Runtuhnya Kontrak Sosial: Krisis Demokrasi dan Legitimasi Politik di Indonesia Saat ini
Oleh : Jazuli
Aktivis Mahasiswa
____________________________
OPINI – Negeri yang sangat kita cintai hari ini sedang berada di titik kerusakan. Jika pahlawan terdahulu kita berperang dan bertengkar dengan penjajah dalam rangka untuk merdeka, maka kita hari ini berperang dan bertengkar dengan saudara kita sendiri sebangsa dan setanah air dalam rangka mencari keadilan dan kesejahteraan.
Bukan karena masyarakatnya yang salah, akan tetapi mereka yang seharusnya menjadi representasi dari masyarakat itu sendiri justru berbanding terbalik. Sehingga betapa banyaknya persoalan di negeri ini mulai dari Pati ke Pusat Ibu kota hingga ke seluruh penjuru Negeri.
Dimulai dari Pati, kebijakan pemerintah daerah tentang kenaikan PBB hingga 250% yang dibuat menuai banyak kritik hingga munculnya gerakan awal terbesar di tahun 2025. Hal demikian meberikan dampak munculnya gerakan gerakan baru beberapa titik negeri.
Disusul persoalan lain tentang kenaikan tunjangan DPR hingga statemen para wakil rakyat yang asal asalan memicu amarah rakyat terhadap mereka, hal ini juga serupa menimbulkan gerakan besar di akhir bulan Agustus 2025 ini.
Hal seperti ini semakin mempertebal luka. Tuntutan kenaikan tunjangan DPR di tengah rakyat yang menderita menjadi simbol keterputusan elite dengan realitas sosial masyarakat. Ketika demonstrasi meluas, tragedi paling kelam pecah, seorang pengemudi ojek daring tewas di bawah roda kendaraan taktis Brimob.
Aparat yang seharusnya melindungi, justru tampil dengan wajah bengis premanisme berseragam coklat. Rakyat pun dengan kekecewaan besarnya membalas dengan kemarahan yang lebih besar.
Yaitu pembakaran gedung DPR di sejumlah daerah terjadi sebagai bentuk simbolik penghancuran legitimasi lembaga, bahkan rumah seorang anggota DPR ikut dijadikan sasaran amuk massa. Hal semacam ini bukan sekadar kerusuhan, melainkan tanda bahwa kontrak sosial antara rakyat dan wakilnya sedang runtuh.
Tan Malaka pernah menulis dalam bukunya yang berjudul Madilog, “Kalau rakyat sudah berani menuntut, maka kekuasaan yang tidak adil akan guncang.” Hari ini, apa yang diungkapkan bapak republik itu menemukan kenyataannya.
Dari Pati sampai ke Jakarta, dari kampus sampai jalanan kota, dari itu semua sampai ke seluruh penjuru negeri. Setiap tragedi pajak yang mencekik, represif aparat, hingga simbol perlawanan berupa pembakaran gedung wakil rakyat membangun kesadaran kolektif baru yang hari ini mulai tumbuh pesat di masyarakat kita.
Lalu, seperti apa nasib bangsa dan negeri kita kedepan. Maka, bagi saya 2045 sebagai puncak kejayaan dan kemajuan bangsa Indonesia hanyalah jargon belaka ketika melihat kerusuhan dan kerusakan negeri kita hari ini.
Demokrasi kita hari ini tercerabut dari ruh aslinya. Pemimpin politik sibuk mengurus privilese, aparat bertindak represif, sementara kita sebagai rakyat hanya ingin hidup layak.
Seperti yang diingatkan Tan Malaka, “Tujuan politik yang sejati bukanlah kekuasaan segelintir orang, melainkan keselamatan dan kesejahteraan rakyat.” Tapi hari ini, negeri justru berjalan terbalik, kekuasaan dipelihara, rakyat dikorbankan.
Maka solusi yang ditawarkan untuk memperbaiki demokrasi kita hari ini, kesadaran dan tindakan kolektif dari berbagai elemen masyarakat sangat penting untuk melawan kedzoliman menumbangkan para elit yang mempunyai peran lebih terhadap bangsa ini, sehingga apa yang di cita-citakan kemerdekaan bangsa Indonesia dapat tercapai.
Sejarah membuktikan, ketika kesadaran itu menyatu, maka tidak ada rezim yang bisa bertahan. Tan Malaka juga mengingatkan, “Kebenaran pada akhirnya akan menang, walau harus melewati jalan darah dan air mata.” Kita hari ini berada di jalan itu.