Artikel

Pray For Sumenep Merah: Tragedi Penguasa Sebagai Seorang “Pelacur” Demokrasi

×

Pray For Sumenep Merah: Tragedi Penguasa Sebagai Seorang “Pelacur” Demokrasi

Sebarkan artikel ini
Pray For Sumenep Merah: Tragedi Penguasa Sebagai Seorang "Pelacur" Demokrasi
Laila Naxeh

Pray For Sumenep Merah: Tragedi Penguasa Sebagai Seorang “Pelacur” Demokrasi

Oleh : Laila Nazeh
Kabid PSDM Formasi

____________________________

ARTIKEL – Sumenep, sebuah wilayah di ujung timur Pulau Madura, saat ini sedang mengalami badai multidimensional yang menunjukkan keterpurukan serius dalam tata kelola kepemerintahan, mengenai keadilan sosial, dan demokrasi lokal. Fenomena yang terjadi di Kabupaten Sumenep belakangan ini mencerminkan awal dari gejala kemunduran demokrasi lokal yang sangat mengkhawatirkan.

Istilah “Pray For Sumenep Merah” bukan sekadar simbol keprihatinan, melainkan representasi dari kondisi sosial-politik yang sedang dilanda krisis, baik itu krisis kepercayaan, krisis kepemimpinan, dan krisis nilai demokrasi. Jika saat ini demokrasi diibaratkan sebagai komitmen penguasa terhadap integritas dan keadilan rakyat, maka yang terjadi di Sumenep saat ini justru menampilkan wajah pemerintah yang kian menjauh dari hal itu.

Fenomena krisis multidimensi yang kini mencengkeram Kabupaten Sumenep mencerminkan realitas menyakitkan tentang bagaimana kekuasaan kehilangan moral dan fungsi pengawasan, berubah menjadi alat prostitusi terhadap nilai-nilai demokrasi.

Beberapa tragedi membuktikan mengenai kemerosotan tata kelola di Kabupaten Sumenep yang menjadi bukti nyata bagaimana kekuasaan yang tak dikontrol oleh nilai-nilai demokrasi dapat berubah menjadi alat pembusukan moral dan sosial.

Dalam beberapa waktu terakhir, publik disuguhkan rangkaian peristiwa yang mencerminkan ketidak mampuan bahkan ketidak pedulian pemerintah daerah dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan rakyat.

Dalam kurun waktu yang nyaris bersamaan, Sumenep dihantam berbagai kasus di antaranya: korupsi ratusan miliar rupiah (BSPS), pencabulan santri di lembaga pendidikan agama, kelangkaan gas LPG 3 kg yang diduga akibat permainan agen, ambiguitas penutupan tambang galian C yang berpotensi merusak lingkungan, hingga peredaran rokok ilegal yang merugikan negara.

Dari deretan kasus tersebut sudah bukan sekadar insiden terpisah, tetapi saling berkelindan dalam ekosistem tata kelola yang cacat dan permisif terhadap penyimpangan.

Pertama, kasus pencabulan santri yang hanya baru didampingi oleh pemerintah setelah publik menekan (Exposenews, 2025), menunjukkan lemahnya responsibility pemerintah terhadap korban kekerasan seksual. Dari tragedi ini sudah sangat jelas menandakan bahwa ketidak siapan pemerintah untuk hadir atau terjun langsung di tengah penderitaan rakyat, khususnya anak-anak yang berada dalam lembaga keagamaan.

Kedua, temuan mengenai dugaan korupsi sebesar Rp109 miliar dalam program BSPS (Portal JTV, 2025), menjadi gambaran nyata lemahnya tata kelola dan pengawasan dalam distribusi anggaran bantuan sosial di tingkat daerah. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk pembangunan sosial berubah menjadi sarana memperkaya diri segelintir orang yang merusak tatanan negara hukum menunjukkan bahwa dana publik yang sejatinya diperuntukkan bagi masyarakat miskin telah diperdagangkan oleh oknum birokrasi dan fasilitator.

Ketiga, Kelangkaan Gas LPG 3 Kg di Sumenep diduga terjadi akibat permainan spekulatif oleh agen distribusi. Agen-agen disinyalir melakukan penimbunan dan rekayasa suplai sehingga memicu kepanikan publik (Kabar Madura, 2025).

Fenomena dari tindakan ini memperlihatkan lemahnya kontrol dan keterlibatan pemerintah dalam menjaga ketahanan ekonomi lokal. Distribusi subsidi yang seharusnya berbasis keadilan ekonomi justru terjebak dalam komodifikasi oleh pengusaha yang dekat dengan kekuasaan.

Keempat, Ketidak tegasan Pemkab Sumenep dalam penelusuran surat rekomendasi penutupan tambang galian C memunculkan kecurigaan tentang adanya konflik kepentingan (Radar Madura, 2025).

Dari Ketidaktegasan Pemkab ini justru membuka peluang barter kuasa antara pejabat dan pemilik modal. maka apa fungsi pengawasan jika akhirnya hanya berubah menjadi tameng untuk kepentingan ekonomi elit.

Kelima, Maraknya rokok ilegal di mana-mana mengakibatkan Pembiaran terhadap Kejahatan Ekonomi. Meski razia peredaran rokok ilegal dilakukan oleh Pemkab bersama Bea Cukai, faktanya peredaran barang ilegal ini masih massif di kabupaten Sumenep (Antara Jatim, 2025).

Tindakan Ini menyiratkan bahwa upaya penegakan hukum lebih bersifat simbolik ketimbang sistemik. Ketika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka demokrasi menjadi boneka yang dipermainkan oleh elit yang memonopoli sumber daya.

Deretan kasus di atas bukan sekadar rangkaian kejahatan, tetapi mencerminkan kolapsnya etika kekuasaan lokal. Melalui kasus-kasus ini pula, Sumenep menjadi cermin luka dari demokrasi lokal yang kehilangan substansinya. Hingga nilai demokrasi saat ini bukan lagi sistem untuk melayani rakyat, melainkan alat tawar-menawar kepentingan elite.

Seorang “pelacur demokrasi” bukanlah figur tunggal, melainkan representasi sistemik dari aktor-aktor kekuasaan yang menjajakan otoritasnya demi transaksi gelap, entah itu dalam bentuk dana, seksualitas kuasa, atau pengkhianatan terhadap tanggung jawab sosial.