Opini

Asa yang Terhempas: Prosa Pilu Guru Honorer

×

Asa yang Terhempas: Prosa Pilu Guru Honorer

Sebarkan artikel ini
IMG 20191122 WA0048

Sumenep, 26 November 2019

Opini: Yant Kaiy

LIMADETIK.com — Impian tak selamanya jadi kenyataan. Sedih dan bahagia bagian ornamen kehidupan manusia. Semua tahu itu. Tapi ketika asa merasa terberangus oleh sebuah kebijakan tidak populis, mungkin ada hati teriris. Sebuah dedikasi yang sepatutnya mendapat apresiasi, menguap terbawa angin lalu.

Angin kepentingan salah satu pihak, tidak memikirkan bahwa banyak asa menadah di berbagai pelosok negeri gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo.

Impian tak selamanya jadi kenyataan. Kebijakan yang dinanti dari banyak guru honorer terhampar di lembah-lebah kering. Rumput di lembah itu memang tumbuh, tapi tidak tersiram oleh air iba dari mereka yang disebut sang penguasa. Mereka cenderung berpihak kepada kaum borjuis. Kaum yang mungkin menurutnya bisa melanggengkan tempat duduknya.

Impian tak selamanya jadi kenyataan. Mereka lupa bahwa manusia punya Tuhan. Atau tahu tapi tidak ingat. Atau ingat tapi pura-pura lupa. Entahlah. Yang mutlak bahwa segala ketidak-adilan adalah embrio khianat dari seorang hamba kepada ikrar jabatan. Mereka telah bersumpah di bawah kitab suci dari agama mereka sendiri.

Impian tak selamanya jadi kenyataan. Hingar-bingar Hari Guru Nasional, Senin (25/11/2019) yang diperingati seluruh komponen masyarakat di bumi pertiwi ini, sesungguhnya kian membakar puisi pilu guru honorer. Betapa tidak, diusianya lebih 35 tahun telah melumatkan asa untuk bisa menembus cakrawala CPNS. Dia tidak bisa lagi menyulam langit menjadi biru. Langit tetap jingga dalam balutan senja nan temaram.

Impian tak selamanya jadi kenyataan. Karikatur, anekdot, vignet tak bisa lagi melukiskan bahasa pilu guru honorer selama lebih 20 tahun mendarmabaktikan ilmunya. Mengangkis kebodohan pada tunas bangsa di pedalaman. Menanamkan budi pekerti agar kelak berakhlak mulia. Sehingga bisa berjalan di rel agama sesungguhnya.

Impian tak selamanya jadi kenyataan. Adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, telah mengardusi apirasi guru honorer yang termarjinalkan. Ia berbuih-buih bicara manis pada berjuta-juta telinga rakyat Indonesia. Ia menganjurkan untuk merdeka belajar bagi sekolah, guru dan murid agar bisa berinovasi, bebas untuk belajar dengan mandiri dan kreatif.

Impian tak selamanya jadi kenyataan. Mendikbud ternyata lupa kalau soal kreatifitas guru tak perlu diajari. Karena guru telah mencurahkan inovasi dan kretifitasnya sudah sejak awal. Jangan menutupi isu nasib guru honorer dengan tembang nina bobo. Guru tidak bisa tidur nyenyak memikirkan murid. Mungkinkah sang penguasa bisa tidur nyenyak merenungi nasib guru honorer?

Penulis: Yant Kaiy adalah wartawan limadetik.com