecuali dalam posisi tertentu yang diatur secara ketat.

Jika RUU ini disahkan, perwira aktif TNI dapat kembali menduduki jabatan sipil di pemerintahan dan bahkan diizinkan untuk berbisnis. Ini bukan sekadar kemunduran demokrasi, ini adalah jalan bagi militer untuk kembali menguasai ranah sipil, persis seperti era Orde Baru yang otoritarian.

“Kalau kita membiarkan ruang sipil kembali dikuasai militer, kepemimpinan negara akan semakin sentralistik dan militeristik, bertentangan dengan cita-cita reformasi dan semangat demokrasi” pungkasnya.