ARTIKEL, Oleh: Moses Gotlief Rumperiai
(Program Studi Magister Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Malang).
Pandemi COVID-19 masih menjadi ancaman seluruh dunia. Bila kita mencermati update data di website yang konsisten menyajikan data terbaru kasus COVID-19, yaitu worldometers.info/coronavirus/ (updated: July 11, 2020, 00:44 GMT), maka terlihat jelas angka yang sangat tinggi. Penyakit ini telah “menjajah” 215 negara di dunia.
Kasus total COVID-19 di dunia mencapai 12.615.367, meninggal sebanyak 562.011, dan sembuh sebesar 7.320.877. Sementara itu, kasus di Indonesia (peringkat ke-25) sebanyak 72.347, meninggal sebanyak 3.469, dan sembuh sebesar 33.529. Grafik kasus di Indonesia masih cenderung menanjak sejak pertama kali pemerintah mengumumkan 2 Maret 2020.
Belum ada vaksin
Sampai saat ini, para peneliti bidang kesehatan di dunia terus berkejaran dengan waktu untuk menemukan vaksin yang ampuh menangkal COVID-19. Nah, pertanyaan adalah bagaimana upaya kita sembari menunggu adanya vaksin?.
Menurut Badan Kesehatan Duni (World Health Organization/WHO), sebagaimana yang ditulis Shalihah (Kompas.com-02/04), masyarakat perlu memahami (berliterasi) bahwa COVID-19 adalah jenis virus pneumonia, sehingga penggunaan antibiotik-sebagaimana kebiasaan yang lazim masyarakat awam kita-tidak ada gunanya. Penggunaan obat flu, tidak akan maksimal hasilnya, untuk tidak mengatakan tidak akan berfungsi.
Di Rumah Sakit, dokter dan perawat memberikan perawatan suportif, mengobati gejala yang sering muncul misalnya demam, batuk, dan sesak napas. Maka, sejatinya pemulihan atau kesembuhan sangat tergantung pada imunitas atau kekebalan tubuh seseorang. Masih menurut WHO, orang-orang yang mengalami kasus ringan (tidak lebih parah dari pilek) bisa sembuh tanpa perawatan khusus. Oleh karena itu, saat ini yang perlu dikampanyekan adalah selain yang sudah umum kita dengar (social/physical distancing atau menghindari risiko dengan mengurangi kontak sosial, rajin cuci tangan, serta rajin membersihkan tubuh), masyarakat harus rajin mengkonsumsi makanan sehat, alami, dan bersumber dari kekayaan alam kita. Hal ini sebagai upaya menjaga daya tahan atau imunitas tubuh.
Kearifan Papua
Indonesia kaya akan sumberdaya alam. Seiring dengan itu, Indonesia juga kaya akan kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan aneka tumbuhan untuk tujuan pengobatan, menjaga kesehatan, atau meningkatkan imunitas tubuh.
“Riset Tumbuhan Obat dan Jamu pada 2017 menyebutkan, Indonesia memiliki sumber alam hayati yang setidaknya terdiri dari 2.848 spesies tumbuhan obat, dengan 32.014 ramuan obat. Awal 2020, Kementerian Kesehatan RI menerbitkan Surat Edaran tentang pemanfaatan obat tradisional untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, dan perawatan kesehatan. Intinya, Kementerian Kesehatan menyarankan masyarakat memanfaatkan obat tradisional berupa jamu, obat herbal terstandar, dan fitofarmaka pada masa kedaruratan kesehatan masyarakat atau bencana nasional Covid-19” (Sutrisno, 2020).
Secara khusus, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua Barat, Charlie Heatubun-sebagaimana yang dirilis oleh Harian republika (16/03/2020)-menginformasikan bahwa hutan dan alam di Provinsi Papua dan Papua Barat menyimpan keanekaragaman hayati melimpah diantaranya bermanfaat sebagai bahan baku obat-obatan serta meningkatkan kekebalan serta stamina tubuh.
Menurut Rumperiai (2020) suku Kurudu (suku terbesar di Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua) adalah salah satu contoh suku yang bersahaja yang dapat dijadikan inspirasi. Mereka tetap hidup dalam tradisi, menjaga pengetahuan etnisnya tentang penyembuhan penyakit menggunakan tumbuh-tumbuhan. Sama seperti keyakinan etnis lainnya, suku Kurudu pun yakin terhadap khasiat tumbuhan penghambat dan penyembuh penyakit.
Suku Kurudu meyakini akan adanya khasiat tiga spesies tumbuhan yang dapat mencegah penyakit virus corona, yang digunakan dalam tradisi war wen. Tiga tumbuhan itu adalah nianggotr (daun sirih hutan), manemyo (sirih lele), dan nianggoi tu (sirih domestik). Ketiga tumbuhan itu memiliki ciri rasa pedas dan aroma khas yang harum.
Untuk pencegahan COVID-19, suku Kurudu mewajibkan setiap orang dewasa dan anak-anak untuk melakukan tradisi war wen minimal tiga kali sehari (pagi, siang, malam) dengan menggunakan tiga spesies sirih secara bersama-sama.
Tentu saja, meskipun hingga kini belum ada bukti medis dan riset ilmiah mendalam, setidaknya ikhtiar masyarakat-masyarakat untuk menjaga diri mereka agar tidak terpapar COVID-19 perlu diapresiasi dan didukung. Toh, setidaknya kita perlu bersyukur, karena berdasarkan data hari selasa, 07 Juli 2020 di Kabupaten Kepulauan Yapen hanya terdapat 15 kasus, 6 sembuh, 9 masih dirawat, dan nihil angka kematian. [*]