Himpunan Mahasiswa Islam: Organisasi Sebagai Episentrum Peradaban
OLEH: Febri Puji Lesmana
Kader HMI Cabang Sumenep
Komisariat P UNIBA Madura
____________________________
ARTIKEL – Jika ada organisasi kemahasiswaan yang mampu memadukan nilai keislaman dan kebangsaan dalam satu tarikan nafas, maka Himpunan Mahasiswa Islam HMI adalah jawabannya. Bagi saya pribadi, menjadi bagian dari HMI bukan sekadar ikut organisasi, melainkan sebuah pilihan ideologis dan historis yang sarat makna.
Sebuah keputusan sadar untuk terlibat dalam gerakan intelektual dan spiritual yang sudah eksis bahkan sejak awal republik ini berdiri.
HMI didirikan pada 5 Februari 1947, hanya 18 bulan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Saat itu, negara belum benar-benar berdiri kokoh. Ancaman kembalinya kolonialisme masih nyata, dan situasi politik sangat labil. Dalam kondisi inilah, Lafran Pane bersama 14 mahasiswa lainnya mendirikan HMI di Yogyakarta.
Tujuan mereka sangat jelas: mempertahankan kemerdekaan dan memperjuangkan tegaknya nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Apa yang menarik dari sejarah ini? HMI tidak lahir dari ruang kosong. Ia muncul sebagai respons terhadap kegelisahan zaman, sebuah bentuk ikhtiar kaum intelektual muda muslim untuk memastikan bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya bersifat fisik, tapi juga mengakar pada nilai-nilai spiritual dan moral Islam.
Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sejak awal, HMI adalah organisasi perjuangan, bukan sekadar organisasi mahasiswa biasa.
Saya pribadi memilih HMI karena warisan sejarah perjuangannya itu. HMI tidak hanya mencetak kader untuk organisasi, tetapi juga kader umat dan kader bangsa. Artinya, kehadiran kita di HMI bukan hanya untuk diskusi-diskusi internal atau kegiatan-kegiatan seremonial, tapi juga untuk mengembangkan kapasitas diri agar kelak bisa berkontribusi nyata bagi masyarakat dan negara.
Sebagai mahasiswa hukum, saya melihat bahwa keberanian untuk vokal, kritis, dan rasional adalah keniscayaan. Namun perkuliahan saja tidak cukup untuk melatih itu semua. Dibutuhkan ruang lain di luar kampus tempat kita bisa berproses, berlatih kepemimpinan, belajar nilai perjuangan, dan memperdalam literasi keislaman.
Di sinilah pentingnya organisasi HMI. Tapi tentu saja, keikutsertaan dalam organisasi harus dilandasi kesadaran. Jangan sampai kita hanya ikut-ikutan atau sekadar karena disuruh. Proses dalam HMI membutuhkan kesiapan fisik dan mental, karena ia bukan jalan pintas, melainkan jalan panjang perjuangan.
Tentu saja, HMI bukan organisasi yang tanpa kritik. Selama perjalanannya, banyak tantangan, konflik internal, hingga tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada organisasi ini.
Namun menurut saya, itu semua justru menunjukkan bahwa HMI adalah organisasi yang hidup bukan organisasi yang stagnan atau pasif. Kritik adalah tanda bahwa HMI terus diperhatikan dan memiliki posisi penting dalam dinamika sosial politik bangsa.
Hari ini, di tengah krisis identitas, polarisasi politik, dan derasnya arus globalisasi, keberadaan HMI menjadi semakin relevan. Ia bisa menjadi episentrum peradaban tempat di mana mahasiswa muslim Indonesia belajar menjadi manusia paripurna: beriman, berilmu, dan beramal.
Saya percaya, menjadi bagian dari HMI adalah langkah paling tepat. Sebuah keputusan yang tidak hanya bermakna hari ini, tapi juga untuk masa depan saya sebagai pribadi, umat, dan warga negara.
HMI bukan sekadar organisasi. Ia adalah gerakan. Ia adalah ide besar tentang Islam, kemanusiaan, dan kebangsaan. Maka selama cita-cita keadilan sosial belum tercapai, selama bangsa ini masih butuh kader-kader intelektual muslim yang tangguh, selama itu pula HMI akan tetap relevan dan dibutuhkan. Dan saya bangga menjadi bagian dari perjuangan besar itu.