18 Oktober 2020
OLEH : Muh.Muhlis.
Agama islam sejak pertama kali menancapkan taringnya di bumi Nusantara tetap eksis hingga sampai saat ini keberadaannya, ini tiada lain dan tiada bukan karena dalam proses islamisasinya menekankan konsepsi yang persuasif. Sehingga saat inipun agama islam tetap menjadi agama mayoritas yang banyak sekali dianut oleh kebanyakan masyarakat Indonesia.
Berkat para sembilan wali atau yang lebih familiar di telinga seseorang dengan sebutan wali songolah islam menjadi agama yang dikenal dengan agama yang menarik, lemah lembut dalam penyebarannya, sehingga ini menjadi sebuah modal untuk menepis banyaknya persepsi ataupun spekulasi bahwa islam merupakan agama yang radikal.
Secara historis, pendekatan salah seorang wali yakni Sunan Kali Jaga dalam proses islamisasi khususnya di tanah Jawa telah memberikan dampak positif yang besar. Mengapa, sebab beliau dalam proses pendakwahannya menggunakan pendekatan pada kearifan lokal atau budaya tradisonal masyarakat setempat sebagai instrumen untuk penyebaran islam. Dan ini menjadi sebuah inisiatif yang brilian, sebab metode tersebut banyak membuahkan hasil disebabkan semakin banyaknya penduduk setempat yang masuk islam. Sehingga sampai saat ini, masyarakat islam terkhusus di pedesaan, dalam acara-acara keagamaan masih kental dengan budaya nenek moyang seperti halnya tumpeng, kenduri, menyalakan dupa, upacara perkawinan dan lain sebagainya.
Budaya lokal ataupun budaya islami yang telah melekat eksistensinya dengan agama islam di dalam realita kehidupan masyarakat merupakan fenomena tersendiri yang harus kita berikan apresiasi tanpa rasa deskriminatif. Cak Nur pernah mengatakan bahwa agama dan budaya adalah dua hal yang dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Karena dalam realita kehidupan masyarakat Indonesia dulu ataupun saat ini, antara agama dan budaya selalu melekat kuat dan selalu berjalan secara beriringan karena merupakan dua substansi yang tidak bisa dipisahkan.
Dinamika perkembangan zaman telah membawa banyak wajah dan corak baru dalam islam, sehingga ini membawa pada dikotomik bipolar antara golongan legal formal Al-Qur’an yang berusaha mengaplikasikan ajaran islam secara kaffah dan golongan kemasyarakatan yang mengamini adanya kesinergian antara agama dan budaya.
Maka dalam hal ini, pemahaman dan penginternalisasian mengenai teks Al-Qur’an haruslah dinamis dan kontemporer sesuai dengan fenomena kekinian yang terjadi dalam masyarakat pada saat ini. Sehingga dengan demikian, bias paradigma golongan legal formal Al-Qur’an maupun golongan paham kemasyarakatan bisa berakhir dan menuju pada satu ekspektasi yaitu tentang keadilan dan kemakmuran bersama.
Dalam segi inklusivitas, agama islam adalah agama yang terbuka (open religion) dan mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan zaman serta menolak adanya eksklusivime yang lebih bercorak eksklusif-fanatis sehingga dapat berujung pada disintegrasi agama maupun bangsa. Namun dalam hal ini, islam memberikan ruang lebih ekstensif pada absolutisme yang lebih memprioritaskan ide pertumbuhan dan perkembangan (growth and development) tanpa terlalu legal formal pada dogma agama, sehingga agama islam bisa terus mengalir mengikuti dinamika zaman.
Dalam perspektif inklusif, islam diekspektasikan bisa menjadi payung yang dapat menaungi berbagai macam perbedaan, yang secara implisit merupakan usaha konstruktif membangun civil society. Ini secara komplomenter medukung eksistensi Pancasila yang dikristalisasikan oleh Bapak Pendiri Bangsa (founding father) dan sekaligus sebagai bentuk aktualisasi pelaksana dari semboyan negara Indonesia sebagai pemersatu bangsa yakni ”Bhinneka Tunggal Ika”.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menegaskan tentang pentingnyaa umat islam untuk membuka diri pada paradigma yang lebih kosmopolitan yang di dalamnya terdapat sebuah wawasan dan pengalaman-pengalaman empiris yang baru. Sehingga dengan demikian paradigma umat islam akan lebih luas dan tidak mudah saling menyalahkan satu dengan yang lainnya.
Paradigma yang ekstensif akan membawa dampak baik pada keharmonisan interaksi antar sesama warga negara Indonesia yang kaya akan perbedaan agama, suku, bahasa, ras, ataupun golongan. Sebab di sisi yang lain universalitas islam secara komprehensif tidak hanya limitatif pada umat islam saja, melainkan semua umat selain islam. Di mana ini tercanangkan dalam surah Al-anbiya yang berbunyi:
وما أرسلناك إّل رحمة للعالمين
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya 21: Ayat 107).
Dengan demikian, hal tersebut menjadi bukti konkret bahwa keterbukaan umat islam dengan besifat kontemporer pada dinamika zaman, dapat membentuk sebuah paradigma bahwa islam sebagai agama samawi yang diturunkan oleh Allah.swt menginstrusksikan kemaslahatan bersama bagi semua makhluk di dunia ini.
Dalam konsep inklusivitas dan universalitas islam, agama islam bersifat terbuka dan selalu bisa berakomodasi dengan perkembangan zaman khususnya dinamika yang terjadi di Indonesia ini. Karena islam sebagai agama terbuka (open religion) selalu menerima hal baru, selama tidak bertentangan dengan konsep ajaran murni islam, yang tujuan akhirnya bukan hanya untuk umat islam yang ada di Indonesia semata, melainkan juga untuk kemaslahatan bersama seluruh warga Indonesia yang terdiri dari heterogenitas dalam berbagai aspek yang menjadi unsur konstruktif adanya identitas nasional pembentuk karakteristik bangsa dan negara Indonesia. Di mana kalau kita tarik dalam kaca mata sejarah islam, pada saat kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, terdapat sebuah Piagam Madinah yang di dalamnya terdapat pengayoman kepada umat selain islam untuk menjaga kondusivitas keharmonisan interaksi antar sesama warga madinah.
Peleburan agama islam dalam realitas kehidupan berbangsa dan berwarga negara yang memperioritaskan kepentingan bersama tanpa adanya pandangan yang membeda-bedakan, akan menjadi sebuah daya tarik tersendiri bagi agama islam. Sehingga ini dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendakwahkan agama islam. Di mana Syekh Ahmad Deedat pernah berkata bahwa dalam berdakwah kita tidak diperbolehkan menggunakan kekerasan, melainkan menggunakan pedang, yang beliau sebut sebagai pedang intelektual.
Pernyataan tersebut beliau sampaikan ini didasari oleh (Q.S An-Nahl (16) ayat 125 yang artinya “Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. Karena kalau kita telisik lebih dalam, di dalam Al-Qur’an memanglah terdapat sebuah pernyataan bahwa dalam mendakwahkan agama islam. Kita tidak diperkenankan untuk memaksa orang lain supaya memasuki agama islam.
Karena memaksa orang lain masuk islam tidak pernah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW. Justru walaupun orang yang dipaksa masuk agama islam, maka hal tersebut hanyalah sia-sia belaka dan tak bernilai apapun kecuali hanya mendapat dosa. Ini ditegaskan dalam (Q.S Al-Baqarah (2) ayat 256 yang artinya “Tiada paksaan untuk memasuki agama islam”.
Berdasarkan pemaran di atas kita sebagai umat islam dihimbau untuk selalu bersifat terbuka dan bisa berakomodasi dengan perkembangan zaman, terkait antara budaya dan agama islam, dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama sebagai agama yang diturunkan bagi alam semesta (rahmatal lil ‘alamin). Sehingga tercapailah kehidupan agama yang harmonis dengan prinsip inklusif-humanis-emansipatoris yang lebih luas untuk keadilan dan kemakmuran bersama warga negara Indonesia. (*)
Penulis adalah Mahasiswa STKIP PGRI Sumenep