Celah Hukum UU Perkawinan: Problematika Isbat Nikah dan Pernikahan Siri pada Pasangan Usia Dini
Penulis : Abdul Manan, S.H
Praktisi Hukum
______________________________
ARTIKEL – Pernikahan merupakan institusi sosial dan legal yang memiliki landasan hukum kuat dalam sistem hukum Indonesia, khususnya diatur melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019. Meskipun telah mengalami perubahan penting, undang-undang ini masih menyisakan sejumlah persoalan, salah satunya terkait praktik pernikahan siri dan permohonan isbat nikah, terutama yang dilakukan oleh pasangan usia dini.
Pernikahan usia dini di Indonesia, khususnya yang berlangsung secara siri (tidak tercatat secara resmi di Kantor Urusan Agama), masih kerap terjadi di berbagai daerah hingga saat ini. Dalam praktiknya, ketika pasangan ini ingin mendapatkan pengakuan hukum atas pernikahan mereka, mereka mengajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Di sinilah celah hukum mulai tampak, ketika mekanisme legal digunakan untuk melegalkan pernikahan yang sejak awal melanggar batas usia minimal yang ditetapkan oleh undang-undang.
Isbat nikah secara hukum diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 7 ayat (3), yang menyebutkan bahwa isbat nikah dapat diajukan dalam hal pernikahan dilakukan sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, pernikahan yang tidak dicatat, atau hilangnya akta nikah. Namun, pada praktiknya, banyak pasangan menikah dini secara siri dan kemudian mengajukan isbat nikah untuk memperoleh pengakuan hukum atas status pernikahan mereka. Ini memunculkan persoalan problematik: apakah sistem hukum secara tidak langsung membenarkan praktik pernikahan dini yang sebenarnya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan?
Pernikahan siri pada dasarnya sah menurut hukum Islam apabila memenuhi rukun dan syarat nikah, namun tidak memiliki kekuatan hukum secara administratif. Ketika pasangan usia dini melangsungkan pernikahan siri dan kemudian mengajukan isbat nikah, pengadilan sering kali mempertimbangkan kebutuhan administratif seperti kelengkapan dokumen kependudukan atau kepentingan anak yang lahir dari pernikahan tersebut. Mekanisme ini meskipun bertujuan baik, justru menjadi celah hukum yang memungkinkan terjadinya praktik pernikahan dini secara masif, masyarakat bisa saja memanfaatkan prosedur isbat nikah untuk menyiasati ketentuan usia minimal dalam UU Perkawinan.
Hal ini berpotensi merusak prinsip perlindungan anak yang telah ditegaskan dalam UU Perlindungan Anak, UU Perkawinan, dan berbagai konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Sebagaimana terbukanya ruang untuk dispensasi kawin yang dapat diberikan oleh pengadilan dengan alasan mendesak, ketentuan ini dimaksudkan untuk menjadi solusi dalam kondisi luar biasa, namun dalam praktiknya sering kali digunakan secara longgar.
Menghadapi persoalan ini, perlu ada reformulasi dalam kebijakan hukum nasional, khususnya dalam hal:
1. Pengetatan Persyaratan Isbat Nikah
Isbat nikah sebaiknya tidak dapat diajukan untuk pernikahan siri yang dilakukan melanggar batas usia minimal, kecuali dalam kondisi luar biasa seperti korban kekerasan atau eksploitasi. Pengadilan perlu memastikan bahwa prosedur ini tidak menjadi celah untuk membenarkan praktik yang melanggar hukum.
2. Evaluasi terhadap Dispensasi Kawin
Dispensasi kawin harus benar-benar diberikan secara selektif dan berdasarkan asesmen psikologis dan sosial terhadap calon mempelai. Penetapan usia minimal harus dilihat sebagai bentuk perlindungan hukum, bukan sekadar administratif.
3. Penguatan Peran Lembaga Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan
Diperlukan sinergi antara pengadilan, Dinas Sosial, Kementerian Agama, dan lembaga perlindungan anak untuk memberikan edukasi hukum, serta pencegahan praktik pernikahan dini melalui pendekatan kultural dan edukatif.
4. Peningkatan Kompetensi Hakim dan Aparat Hukum.
Aparat penegak hukum harus dibekali dengan pemahaman mendalam mengenai prinsip perlindungan anak dan implikasi jangka panjang dari pernikahan dini, sehingga keputusan hukum yang diambil mampu memberikan efek preventif, bukan justru permisif.
Celah hukum dalam regulasi perkawinan terkait isbat nikah dan pernikahan siri pasangan usia dini menjadi tantangan serius dalam penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi, hukum bertujuan melindungi hak-hak anak dan memastikan kesiapan pasangan dalam membangun rumah tangga. Namun di sisi lain, fleksibilitas dalam mekanisme hukum sering kali justru membuka jalan bagi legalisasi praktik yang bertentangan dengan semangat perlindungan anak.












