Menyampaikan Dakwah Cukup Mujmalnya Saja Bukan Berarti Menta’yin Bukan?
Oleh : Noris Soleh
Mahasiswa IAI Al-Khairat Pamekasan
___________________________
#Perkara Menta’yin Individu
JURNAL – Coba kita bertanya kepada Google atau bertanya langsung kepada seseorang yang ‘Alim Ulama’ tentang suatu perkara, pasti jawaban dari mereka adalah sesuai dengan yang di pertanyakan, dan kadang mereka tidak merinci jawaban, mereka hanya menjawab secara umum saja atau Mujmalnya saja yang di sampaikan. Misalkan ada seseorang yang bertanya,
“Ustadz, apa hukumnya adzan tapi tidak langsung sholat, karena saya masih ada di kantor untuk kerja.”
Kebanyakan dari para Ulama’ mengatakan “Wajib melaksanakan sholat apabila mendengarkan adzan, tidak boleh menunda dengan disengaja, hentikan pekerjaan, sholat dan lanjutkan setelah sholat.
Para Ulama’ tidak akan merinci jawaban, seandainya penanya juga bertanya. “Saya memiliki pekerjaan yang mustahil untuk ditinggalkan.”
Jawaban sebagian Ulama’ mungkin membolehkan sampai urusannya selesai asalkan tidak terlewat waktu sholat, tapi sebagian Ulama’ akan tegas tetap harus meninggalkan pekerjaannya. Taruhlah, kita ambil pendapat pertama yang membolehkan asalkan tidak terlewat waktu sholat. Misalkan Dzuhur maka sebelum sampai waktu Ashar masih bisa di lakukan.
Meskipun jawaban itu benar, namun akan muncul kemungkinan-kemungkinan penyelewengan terhadap pendapat. Orang yang bertanya berpotensi akan melalaikan sholat meski dalam keadaan tidak terdesak, karena sudah biasa dengan fatwa, bahwa boleh menunda sholat selagi masih dalam waktunya, sehingga apabila adzan tiba, Si penanya dalam keadaan terdesak atau tidak di khawatirkan akan terbiasa untuk menunda waktu sholatnya.
Sehingga masuk ke dalam bab melalaikan sholat/menunda-nunda waktu sholat.
Nah, beberapa Ulama’ yang terkesan tegas atas jawabannya, sebenarnya khawatir akan terjadi ha-hal tersebut, kalaupun mau merinci jawaban, seharusnya rincilah serinci-rincinya kalau itu memang untuk orang awam.
Maka di perinci lagi bahwa menunda sholat tidak di perkenankan, menunda sholat hanya di bolehkan saat benar-benar terdesak, apabila tidak terdesak maka lakukanlah sholah pada awal waktunya, atau saat sesudah mendengarkan adzan. Hal ini di lakukan untuk menutup celah akan adanya kelalaian terhadap waktu pengerjaan sholat.
Kembali pada Mujmal, kita menyampaikan dakwah terkadang tidak perlu di rinci, tapi cukup dengan menyampaikan Mujmalnya saja, bukan berarti Menta’yin, seperti halnya ada Ustadz berkata, “barang siapa yang meminta wasilah kepada kuburan, maka dia musyrik.” Atau, “jangan pernah datang ke dukun karena itu syirik”
Nah, oramg awam yang terhubung hidayah seharusnya akan faham bahwa sangat keras larangan untuk hal-hal tersebut, namun sebagian orang pun menganggap bahwa, “Wah, saya di kafirkan sama ustadz anu, karena saya melakukan kesyirikan, berarti kafir dan murtad kan ?”
Padahal sang Ustadz menta’yin tapi menyampaikan hukum mujmal, adapun kalau mubayyan (diperjelaskan/di perinci) maka:
Dilihat dulu dia faham atau tidak.
Kondisinya terdesak atau tidak.
Sudah disampaikan dakwah belum?
Kalaupun ketiga indikator tersebut telah ada, jangan duku mensyrikkan individu, tapi terus dakwahkan sampai benar-benar faham, kalau belum maka tidak ada Hak bagi kita untuk mensyirikkan individunya, cukup perbuatannya, biarlah perbuatan individunya urusan Allah. Kecuali dia sudah berilmu dan terang-terangan membenarkan syiriknya bahkan ada yang sampai mensyiarkan syiriknya, maka dia jelas Musyrik Mubayyan, boleh kita Menta’yin orang seperti itu.
Perkara, Menta’yin adalah hal yang berat apalagi seseorang yang memastikan orang lain masuk neraka, padahal penyampaian dakwah akan mengantarkannya pada kesesatan dan ke neraka, itu hanya hukum Mujmal tidak Menta’yin individu.
Dalilnya banyak sekali dalam Al-Qur’an Allah ‘azza wajalla menjelaskan. “Sungguh orang-orang yang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke dalam neraka Jahannam; MEREKA KEKAL DI DALAMNYA. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk.”
Kemudian surah An-Nisa’ ayat 93 atau surah At-Taubah ayat 68 dan lainnya. Allah jelas mengatakan pembunuh seorang Mu’min dan munafik di hadiahkan kekal di dalamnya.
Dakwah kadang berupa penyampian ancaman-ancaman syari’at, kabar-kabar gembira tanpa di rinci dan sampaikan saja ancamannya, tidak boleh di katakan, “Anda kafir pasti masuk neraka.” Padahal dia masih hidup, dan kalaupun ada orang kafir mati, maka kita meyakni secara umum seorang yang mati dalam keadaan kafir pasti masuk neraka tapi ditanya tentang seorang individu”
“Apakah dia masuk neraka. Dia kafir loh?” Maka kita tidak bisa memastikannya, karena bisa jadi dia bersyahadat sebelum kematiannya, tapi yang kita bisa jawab adalah hukum Mujmal tidak Menta’yin pribadinya.
Rasulullah pernah bersabda ketika di mintai nasehat oleh seorang sahabat, “Jangan marah” yang bertanya mungkin bingung dan bertanya lagi sampai tiga kali, jawaban Rasul pun masih sama. Apakah Rasul Menta’yin bahwa dia adalah seorang yang pemarah? Beliau tidak merinci pada saat itu bahwa marah itu boleh dalam keadaan tertentu, tapi beliau tegas “Jangan marah.”
Mungkin hanya itu yang bisa saya jelaskan tentang berdakwah cukup Mujmalnya saja, meski sedikit semoga bermanfaat bagi kalian para pembaca. Mohon maaf bila ada kesalahan dalam menjelaskan atau dalam pengetikan karena yang melakukan itu semua adalah manusia yang tak jauh dari lupa dan kesalahan. Wallahu a’lam bishshawwab.