Penulis :Wawan (Aktivis PMII Sumenep).
Judul : festival batik disumenep mengapa harus dikecam
(Senin.11 Desember 2017)
ARTIKEL – Mendengar pemberitaan di media, soal Ivent Festival Batik di Sumenep pada 9 Desember 2017, yang banyak menuai kecaman dari banyak kalangan, terutama tokoh-tokoh publik Sumenep. Saya tiba-tiba, juga Ingin ikut berkomentar.
Festival batik, yang dibawakan oleh para modelis atau artis, dengan segala jenis design dan modelnya adalah kegiatan yang lumrah ditampilkan ke publik. Dan mungkim juga wajar-wajar saja. Lalu kenapa di Sumenep dikecam?.
Saya terheran-heran pada beberapa orang/kelompok yang secara kejam mengecam kegiatan tersebut. Pasalnya, penampilan mereka yang terlalu fulgar dan eksotis tersebut tak enak dilihat dan dianggap menyalahi budaya keagamaan masyarakat Sumenep. Bagi saya, pandangan ini terlalu extrim karena telah menjadikan agama dan budaya sebagai alat tunggal untuk melihat kenyataan.
Publik Sumenep, seharusnya memahami event tersebut sebagai ajang promosi semua jenis dan varian batik. Sehingga, jika ada yang longgar dan bernuansa terbuka ke publik itu merupakan tuntutan style batik dari produsen yang ditawarkam ke pasar.
Hal itu, jelas demi menjawab kebutuhan pasar, yang tentu saja konsumennya bukan saja umat beragama islam, tapi juga umat lain. Yang dalam kebiasaannya, memiliki ketertarikan berbeda, mulai dari design, model serta jenis-jenisnya.
Publik di sini, jangan hanya diartikan sebagai umat islam saja, melainkan publik luas yang mungkin juga beragama lain. Yang gairah belinya berbeda-beda. Ada yang suka dengan design pakian tertutup, ada pula yang suka design pakaian longgar dan terbuka.
Selain itu, dalam banyak hal, sebenarnya jenis batik dengan design yang longgar dan terbuka, di pasar-pasar sudah banyak kita jumpai. Sehingga, bukan persoalan kalau beberapa kontestan batik di Sumenep menampilkan dengan gaya yang fulgar. Karena mereka menuruti tuntutan style design batik sesuai produksinya.
Apakah hal itu menyalahi budaya keagamaan masyarakat Sumenep? Saya rasa tidak. Karena konteksnya bukan untuk mempublis kefulgaran tersebut, melainkan promosi jenis dan design batik-batik yang ada di dalamnya.
Lagi pula, di dalam konteks merawat kebudayaan lokal, kadang-kadang publik sering salah memahaminya. Misalnya, karena alasan merawat kebudayaan lokal lalu menutup kesempatan budaya lain untuk masuk. Sehingga kalau ada kebiasaan lain yang masuk lalu dianggapnya melanggar dan mencerabut kebudayaan lokal. Hal itu adalah cara pandang kelompok tradisional konservatif yang biasanya sulit menerima budaya luar.Nah, cara pandang yang demikian mustinya tidak berlanjut di tengah masyarakat Sumenep yang mulai modern. Mereka harus terbiasa melihat budaya luar sebagai budayanya sendiri dan bukan menganggapnya sebagai pencerabutan terhadap budaya lokal.
Artinya, dibanding melakukan pengecaman terhadap festival yang fulgar (09/12), untuk merawat budaya lokal, Rasanya lebih baik kita melakukan edukasi budaya kepada anak cucu kita untuk tidak meniru budaya luar “yang buruk”. Dengan kata lain, jangan paksa orang lain untuk mentaati kebiasaan atau kebudayaan kita.
Dalam hal ini, Masyarakat Sumenep harus banyak belajar kepada umat Hindu dan Budha di Bali. Dimana kebudayaan asli mereka tetap berkelanjutan meski banyak ragam kebiasaan dan atau kebudayaan luar yang dibawa oleh wisatawan lokal dan manca negara, tetapi budaya Hindu dan Budha masih sangat kental.
Artikel oleh : Wawan
Penyunting : Tim Limadetik.com