ARTIKEL, Oleh: Yant Kaiy
Persembahan
Kepada orang-orang yang saya cintai:
Eppa’ : Muhammad Salehodin Minggeh
Emma’ : Asmawiya binti Hasyim
Bini : Sundari Binti Surahmo
Ana’ : Fatillah Alfi Maghfirah
Azizah Syifana
Taretan : S. Yohana.
Ucapan Terima Kasih
1. K.H. Ismail Tembang Pamungkas, (da’i, sejarawan, pengasuh thoriqoh Desa Paberasan-Sumenep).
2. Ustadz Aji Lahaji (pengamat sejarah Islam tinggal di Jakarta kelahiran Sumenep).
3. Drs. K.H. Mas Ula Ahmad (pengasuh pondok pesantren Assyafi’iyah Desa Panaongan-Sumenep).
4. Sri Sundari (pengamat sejarah Islam tinggal di Desa Panaongan-Sumenep).
5. Ustadz Abdul Karim Mastura (keturunan Syekh Ali Akbar tinggal di Desa Pasongsongan-Sumenep).
6. Madun, S.Pd. (Kepala SDN Padangdangan II Kecamatan Pasongsongan-Sumenep).
7. Ustadz Komarudin Nasir (da’i, keturunan Syekh Ali Akbar tinggal di Bengkulu).
8. K. Muhammad Ersyad (peranakan China tinggal di Desa Pasongsongan-Sumenep).
9. Ibnu Suaidi (peranakan China tinggal di Desa Pasongsongan-Sumenep).
10. Tri Bambang DS. (pemerhati sejarah, pegawai Kantor Kecamatan Pasongsongan-Sumenep).
11. Agus Sugianto, S.Pd. (pengamat sejarah, guru di SDN Pasongsongan I Kecamatan Pasongsongan, Sumenep).
12. K. Hasbullah (juru kunci Astah Syekh Ali Akbar Dusun Pakotan-Sumenep).
13. Akhmad Jasimul Ahyak, S.Pd.I, (keturunan Syekh Ali Akbar, Kepala Madrasah Aliyah Itmamunnajah Desa Pasongsongan, Sumenep).
14. Sertu Mohammad Syamsul Arifin (keturunan Syekh Ali Akbar yang berdomisili di Yogyakarta, owner Komunitas Therapy Ramuan Banyu Urip Pusat Yogyakarta).
15. Hairul Anwar (pengusaha muda asal Panaongan, Pasongsongan, Owner Madura Energy).
16. Syaf Anton Wr. (sastrawan, budayawan asal Kota Sumenep).
Serta tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian buku ini. Penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mereka. Semoga Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang senantiasa memberkati langkah kita.
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Allah SWT terhadap limpahan rahmat dan nikmat-Nya sehingga artikel “Astah Buju’ Panaongan: Menakar Sejarah Islam di Madura” bisa selesai dan dipublikasikan media online limadetik.com.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah-limpahkan kepada junjungan Baginda Nabi Muhammad SAW. Revolusioner Islam yang tiada tanding dan banding di jagad alam raya ini.
Sensasional, itulah kesan penulis pertamakali dalam mengadakan riset lapangan dan beberapa wawancara terhadap tokoh agama setempat. Bagaimana tidak, ternyata ada khasanah sejarah baru tentang penemuan kuburan penyebar agama Islam pertama di Pulau Madura, yaitu Astah Buju’ Panaongan di Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan, Kabupaten Sumenep.
Penemuan kuburan massal ini menyebabkan pergeseran peta sejarah penyebaran agama Islam pertamakali di Madura. Sungguh mengejutkan memang, tapi itu suatu realita yang tidak bisa dibantah.
Kontroversi penulisan sejarah Astah Buju’ Panaongan tidak menyurutkan niat penulis untuk menelaah lebih detail tentang makam para arifbillah ini. Sebelumnya memang ada kebimbangan. Karena nanti akan berbenturan dengan beraneka-ragam kepentingan kelompok tertentu. Tapi beberapa situs peninggalan sejarah yang ada memberangus kekhawatiran tersebut. Akhirnya penulis mengambil satu kesimpulan untuk melanjutkan investigasi lapangan dan beberapa wawancara.
Kita menyadari kalau sejarah di Indonesia kebanyakan merupakan hasil kenangan orang-orang yang mengalami peristiwa yang konon terjadi secara langsung. Bahkan ada sebagian lagi berdasar dari cerita nenek-moyang yang dikolaborasikan dengan obyek yang mengiringinya. Sebab tradisi orang Indonesia jaman dahulu hanya mengingat, bukan tradisi mencatat. Maka orisinalitas penulisan sejarah tersebut sangat dipertaruhkan.
Sesuatu yang sudah lazim dalam penulisan sejarah melahirkan pro-kontra. Sebab sudah pasti ada celah yang bisa membuatnya abu-abu. Tapi senyampang kita tidak berandai-andai tentu sejarah akan menempati posisi hampir benar yang sifatnya bukan personal. Ilmu sejarah itu unik dan khas, berbeda dengan ilmu lain. Maka ketika kita mengkaji sebuah obyek sejarah, tentu akan melahirkan banyak perdebatan. Sebab sejarah itu pada dasarnya bersifat perdebatan dari ragam metode perspektif personal. Terutama ketika yang bersifat fakta itu sudah diselesaikan.
Demikian. Semoga artikel ini bisa menambah ilmu pengetahuan baru bagi kita. Amin!
Sumenep, September 2019
Penulis: Yant Kaiy
Menelisik Desa Panaongan
Panaongan berasal dari kata dasar ‘naong’ yang artinya teduh. Kemudian diberi awalan ‘pa’ dan akhiran ‘an”. Jadi makna kata dari Panaongan adalah tempat orang berteduh dari panas menyengat dan beristirahat sejenak dari penat. Dengan kata lain, Desa Panaongan merupakan sebuah lokasi yang bisa melindungi/membentengi seseorang dalam arti yang lebih luas. Bahwa daerah ini adalah suatu daerah yang sejuk, nyaman, dan menentramkan bagi siapa saja yang berada di dalamnya.
Menurut Sri Sundari, nama Panaongan tercetus ketika pada jaman dahulu ada banyak orang yang berteduh sebelum melanjutkan perjalanan jauh dari dan ke pelabuhan pantai Desa Pasongsongan. Panaongan merupakan sebuah lokasi/tempat bagi kebanyakan orang yang berteduh di sekitar Astah Buju’ Panaongan karena di sekitar itu sudah ada komunitas Arab yang telah mendirikan pondok pesantren dan berbaur dengan masyarakat setempat.
Kala itu tidak ada sekat tradisi dan budaya pada keduanya. Ibarat satu koin mata uang logam, dua sisinya berbeda tapi nilainya sama. Proses akulturasi bangsa Arab ini berjalan dengan baik, tanpa ada sebuah gesekan berarti pada ujung perkembangannya. Justru etnis Arab ini telah mewariskan nuansa toleransi tingkat tinggi yang tidak pernah ada sebelumnya. Dan endingnya warga Panaongan tergiring pada status sosial lebih mapan, lebih bersahaja, dan lebih berkelas seiring pencapaian pola hidup masyarakat yang sangat sejahtera.
Di jaman dahulu rumah-rumah penduduk lebih banyak berada di sekitar Astah Buju’ Panaongan. Banyak pedagang dari luar daerah seperti Sumatera, Sulawesi, Jawa dan pulau-pulau kecil di sekitar Madura yang melakukan transaksi jual-beli di daerah ini. Termasuk pula para pedagang dari Negeri Tirai Bambu China dan Jasirah Arab yang begitu kental mewarnai aroma perniagaan di Desa Panaongan. Kehadiran bangsa asing ini cukup memberikan sumbangsih besar bagi kemajuan Panaongan di sektor perekonomian masyarakat. Maka semakin lengkaplah kemajuan Panaongan dalam segala sisi.
Pendapat Sri Sundari ada korelasi dengan komentar Drs. K.H. Mas Ula Ahmad dan Ustadz Abdul Karim Mastura yang menyatakan, bahwa di lokasi Astah Buju’ Panaongan dulu adalah pusat bisnis terbesar di wilayah pantai utara (pantura) Pulau Madura. Selain itu Panaongan juga merupakan pusat peradaban Islam pertama di Sumenep. Salah satu bukti kuat kalau Panaongan merupakan pusat peradaban Islam pertama di Madura, yaitu adanya jalinan persahabatan masyarakat Panaongan dengan Kerajaan Islam Aceh dan Kerajaan Gowa Sulawesi Selatan.
Adalah Putri dari Syekh Ali Akbar yang bernama Nyai Agung Madiya, pada abad XVII pernah membantu Kerajaan Aceh dalam mengusir penjajah Belanda.
Nyai Agung Madiya berangkat ke Aceh atas kehendak Raja Sumenep Bindara Saod. Nyai Agung Madiya menjadi panglima perang perempuan satu-satunya di Kerajaan Sumenep. Ia membawahi ratusan pasukan Kerajaan Sumenep. Beliau sukses memukul mundur tentara kolonial Belanda. Sebagai bentuk penghargaan dari raja ke-29 Bindara Saod, putri Syekh Ali Akbar ini mendapat hadiah tanah luas yang ada di Dusun Pakotan Pasongsongan. Perlu diketahui, Raja Bindara Saod memegang tampuk kekuasaan sebagai raja pada tahun 1750 sampai 1762.
Pada abad XVI, Raja Gowa ke-16 Sultan Hasanuddin pernah meminjam pusaka kepada Nyai Agung Madiya yang akan dipergunakan untuk menumpas pasukan kolonial Belanda. Sultan Hasanuddin sukses menghancurkan tentara Belanda. Tentu semua berkat ijin Allah. Pusaka dari Nyai Agung Madiya hanya sebagai perantara saja. Dan benda bertuah itu pun sudah dikembalikan pada keturunan Syekh Ali Akbar. Sultan Hasanuddin lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631.
Bisa dipastikan kalau peradaban Islam sudah berkembang sangat maju di Panaongan seiring hubungan keislaman dengan beberapa kerajaan yang ada di luar Pulau Madura. Hal ini tampaknya tidak terekam oleh kalangan sejarawan di Madura, khususnya Sumenep. Mengapa ini semua bisa terjadi? Mungkin tidak ada literatur pembanding sebagai pijakan dalam pengungkapan fakta, sehingga sikap skeptislah yang berkuasa. Kebimbangan berlebihan akan menatalkan kebuntuan pada peradaban sejarah Desa Panaongan. Bahkan banyak diantara kalangan masyarakat Panaongan yang gamang mengambil sebuah statement meniscaya sebagai ikhtiar dari pengungkapan fakta folklor pada situs di Astah Buju’ Panaongan.
Ada juga yang segan dalam menulis sejarah Buju’ Panaongan. Itu disebabkan oleh adanya aroma intimidasi yang berhembus dari beberapa kelompok yang disinyalir punya kepentingan tertentu. Peristiwa itu terjadi ketika Buju’ Panaongan masih baru ditemukan. Tapi sekarang aroma intimidasi itu perlahan sirna seiring waktu.
Kemasyhuran Desa Panaongan jaman dahulu sebagai pusat bisnis terbesar di pesisir pantai utara pada akhirnya tumbang juga. Sebuah bencana besar menghantam kejayaan Panaongan.
Merobohkan bangunan menara tinggi perekonomian masyarakat luas tanpa ampun. Daerah yang semula tenteram tiba-tiba berganti mengerikan. Wabah penyakit tha’un melumpuhkan aktifitas perekonomian masyarakat setempat. Wabah penyakit mematikan ini mampu menyikat habis nyawa penduduknya tanpa kompromi. Sebagian dari mereka ada yang mengungsi ke tempat lain demi menyelamatkan diri dari musibah penyakit itu. Menurut K.H. Mas Ula, wabah tha’un merupakan suatu penyakit kulit yang sangat mematikan dengan cepat. Terjangkit tha’un pagi hari, pada malam hari meninggal dunia. Penyakit instan ini semacam penyakit kusta atau lepra. Ia berasal dari virus yang awalnya menyerang hewan ternak.
Orang yang terjangkit akan muncul borok pada kulitnya. Wabah sangat cepat ini menyebar liar ke seluruh masyarakat Desa Panaongan dan sebagian lagi Desa Pasongsongan tanpa pandang bulu. Banyak orang yang terjangkit sehingga dalam tempo singkat puluhan ribu jiwa meninggal dunia. Maka tidak heran kalau akhirnya daerah Astah Buju’ Panaongan sepi dari penduduk. Panaongan tiba-tiba menjelma jadi lokasi mencekam yang menakutkan. Begitulah kalau Allah SWT mau membinasakan umatnya, sangat mudah. Maka sebagai insan lemah senantiasa harus bersyukur terhadap nikmat yang diberikan.
Sri Sundari lebih jauh memaparkan, pra wabah tha’un melanda Panaongan, sebenarnya telah ada beberapa raja Sumenep yang pernah berteduh di daerah tersebut sebelum melanjutkan perjalanannya, kebetulan ada pohon asam amat besar tumbuh rindang di sekitar Astah Buju’ Panaongan. Wajar kalau rombongan raja-raja dulu beristirahat di lokasi tersebut, karena mereka telah mengadakan perjalanan cukup jauh dengan menandu sang raja. Yang jelas para pengawal kelelahan. Seterusnya masyarakat luar menamakan daerah tempat pemberhentian untuk istirahat tersebut dengan nama Panaongan.
Untuk apa Raja Sumenep ke Pasongsongan? Pada abad XI pelabuhan pesisir pantai Pasongsongan adalah pelabuhan yang terbesar di wilayah Pulau Madura. Selain sebagai tempat bongkar-muat barang, pelabuhan Pasongsongan juga menyediakan perahu jenis tengkong sebagai sarana transportasi penumpang. Tengkong adalah jenis perahu yang kanan-kirinya ada bambu menyentuh air yang gunanya sebagai penyeimbang. Perahu jenis ini tahan ombak dan angin. Ia akan terus membelah laut mencapai tujuan. Sangat aman untuk sebuah perjalanan jauh sekalipun. Perahu buatan nelayan Panaongan ini cukup handal dalam mengarungi samudera luas sekalipun.
Menurut beberapa nelayan Pasongsongan, perahu jenis tengkong ini belakangan ditiru oleh beberapa nelayan lain di Madura. Masyarakat di daerah tersebut sudah bisa membikin perahu sendiri sebelum abad XI. Garansi keselamatan penumpang menjadi prioritas utama bagi nakhoda tengkong Pasongsongan. Maka tidak heran kalau akhirnya pelabuhan Pasongsongan menjadi tempat raja-raja Sumenep apabila hendak bepergian ke pulau lain. Transportasi laut menjadi sarana satu-satunya apabila seseorang hendak pergi ke pulau lain pada jaman itu.
Sedangkan menurut Madun, S.Pd, dulu Desa Panaongan bernama Desa Padangdangan Barat, seperti yang ia pernah dengar cerita-cerita dari para orang tua dahulu. Tapi karena suatu proses eksistensi yang tidak relevan dengan nilai historis, maka pemangku kebijakan (para pini-sepuh) mendesain nama lokasi tersebut berdasar pada nilai-nilai historis yang melingkupinya. Bukankah orang-orang jaman dahulu dalam memberikan nama apapun senantiasa disandarkan pada peristiwa yang melekat pada obyek tersebut. Seperti dalam memberikan nama pada anak bayi misalnya. Karena ketika melahirkan bayinya sedang terjadi huru-hara, maka segera menamakan anak bayinya dengan embel-embel ‘ribut’. Atau ketika seorang bayi lahir yang diiringi dengan meninggalnya kedua orang tuanya, lantas kerabatnya menamakan sang bayi ‘yatim’ (Bhs. Madura: Jetem).
Berbeda dengan pendapat lainnya, Ustadz Komarudin Nasir memberikan komentarnya tentang nama Desa Panaongan. Nama Panaongan ternatal ketika Syekh Ali Akbar sering berteduh di bawah pohon asam yang sangat besar di sebelah timur jembatan Panaongan. Di dekat pohon asam itu ada sumber mata air yang sangat jernih dan sampai sekarang masih ada. Mata air itu digunakan oleh banyak orang untuk minum dan berwudhu karena orang pada jaman dahulu jika bepergian dengan berjalan kaki. Untuk mengusir penat dan dahaga, mereka sambil berteduh dan minum air sepuasnya di lokasi tersebut. Jadi nama Panaongan yang asli ada di titik sumber mata air yang ada di sebelah timur jembatan, sebelah utara jalan raya.
Ustadz Komarudin juga tidak menampik kalau ada kemungkinan Syekh Ali Akbar sering berziarah kubur di Astah Buju’ Panaongan pra tertimbunnya makam para arifbillah tersebut. Juga ada kemungkinan beliau masih ada nasab dengan orang-orang yang terkubur di Astah Buju’ Panaongan. Siapa Syekh Ali Akbar itu? Beliau adalah paman Raja Sumenep ke-29 yang bernama Bindara Saod. Syekh Ali Akbar wafat pada 14 Jumadil Akhir 1000 Hijriah atau Sabtu, 28 Maret 1592 yang kuburannya berada di Dusun Pakotan-Pasongsongan. Memang sampai detik ini tidak ada sepotong statement yang mempertegas adanya korelasi antara keduanya. Pro-kontra komentar diantara para pini-sepuh Desa Panaongan dan Pasongsongan terus menggelinding ke tengah-tengah publik. Mereka terus menelaah dari situs yang ada, lalu mengkolaborasikannya dengan cerita leluhur mereka. Syekh Ali Akbar sosok legendaris yang keberadaannya sebagai tokoh ulama besar di jamannya. Sampai sekarang pun namanya tak tergantikan. Beliau adalah ikon Desa Pasongsongan yang paling berjasa dalam kemajuan perkembangan Islam pasca para waliyullah yang ada di Buju’ Panaongan. Beliau juga yang mengangkis nama Panaongan dari keterpurukan.
Lebih jauh Ustadz Komarudin menjelaskan, dulu nama Desa Panaongan adalah Pade’engan. Yang menggulirkan nama Pade’engan adalah Syekh Ali Akbar. Arti nama Pade’engan adalah sebuah lokasi atau tempat terjadinya berbagai bentuk pembunuhan/pembantaian manusia yang mayatnya dibuang di bukit pasir sekitar Astah Buju’ Panaongan.
Sekitar tahun 1987, penulis sering bermain di sekitar sebelah barat Astah Buju’ Panaongan. Memang dengan mata kepala sendiri penulis menyaksikan banyaknya tulang-belulang dan tengkorak manusia yang berserakan di bukit pasir tersebut. Ketika penulis bertanya kepada beberapa warga Panaongan tentang tulang-belulang manusia itu. Ada yang menyebut kalau tulang-tulang manusia itu adalah terbuangnya mayat akibat pergolakan PKI (Partai Komunis Indonesia) sekitar tahun 1965. Orang-orang yang terlibat dalam pergerakan PKI itu dibumihanguskan oleh sang penguasa. Ada pula yang menyatakan kalau tulang-tulang manusia itu korban dari wabah tha’un yang mayatnya tidak sempat terkubur secara tuntunan syariat Islam. Orang-orang kala itu tidak memikirkan orang lain demi dahsyatnya bencana penyakit mematikan tersebut. Bahkan ada satu keluarga meninggal dunia semua. Tidak ada yang mengurusnya. Akhirnya bangkai manusia itu dibiarkan begitu saja.
Orang-orang yang sebagian selamat menjauh dari Desa Panaongan. Ada juga pendapat dari beberapa tokoh masyarakat dan tokoh adat setempat yang menyatakan, bahwa nama Panaongan tercetus spontanitas ketika ada salah seorang Raja Sumenep yang hendak menyeberang sungai Pasongsongan dengan menggunakan rakit. Sang Raja turun dari tandunya menuju rakit yang serta-merta pengawalnya memayungi raja tersebut. Sikap memayungi itulah oleh masyarakat setempat dikatakan Panaongan.
Demikian hasil wawancara penulis dengan beberapa orang asli kelahiran Desa Panaongan dan Pasongsongan. Apapun pernyataan dan narasi tentang Desa Panaongan, akan tetaplah eksistensi Panaongan merupakan sebuah desa yang memiliki alur cerita/sejarah masa lampau yang cukup eksotik. Perlu sebuah observasi lebih detail agar semuanya menjadi terang-benderang pada obyek bersejarah ini.
Agus Sugianto, S.Pd, sangat berharap ke depannya para ahli sejarah di Madura mau melakukan riset di Astah Buju’ Panaongan sebagai bentuk dedikasi pada karier yang dijalaninya selama ini. Kalau bukan orang setempat, lalu siapa lagi. Yang menjadi aneh, ada sebagian oknum di Desa Panaongan tidak mau berkomentar ketika ditanyakan tentang Buju’ Panaongan. Namun mereka kemudian menelikung opini orang lain, dengan alasan bahwa hanya darinyalah sumber sejarah Buju’ Panaongan paling benar. Paling sahih. Sikap egosentris semacam ini seringkali penulis jumpai di tengah masyarakat Desa Panaongan. Tak bijak rasanya kalau kita menganulir pendapat orang lain. Karena orang lain punya perspektif yang mungkin mendekati benar kepada fakta sejarah yang sesungguhnya.
Sejarah memang lahir dari sebuah proses perdebatan yang tidak selesai dalam tempo singkat. Ia akan mengalami beragam bentuk renovasi narasi dari waktu ke waktu. Hal ini wajar dan memang berlaku bagi semua obyek sejarah di belahan dunia manapun. Tendensi dari sebuah perdebatan tidak semestinya menatalkan sikap alergi terhadap statement orang lain, apalagi sampai terjadi konflik berkepanjangan, saling menjatuhkan satu sama lain dengan argumennya masing-masing. Ini sangat ironis dan ini bukanlah urgensi dari bentuk pengungkapan fakta sejarah dari keagungan nama Astah buju’ Panaongan.
Perlu digarisbawahi sekali lagi, bahwa hakikat kebenaran yang sesungguhnya terletak di tangan Allah SWT. Karena kita tidak hidup di jaman penyebar agama Islam Panaongan pada abad XI tersebut. Semestinya kita tidak mengumpulkan pembenaran diri pribadi dari orang lain, tapi kita mencari kebenaran sekuat tenaga dalam pengungkapan fakta sejarah Buju’ Panaongan.
Islam di Panaongan
Pada jaman dahulu Desa Panaongan adalah sebuah lokasi yang paling awal mengalami perkembangan sangat maju ketimbang semua desa yang ada di wilayah Kecamatan Pasongsongan. Eksistensi Panaongan lebih dulu mengemuka dalam melebarkan sayapnya pada altar sejarah Pulau Madura. Namanya sudah bertengger di tahta sejarah tertinggi seiring masa keemasan yang dilaluinya.
Sektor perekonomiannya maju pesat seiringi dengan hasil tangkap ikan nelayan Pasongsongan yang melimpah. Sektor ilmu pengetahuan juga berkembang dengan baik di Panaongan. Banyak santri dari luar Panaongan menimba ilmu pada arifbillah beretnis Arab tersebut. Sedangkan di sektor budaya, masyarakat Panaongan mulai mentransplantasi budaya Islam yaitu menyamaratakan hak dan kewajiban manusia di sisi Allah SWT. Tidak pandang bulu, hukum berlaku bagi siapa saja, tidak tebang pilih, tidak pilih kasih. Biarpun seorang pemimpin atau penguasa apabila berbuat salah maka hukumnya tetap berdosa.
Panaongan juga menjadi pusat perbelanjaan yang lengkap; mulai dari kebutuhan sandang, pangan dan papan cukup tersedia. Ditunjang sarana transportasi laut yang baik, alur perdagangan berjalan dinamis.
Menurut Sri Sundari, pada peradaban sebelum Kerajaan Sumenep terdengar, Panaongan satu langkah lebih menggema namanya di seantero penjuru nusantara. Ini dibuktikan dengan adanya kegiatan perniagaan yang berpusat di kawasan Astah Buju’ Panaongan. Dari pagi sampai sore transaksi bisnis berjalan tanpa henti. Bahkan ada orang dari beberapa pulau terdekat sebagian ada yang bermalam di Desa Panaongan.
Para pedagang dari luar nusantara pun banyak berdatangan ke desa ini, terutama saudagar dari Negeri Timur Tengah dan China yang turut serta berperan aktif meramaikan roda bisnis di wilayah tersebut. Pada akhirnya kedua bangsa asing ini membentuk komunitas negeri mereka di Desa Panaongan dan Pasongsongan. Etnis Arab ada di Desa Panaongan, etnis China ada di pesisir pantai Pasongsongan. Mereka terus berasimilasi dengan masyarakat pribumi (penduduk setempat) yang toleran terhadap kaum imigran.
Pada umumnya warga Pasongsongan, lebih-lebih warga Panaongan, tidak fanatik pada kesukuan dan kepercayaan agama orang pendatang, sehingga tidak ada kamus pada mereka untuk menolak sebuah budaya atau bangsa lain yang mau hidup bersama dalam bingkai kerukunan. Asalkan budaya dan bangsa lain itu beritikad baik untuk membangun daerah yang didiaminya dan tidak merusak tatanan budaya akar masyarakat setempat. Itu salah satu syarat utama yang tidak ada nilai tawarnya. Buktinya bangsa Arab dan China bisa mendulang sukses mengembangkan budaya, bisnis, dan agamanya di Panaongan dan Pasongsongan.
Menurut beberapa tokoh Islam yang ada di Pasongsongan, sebenarnya yang lebih pantas menjadi kecamatan adalah Panaongan. Kenapa bisa demikian, karena Panaongan jaman dahulu adalah pusat bisnis yang setiap harinya ramai dikunjungi pedagang dari berbagai pulau dan warga masyarakat yang ada di wilayah pantura Pulau Madura. Ditambah lagi di Panaongan merupakan tempat orang dari Aceh dan Sulawesi menimbah ilmu agama Islam di sebuah pondok pesantren yang disinyalir paling tertua di wilayah Sumenep, tepatnya di sekitar Buju’ Panaongan. Sedangkan Pasongsongan adalah sebagai lokasi berlabuhnya perahu pedagang/penumpang dan bongkar-muat barang. Namun kemajuan Desa Panaongan runtuh karena musibah wabah penyakit tha’un yang meluluh-lantakkan penduduk di sebagian besar Desa Panaongan, akhirnya tersisa beberapa gelintir orang saja dan nama Panaongan menjadi pudar. Momok wabah tha’un inilah cikal-bakal lenyapnya kemasyhuran Panaongan di mata kaum pedagang dari luar daerah. Secara otomatis proses transaksi mengalami stagnasi, perekonomian di berbagai sektor kehidupan masyarakat akar rumput mati suri.
Hal ini berlangsung cukup lama, krisis ekonomi masyarakat Panaongan dan Pasongsongan lumpuh total karena pelaku bisnis lokal sudah sirna. Tinggallah kenangan yang tersisa. Migrasi warga Panaongan ke daerah lain akibat wabah mematikan inilah yang juga menjadi salah satu faktor dominan putusnya silsilah para pendakwah yang terkubur di Astah Buju’ Panaongan.
Ustadz Komarudin Nasir juga menambahkan, akibat penyakit tha’un sebagian warga yang selamat setelah mengungsi, mereka kembali ke Desa Panaongan tapi bergeser ke sebelah barat dari Astah Panaongan, tepatnya di pinggir sungai Pasongsongan sisi timur. Sementara itu beberapa keturunan dari para alim yang terkubur di astah tidak ada yang kembali lagi, sehingga putuslah silsilah keluarga dari mereka, sampai sekarang tidak terungkap misteri nasab mereka. Tidak ada catatan valid yang memperkuat siapa dan di mana keturunan mereka berada. Tetapi sebagian tokoh sejarah Islam yang mukasyafah mengatakan kalau keturunan mereka lebih banyak berada di Pulau Jawa menyebarkan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Setelah traumatik wabah tha’un hilang dari ingatan, era baru pun muncul menggantikan kejayaan dan ketenaran Panaongan, yakni dengan adanya jalinan kekeluargaan antara Syekh Ali Akbar dengan Raja Bindara Saod. Sebagai keponakan Syekh Ali Akbar, Raja Bindara Saod sering datang berkunjung ke Pasongsongan. Sebagai akibatnya nama besar Panaongan semakin tenggelam dan terlupakan orang. Dampaknya pusat bisnis pun beralih di pelabuhan Pasongsongan seiring komunitas Cina yang mengalami perkembangan pesat dalam perniagaan.
Etnis China sukses menggerakkan roda bisnis di daerah Pasongsongan selaras dengan runtuhnya hegemoni bangsa Arab di Panaongan. Kendati etnis Arab tumbang dan gaungnya lenyap ditelan alam, tetapi mereka telah cukup berarti menciptakan nuansa agamis pada tataran budaya masyarakat Desa Panaongan dan sekitarnya. Mereka telah berhasil mewarnai langit Panaongan dengan ornamen kerukunan nan indah. Mereka telah sukses mengantarkan Panaongan ke gerbang kemajuan dalam menghargai setiap perbedaan. Benih toleransi telah tumbuh di tengah masyarakat lokal sehingga kedatangan bangsa Tiongkok Tibet tidak mengalami proses asimilasi yang signifikan. Etnis mata sipit ini telah diwarisi sebuah kebun kerukunan oleh arifbillah yang ada di Astah Buju’ Panaongan, maka mereka tinggal merawatnya saja. Mereka tinggal menyiraminya.
Menurut K. Muhammad Ersyad, komunitas China di pesisir pantai Pasongsongan awal masuk ke nusantara melalui Pulau Sumatera. Setelah mengetahui kalau pelabuhan Pasongsongan adalah tempat strategis dan aman serta menjanjikan bagi tujuan pengembaraan awal. Etnis China di Pasongsongan menggantikan posisi bangsa Arab yang telah lebih dulu masuk ke Pasongsongan.
Kebetulan agama orang Tionghoa ini adalah Islam. Mereka cukup yakin kalau pelabuhan Pasongsongan bisa memberikan ruang baginya untuk dapat mengepakkan sayap bisnis dan kepercayaannya. Jadi untuk etnis China yang ke Pasongsongan ini tidak hanya mau berniaga saja, melainkan mereka juga penyebar agama Islam. Adalah seorang King yang berasal dari Tiongkok Tibet yang beragama Islam. Beliau merasa tidak sepaham dengan lingkungannya yang berbeda ajaran. Ia terpanggil jiwanya untuk keluar dari negerinya. Kemudian beliau melakukan petualangannya ke nusantara beserta keluarganya. King telah banyak tahu kalau di nusantara terdapat hasil bumi yang melimpah. Informasi tentang nusantara King dengar dari tetangganya yang pernah berkunjung melakukan perniagaan. King banyak bertanya kepada mereka tentang penduduk nusantara seperti apa.
Maka ketika gambaran tentang nusantara merasa cocok dengan benaknya, barulah keputusan diambil King. Niatnya sudah bulat dan tekadnya begitu meniscaya. Dalam perjalanan laut berhari-hari, diombang-ambingkan gelombang, akhirnya King sekeluarga memasuki bumi nusantara. Pertama-tama King mendarat di Sumatera menjajaki pola hidup masyarakat, tradisi dan budaya setempat. Tapi karena perkembangan Islam di Sumatera sudah ada, plus tidak adanya kesesuaian dengan impiannya ketika ia masih di tanah kelahirannya, maka King melanjutkan perjalanan lautnya lagi. King tidak masuk ke Pulau Jawa karena catatan masa itu hubungan bangsa China dengan kerajaan-kerajaan Jawa kurang baik.
Ada kekhawatiran kalau di Jawa dirinya tidak merdeka dalam bersyiar dan berniaga. King menjatuhkan pilihannya pada pelabuhan Pasongsongan sebagai tujuan, karena sebelum berangkat beliau mendengar cerita dari orang-orang Sumatera kalau ada pelabuhan besar di Pulau Madura yang bisa mewujudkan impiannya, yaitu pelabuhan Pasongsongan. Batinnya mengatakan kalau pelabuhan Pasongsongan akan memberikan sebuah harapan hidup yang lebih baik.
King mendarat dengan selamat di pelabuhan pantai Pasongsongan. Ternyata memang benar cerita para pedagang kalau masyarakat Pasongsongan sudah sangat maju dalam hal kehidupan masyarakatnya. Sementara perniagaan masih terlihat “sakit” di mata King. Ia mulai menata konsep perniagaan yang tepat. Neo-konsep perniagaan King yaitu pembeli adalah raja. Pelayanan yang lemah-lembut King berhasil mengubah citra perniagaan di Pasongsongan.
King tidak membutuhkan proses yang terlalu lama dalam beradaptasi dengan kehidupan masyarakat sekitar. Dalam tempo yang singkat untuk ukuran akulturasi bangsa pendatang, King muda sudah mampu merajai perdagangan di Pasongsongan. Beliau pandai mengambil hati warga pribumi karena beliau sangat cerdas dalam berasimilasi. Apalagi agama King sama dengan masyarakat Desa Pasongsongan sehingga cukup mudah baginya dalam menjalin kerjasama dibanyak hal pada hubungan sosial-budaya.
Setelah menetap di Pasongsongan sekian lama, King hidup sukses dengan gurita bisnisnya di pesisir pantai Pasongsongan bersama keluarganya. Sebagai penganut ajaran Islam yang taat, King pun melaksanakan rukun Islam yang kelima yakni menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, Mekah. Sepulang dari menunaikan ibadah haji, King tidak pulang ke Pasongsongan, melainkan beliau menetap di Surabaya sampai akhir hayatnya. Sambil menjalankan bisnis, di Surabaya beliau juga memperdalam ajaran Islam.
Menurut K. Muhammad Ersyad, King masih berkerabat dengan Sunan Ampel Surabaya. Di tempat baru itu King punya nama lain, yakni Tumenggung Ongkodjoyo atau ada sebagian peranakan China di Pasongsongan menyebutnya dengan Tumenggung Ongkowidjoyo. King yang sukses membangun kerajaan bisnis di Surabaya berhasil membeli sebidang tanah luas yang sekarang menjadi pemakaman Sunan Ampel dan keluarganya. Tanah tersebut dihibahkan King kepada Sunan Ampel. Beliau meninggal di Surabaya dan kuburannya berada di kawasan pemakaman Sunan Ampel. Keturunan King sebagian pulang ke Pasongsongan lagi karena peninggalan kekayaan almarhum King cukup banyak, baik di Surabaya dan di Pasongsongan. Bahkan di Palembang King mempunyai kerabat dekat yang sama-sama berasal dari Tiongkok Tibet. Dan kerabat King itu informasinya juga sukses dalam bidang perniagaan.
Ada pertanyaan besar dari kalangan sejarawan, kenapa King mau hidup di sebuah desa kecil di Pasongsongan? Biasanya orang-orang Tionghoa dalam menjalani akulturasi berada di kota karena alasan faktor keamanan dalam menjalani aktifitas sehari-hari. Untuk King memang sangat spesial karena beliau beragama Islam sejak kecil, bukan beragama Konghucu seperti kaum Tionghoa yang berada di Sumenep pada umumnya. Dan King memilih Pasongsongan sebagai tujuan disebabkan Desa Panaongan sudah ada komunitas Arab yang telah menancapkan akidah Islam. King sudah memperhitungkan dengan cermat dan matang dalam menentukan suatu pilihan. Andai saja King tidak beragama Islam kemungkinan banyak beliau akan mengalami berbagai kendala berarti pada proses asimilasi.
Kehadiran King di Desa Pasongsongan memberikan angin segar bagi kemajuan agama Islam. Setelah keturunan Buju’ Panaongan melakukan penyebaran Islam di tanah Jawa, estafet dakwah Islam dikomandani King yang menjadi tokoh sentral berpengaruh di kawasan Panaongan dan Pasongsongan. Jadi sangat membingungkan kalau ada narasi sebagian kalangan menganggap jika King beragama Islam setelah dirinya mengalami proses interaksi dengan lingkungan, terang Ibnu Suaidi di kediamannya, Jalan Abubakar Sidiq Desa Pasongsongan. Ia juga menambahkan kalau King adalah kaum bangsawan di tanah kelahirannya yang beragama Islam taat.
K. Muhammad Ersyad juga menginformasikan kalau keturunan King tidak hanya ada di Pasongsongan. Keturunan King ada juga di Kecamatan Ambunten, Batang Batang, Saronggi, dan Surabaya. Di masing-masing tempat tersebut komunitas peranakan China tetap berdiri sampai sekarang. Jalinan kekeluargaan sama-sama keturunan King ini masih berlangsung harmonis. Satu sama lain saling bersilaturrahmi.
Menurut Ibnu Suaidi, kebanyakan keturunan King ini ada di organisasi keagamaan Muhammadiyah. Tetapi ada pula yang di organisasi keagamaan NU. Perbedaan aliran keagamaan ini tidak membuat sekat di antara mereka.
Cahaya dari Langit
Astah Buju’ Panaongan terletak di Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Dari Kota Sumenep berjarak 35 kilometer ke arah barat utara. Kuburan penyebar agama Islam ini sekarang menjadi alternatif wisata religi di Pulau Madura.
Alkisah, Astah Buju’ Panaongan banyak diperbincangkan oleh beberapa nelayan sebelum ditemukan. Bahwa beberapakali di daerah Panaongan ada cahaya yang turun dari langit kala malam tiba. Peristiwa ini berulangkali terlihat oleh beberapa nelayan Pasongsongan dan para nelayan sekitarnya. Akan tetapi peristiwa itu tidak membuat mereka punya inisiatif untuk menyelidikinya secara sungguh-sungguh. Faktor yang pertama karena para nelayan tidak berani mendekat ke bibir pantai lantaran di situ banyak batu karang. Itu sangat membahayakan bagi keselamatan perahu dan penumpangnya. Faktor yang kedua karena para nelayan menganggap bahwa cahaya itu berasal dari kilatan cahaya lampu yang menimpa suatu benda dan benda tersebut memantulkan cahayanya. Faktor yang ketiga karena kebanyakan para nelayan cukup jauh ada di tengah laut kalau menangkap ikan. Jarak perahu mereka dengan pantai yakni sebatas mata melihat garis pantai atau bahkan lebih jauh lagi. Jadi mereka merasa malas untuk mencari tahu cahaya apakah yang turun dari langit tersebut. Bahwa sesungguhnya peristiwa ini sudah lama terjadi dan berulang-ulang. Seolah Allah mau memberitahukan kepada semua orang kalau di situ ada sesuatu yang patut untuk diketahui. Sesuatu yang menjadi cikal-bakal lahirnya para tokoh agama Islam di belahan bumi nusantara, terutama di Pulau Madura dan Jawa. Seperti biasa nelayan Pasongsongan kalau melaut berangkat siang hari dan pulang pagi hari. Jadi mereka bermalam di tengah laut. Tentu mereka membawa bekal dari rumah.
Pengalaman nelayan yang satu dengan yang lain (berbeda perahu) hampir seragam, sama-sama pernah melihat cahaya itu pada malam yang sama dan waktu yang sama pula. Para nelayan Pasongsongan melihat cahaya tersebut dengan mata kepala sendiri, dengan mata telanjang.
Akan tetapi cerita cahaya yang turun dari langit di pesisir pantai Panaongan hanya seperti embun pagi; lenyap tatkala sang surya memancarkan sinarnya. Para nelayan Pasongsongan pulang dari laut bercerita tentang cahaya tersebut hanya sekilas saja, keesokan harinya mereka sudah melupakannya. Cerita itu reda dengan sendirinya lantaran sudah terlampau sering terjadi. Para nelayan tersebut lebih sibuk dengan hasil tangkapan ikannya. Mereka tidak peduli lagi dengan itu semua. Bukankah prinsip ekstrem kebanyakan nelayan Pasongsongan tersirat idiom; mereka lebih takut lapar dari pada mati di tengah laut. Karena mereka percaya kalau mereka melaut sudah mempersiapkan dirinya (proteksi) dengan barang-barang yang bisa membuatnya terbebas dari maut. Seperti pelampung, baju renang atau ban dalam truk bekas yang tersedia di setiap perahu. Alat komunikasi juga mereka persiapkan sebagai pelengkap dalam mengantisispasi bahaya kecelakaan laut dan juga sebagai sarana untuk memberitahukan kepada pihak keluarga mereka di darat.
Pernah pada suatu malam suami Sri Sundari melihat cahaya turun dari langit ke arah ditemukannya Astah Buju’ Panaongan, tapi ia tidak menghiraukannya karena cahaya itu cepat menghilang. Dan ia punya feeling kalau cahaya itu adalah sesuatu yang aneh. Ia pun sangat penasaran. Sebatas penasaran saja, tidak lebih dari itu semua. Ia tidak menyelidikinya lebih jauh, ia hanya bercerita kepada Sri Sundari kalau dirinya melihat sebuah cahaya. Sri Sundari menganggap kalau hal itu hanya bintang yang berpindah.
Ada pula cerita kalau ada seorang pemilik perahu di Pasongsongan yang dililit hutang karena perahunya sudah lama tidak dapat hasil tangkapan ikan. Maka juragan perahu tersebut mencari seorang kiai atau orang pintar untuk meminta doa atau amalan-amalan. Juragan itu pergi ke sebuah kota di Jawa Tmur. Ternyata apa lacur, kiai tersebut menyuruh sang juragan untuk pulang ke Pasongsongan lantaran di sebelah timur Pasongsongan ada makam waliyullah yang keberadaannya tertimbun pasir. Sang juragan di suruh ziarah kubur membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an di atas pusaranya agar perahunya bisa pulang membawa ikan setiapkali melaut. Tapi sang juragan perahu itu bingung, timbunan pasir yang mana ada kuburannya. Permasalahannya pasir di pesisir pantai sepanjang jalan di Desa Panaongan cukup panjang dan luas. Akhirnya sikap keingintahuannya dibiarkan begitu saja, dipendamnya seiring waktu berlalu.
Sampai akhirnya, Imam Syafi’i (juru kunci Astah Buju’ Panaongan sekarang) bahwa dirinya pada suatu malam pernah bermimpi. Di dalam mimpi tersebut diterangkan bahwa di sebelah barat daya pohon siwalan ada cahaya turun dari langit dan jatuh di atas pasir hamil (Bhs Madura: beddih se-ngandung). Atas hasil keterangan mimpi itulah, Imam Syafi’i mendatangi Haji Amiruddin yang tak lain adalah saudaranya, ia bercerita kronologis mimpinya. Setelah itu mereka berdua bermunajat kepada Allah SWT. dan kemudian mereka meyakini kalau mimpinya adalah sebuah kebenaran yang mesti ditindaklanjuti. Dan itu merupakan isyarat meniscaya karena sudah banyak cerita tentang turunnya cahaya dari langit tepat di atas pasir dekat pohon siwalan dari beberapa nelayan. Maka setelah mereka bermusyawarah dengan pihak keluarganya, lalu mereka memutuskan untuk melakukan penggalian di pasir hamil tersebut.
Imam Syafi’i dan Haji Amiruddin dalam melakukan penggalian dibantu oleh tiga belas orang termasuk para keponakannya. Bahu membahu mereka melakukan penggalian secara manual. Akhirnya kerja membuahkan hasil. Selama penggalian enam malam. Dalam timbunan pasir dengan ketinggian kurang lebih 17,5 meter Astah Buju’ Panaongan ditemukan. Sangat menggemparkan. Pada saat itu jam menunjukkan pukul 02.30 WIB, tanggal 13 September 1999, yang pertama kali ditemukan pagar makam. Kemudian makam pojok timur daya yang nisannya bertuliskan Nyai Ummu Nanti, Syekh Al’Arif Abu Said, lalu Syekh Abu Syukri yang mengeluarkan aroma hajar aswad. Nama-nama makam tersebut sudah tertulis di batu nisan dalam bentuk kaligrafi. Sangat menakjubkan.
Makam Para Waliyullah
Juga ada beberapa orang yang mengatakan kalau sesungguhnya ada salah seorang warga Desa Panaongan yang sebenarnya pernah suatu malam sedang jalan-jalan di pesisir pantai, di situ melihat ada cahaya turun dari langit ke pasir hamil tersebut. Tapi cahaya itu cepat menghilang setelah didekati. Namun ia sempat memberikan tanda di atas pasir yang dijatuhi cahaya tersebut dan kemudian di atas gundukan pasir itu ditemukan makam para waliyullah. Ini bukan merupakan mimpi, melainkan pandangan mata telanjang.
Astah Buju’ Panaongan sendiri terletak di sebelah utara hutan kecil yang ditumbuhi pohon jati di Desa Panaongan ini keberadaannya menjadi pusat perhatian banyak pengamat sejarah, baik yang ada di Panaongan sendiri dan juga pengamat dari luar Madura. Mereka mulai merangkai dengan obyek sejarah yang sudah ada dengan beberapa cerita dari para pini-sepuh setempat. Pro-kontra dari narasi penduduk setempat terus mengemuka, melahirkan perspektif baru tak terbendung.
Kabar penemuan Astah Buju’ Panaongan langsung terdengar sampai ke seantero negeri ini. Orang-orang dari berbagai pelosok daerah banyak yang mengunjunginya sebab mereka penasaran. Mereka ingin tahu kebenaran penemuan tersebut. Kehadiran pengunjung membawa berkah tersendiri bagi warga setempat dalam menjajakan dagangannya.
Sebagai bentuk kepedulian terhadap penemuan situs sejarah Islam, maka pemangku kepentingan berinisiatif untuk melegalkan penemuan tersebut pada organisasi yang diakui kredibilitasnya. Adalah Tim Pusat Arkeologi Islam Jakarta yang mengadakan observasi di Astah Buju’ Panaongan pada tanggal 22 sampai dengan 27 April 2000. Berikut ketentuan nama-nama yang ada di nisan Astah Buju’ Panaongan:
1. Syekh Al- Arif Abu Said (wafat 1292)
2. Syekh Abu Suhri (wafat 1281)
3. Nyai Ruwiyah (wafat 1328)
4. Nyai Abu Mutthalif (wafat tanpa tahun)
5. Nyai Al- Haj Abdul Karim (wafat tanpa tahun)
6. Nyai Ummu Nanti (wafat 1820)
7. Nyai Sarmi (wafat 1847)
8. Nyai Ma’ruf (wafat tanpa tahun)
9. Nyai Ummu Safuri (wafat tahun kurang jelas)
Kalau diperhatikan dari nama-nama yang tertulis di nisan makam itu, sangat jelas kalau mereka berasal dari Negeri Timur Tengah. Sisipan ‘syekh’ di depan nama para waliyullah menunjukkan gelar Bangsa Arab; gelar bagi seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan agama Islam yang mumpuni. Mereka masuk ke Indonesia lewat jalur laut ke Aceh dan dilanjutkan perjalanan laut lagi ke Pulau Madura. Kebetulan pelabuhan terbesar di Madura adalah pelabuhan pantai Pasongsongan yang sudah dikenal oleh banyak saudagar luar negeri di kala itu.
Ada juga beberapa tokoh agama di Desa Panaongan yang beranggapan kalau orang-orang yang terkubur di Buju’ Panaongan adalah ulama dari Negara India, seiring datangnya penyebar agama Islam di tanah Sumatera yang berasal dari Negara India. Mereka meruntut dari kaum pendatang penyebar Islam yang masuk ke bumi nusantara. Tapi apa pun opini tokoh agama itu, yang pasti orang-orang yang terkubur di Buju’ Panaongan adalah orang yang berdarah Arab dan mereka sangat berjasa bagi masyarakat Panaongan telah membentuk karakter penduduk pribumi pada wajah akhlak mulia. Seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. pada umatnya; langkah awal Sang Nabi yakni merenovasi akhlak umat.
Tidak mudah merubah keyakinan penduduk Desa Panaongan di jaman itu. Karena pada umumnya masyarakat Panaongan beragama animisme dan dinamisme yang mengakar sangat kuat. Kalau kaum ulama berdarah Arab ini salah dalam menerapkan strategi, maka tidak menutup kemungkinan nyawanya terancam. Sudah menjadi hukum tak tertulis, biasanya warga pendatang akan senantiasa menjadi sorotan publik bagi penduduk setempat. Ibarat publik figur, kaum etnis Arab ini setiap gerak-langkahnya senantiasa dimonitor oleh banyak mata. Solusi cerdas dari mereka yakni senantiasa menunjukkan sikap lemah-lembut, ramah-tamah kepada siapa saja yang dijumpainya. Jalinan silaturrahmi seperti yang dicontohkan Baginda Nabi Muhammad SAW. mereka tak lupa sisipkan dalam setiap kesempatan. Segala bentuk interaksi dengan penduduk setempat mereka manfaatkan untuk semakin mempersempit ruang pembatas antara dirinya dengan masyarakat Desa Panaongan.
Semua membutuhkan proses yang tidak sebentar. Memerlukan strategi smart sebagai amunisi penyebaran agama Islam. Step by step. Sensitifitas penduduk setempat merupakan bagian yang tak bisa diremehkan. Persoalan ini benar-benar diperhatikan oleh para arifbillah. Mereka menyadari betul kalau kesalahan sedikit saja akan fatal akibatnya. Berbeda kalau warga lokal yang menyebarkan kepercayaan. Apalagi kalau warga setempat memiliki kekuasaan penuh. Jelas akan lebih mudah dalam mendakwahkan suatu kepercayaan kepada bawahannya.
Setelah para alim itu sukses meyakinkan penduduk setempat, barulah mereka mulai membangun musolla karena ada beberapa santri dari Aceh datang ke Panaongan. Hari demi hari mulai berdatangan santri-santri lain dari Sulawesi dan beberapa pulau kecil di wilayah Madura. Maka semakin ramailah keberadaan pesantren kecil di Buju’ Panaongan itu. Meski demikian para alim itu tetap tidak mengajak warga tetangga sekitar untuk memeluk Islam. Karena mereka tidak ingin memperkeruh suasana.
Pada akhirnya masyarakat Panaongan mulai tertarik dengan kegiatan yang terselenggara di pondok pesantren tersebut. Satu per satu warga Panaongan mulai memeluk Islam atas inisiatif sendiri, tidak ada unsur paksaan. Sepintas memang tidak logis, akan tetapi ikhtiar yang diiringi untaian madah, yakin akan membuahkan hasil. Kalau Allah berkehendak, biarpun manusia seisi jagad menghalanginya, tetap keputusan Allah menjadi penentu yang tak bisa dicegah.
Para sejarawan muslim di Panaongan memperkirakan kalau pada abad XII awal, sebagian besar masyarakat Panaongan sudah memeluk Islam. Pendapat ini selaras dengan keyakinan K.H. Ismail Tembang Pamungkas yang menyatakan dengan tegas kalau para waliyullah di Panaongan tersebut adalah cikal-bakal lahirnya ulama-ulama penyebar ajaran Islam di tanah Jawa dan Madura. Wallahualam bissawab.
Pondok Pesantren Tertua
Dari penemuan Astah Buju’ Panaongan ini ada satu keterkaitan dengan sejarah tentang adanya pelabuhan besar di Desa Pasongsongan dan pondok pesantren tertua di Pulau Madura. Menurut Madun,S.Pd., ini sangat relevan dengan peninggalan situs bekas pondasi yang ada di sebelah timur dari penemuan Astah Buju’ Panaongan, Situs bekas pondasi itu menurut beberapa tokoh agama dan tokoh adat yang ada di Pasongsongan juga diyakini sebagai bekas bangunan pondok pesantren.
Sedangkan ustadznya adalah orang-orang yang dikebumikan di Astah Buju’ Panaongan. Seperti yang pernah Sri Sundari dengar dari kakeknya dulu, bahwa para pengajar di pondok pesantren tersebut umumnya dari Negara Timur Tengah. Dan para santrinya dari Aceh, Sulawesi, Jawa, dan Madura. Pada masa penjajahan Jepang, bekas bangunan orang-orang alim itu dijadikan tangsi/barak oleh tentara Jepang. Setelah Indonesia merdeka bangunan bersejarah itu runtuh dimakan usia karena tidak ada keturunan yang merawatnya. Memang keturunan para orang alim itu lenyap tak tahu rimbanya. Pertanyaan besar tetap menggantung di benak banyak orang. Lantas kemanakah keturunan para alim yang ada di Astah Buju’ Panaongan tersebut?.
Sri Sundari berpendapat, sebagian keturunan yang tersisa itu turut berpetualang menyebarkan agama Islam. Tidak tinggal di Panaongan lagi karena masyarakat di Panaongan dan sekitarnya sudah mandiri dalam menjalankan ritual ibadah yang telah diajarkan mereka. Sebagian besar dari mereka berpencar menyebar ke pelosok negeri yang mengemban misi untuk mengabarkan tentang ajaran Islam. Sebuah paham yang mengajarkan kedamaian dan persaudaraan bagi manusia, karena agama Islam adalah agama yang mendatangkan rahmat bagi sekalian alam.
Tidak ada unsur paksaan dari para arifbillah itu terhadap masyarakat Panaongan untuk pindah ke agama Islam. Mereka pindah dari agama nenek-moyangnya dengan inisiatif sendiri. Masyarakat Panaongan berlomba-lomba memeluk Islam pada abad XI akhir.
Madun,S.Pd. memperkuat argumen Sri Sundari, bahwa kebanyakan keturunan dari para ustadz berdarah Arab itu berkelana ke penjuru negeri sesuai kata hatinya. Tujuannya ingin menyebar-luaskan ajaran Baginda Nabi Muhammad SAW. ke seantero alam jagad ini. Tekadnya sangat bulat sesuai dengan ajaran Islam yang dianutnya, bahwa menyampaikan ajaran agama tidak boleh setengah hati, harus totalitas. Mereka lebih mementingkan agama daripada kepentingan lainnya. Sebab iman tidak bisa dibeli dan tidak ada toko yang menjualnya. Maka tinggallah sebagian keluarga dari mereka yang terkubur di Astah Buju’ Panaongan.
Sungguh luar biasa pengorbanan mereka. Demi peradaban Islam yang cerah menerangi langit Pulau Madura mereka rela bercerai-berai dengan keluarganya. Mereka angkat kaki dari tanah kelahirannya demi sebuah tujuan mulia, menyampaikan risalah Islam. Terpisah oleh jarak dan waktu berkelana. Mengarungi samudera luas dari Negeri Timur Tengah dengan nyawa taruhannya. Ombak dan badai tak membuat nyalinya ciut. Sungguh menakjubkan perjuangan dan pengorbanannya.
Demi kemajuan Islam di bumi nusantara mereka tidak peduli lagi dengan impian gemerlap dunia seperti layaknya manusia di jaman sekarang. Sungguh hebat perjuangan mereka, melepaskan pernik-pernik kenikmatan dunia yang sesaat, mengejar akhirat untuk surga yang dijanjikan Allah SWT. Subhanallah.
Setelah para waliyullah Buju’ Panaongan berhasil menancapkan akidah Islam ke tengah masyarakat, mereka tidak serta-merta berhenti. Mereka yang tidak kenal lelah terus memperkokoh keimanan jemaahnya dengan mengadakan pengajian dan ceramah agama pada setiap kesempatan. Kemudian para keturunan mereka juga tidak tinggal diam saja. Estafet dakwah dilanjutkan kaum muda yang menyebar ke segenap penjuru negeri ini.
Sayangnya sebagian dari mereka yang sudah jauh mengembara juga tidak kembali lagi ke pangkuan leluhurnya yang ada di Panaongan. Mereka berkelana tak tahu ke mana kaki melangkah. Mereka menyusuri lorong waktu. Jadi putuslah mata rantai dari silsilah orang-orang mulia yang terkubur di Astah Buju’ Panaongan. Mereka pun kemungkinan besar telah meninggal di dalam pengembaraannya menyiarkan agama Islam di bumi nusantara. Andai saja keturunan dari para arifbillah ini ada yang kembali ke Panaongan, meneruskan pondok pesantren yang telah dibangunnya, barangkali ceritanya akan beda.
Merangkai Penyebar Islam
Puing sejarah Astah Buju’ Panaongan kini mulai samar-samar tergambar. Sebagian tokoh sejarah mulai menyulam beberapa peninggalan yang ada dan mengaitkannya dengan beberapa kenyataan yang tersisa. Sebagian tokoh agama juga tidak ketinggalan menganyam beberapa helai cerita yang pernah mereka dengar dari para orang tuanya dulu. Para leluhurnya. Cukup wajar karena ahli sejarah dan tokoh agama memang berusaha semaksimal mungkin mengungkap segala sesuatunya berdasarkan beberapa fakta peninggalan yang ada. Misteri yang menyelimuti itu terus dibongkar agar semuanya terang-benderang.
KH. Ismail Tembang Pamungkas melontarkan pernyataan tentang adanya keterikatan (hubungan) orang-orang yang terkubur di Astah Buju’ Panaongan dengan tokoh-tokoh besar Islam yang ada di tanah Jawa. Ia sangat yakin jikalau penyebaran Islam di Madura dimulai dari Desa Panaongan dan menyebar ke tanah Jawa. Memang tidak ada rekam jejak yang jelas tentang siapa saja keturunan dari para arifbillah tersebut yang ada di luar Pulau Madura.
Senada dengan KH. Ismail Tembang Pamungkas, Ustadz Aji Lahaji juga sangat percaya kalau para alim yang terkubur di Astah Buju’ Panaongan adalah leluhur dari para waliyullah yang ada di tanah Madura dan Jawa. Hal ini berdasarkan tarikh meninggalnya para tokoh ulama itu pada tahun 1200-an. Syekh Abu Suhri misalnya yang wafat 1281 dan Syekh Al-Arif Abu Said wafat 1292 seperti yang tertulis di nisan Astah Buju’ Panaongan. Pada masa ini masyarakat Pulau Madura dan Jawa masih belum memeluk agama Islam. Contohnya Sunan Kudus. Beliau salah seorang penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung dalam walisongo, yang lahir sekitar 1500-an Masehi. Nama lengkapnya adalah Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan. Sedangkan Sunan Ampel juga tergabung dengan walisongo yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa, lahir pada 1401 Masehi.
Sedangkan menurut beberapa tokoh agama yang ada di Pasongsongan, bahwa makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) meninggal pada 1419 Masehi. Makam beliau ada di Gresik-Jawa Timur. Perbandingan waktu yang cukup jauh dengan para waliyullah yang ada di Astah Buju’ Panaongan.
Sementara itu Raja Sumenep yang pertama adalah Aria Banyak Wedi (Aria Wiraraja) yang memegang tampuk kekuasaan pada 1269 – 1292. Dan Sang Raja masih belum memeluk agama Islam. Sedangkan Raja Sumenep yang mulai menganut agama Islam adalah Panembahan Joharsari yang memimpin mulai 1319 – 1331. Sekitar satu abad lebih bumi Sumekar Sumenep baru memeluk Islam sejak kedatangan para orang alim yang berasal dari jazirah Arab di Panaongan. Jadi para waliyullah yang ada di Astah Buju’ Panaongan memang tidak langsung menyulap masyarakat Sumenep menjadi muslim. Perlahan tapi pasti mereka merenda asa pendekatan lewat sosial-budaya sehingga Islam bisa membumi di Pulau Madura. Suatu ikhtiar yang mempesona.
KH. Ismail Tembang Pamungkas menambahkan, pada awalnya orang-orang penyebar agama Islam yang ada di Aceh pada jaman itu memandang perlu untuk semakin melebarkan sayap-sayap Islam ke Pulau Jawa. Tapi mereka terbentur oleh beberapa kendala, salah satunya di Jawa yang kehidupan masyarakatnya sudah maju dan sudah memiliki kepercayaan lain begitu kuat. Ditambah lagi pada masa itu raja-raja di Pulau Jawa penganut Hindu dan Budha. Tentu mereka tidak ingin nantinya ada gesekan dalam berinteraksi yang membahayakan bagi keselamatan jiwanya. Sedangkan mereka sebagai pendakwah agama Islam tidak menghendaki terjadi hal-hal yang bisa mengancam keselamatan diri dan keluarganya.
Maka mereka mencari alternatif lain. Mereka tak mau ambil resiko. Solusi para orang alim itu kemudian memilih Madura sebagai tempat tujuan penyebaran Islam. Di Madura sendiri yang memiliki pelabuhan paling besar kala itu adalah pelabuhan Pasongsongan yang masyarakatnya tidak alergi menerima pendatang kendati berbeda keyakinan. Apalagi sebelumnya sudah banyak para pedagang yang telah menginjakkan kakinya di pelabuhan Pasongsongan dalam hal berniaga. Mereka mulai mengumpulkan informasi dari para pedagang yang baru pulang dari pelabuhan Pasongsongan. Setelah itu mereka eksodus ke tanah Madura dengan cara berdagang. Sebuah metode konvensional pendekatan yang mereka terapkan dalam penyebaran ajaran Islam. Tapi metode sederhana ini sangat ampuh dalam mengais pengikut.
Mereka punya informasi kalau mereka eksodus ke Pulau Jawa, mereka akan mendapat masalah besar, khawatir akan keselamatan diri dan keluarganya. Yang pasti mereka tidak akan mampu mendobrak kepercayaan lain yang sudah mengakar kuat di Pulau Jawa. Alternatif terakhir mereka memilih pulau kecil di sekitar Pulau Jawa, yakni Madura. Memang kedua pulau tersebut di jaman itu masih menganut kepercayaan lain. Ketimbang Pulau Jawa, di Madura penduduknya masih jarang, dan itu adalah salah satu kans bagi kehadiran mereka dalam mengembangkan ajaran Islam. Maka mereka memilih Pelabuhan Pasongsongan sebagai tempat merenda kembali niat yang sudah ada selama ini, karena pelabuhan ini sudah terkenal dan menjadi pelabuhan yang terbesar di Pulau Madura.
Para penyebar agama Islam ini masuk ke Pasongsongan dengan cara berniaga. Warga Pasongsongan tidak curiga dengan maksud tersembunyi tersebut. Setelah menetap sekian lama di sekitar pelabuhan Pasongsongan, mereka mulai membentuk komunitas dan mereka pun mulai menjalin hubungan sosial-budaya dengan masyarakat sekitar. Mereka beradaptasi dengan budaya yang ada. Pada akhirnya mereka mulai membangun tempat tinggal dan sebuah pondok pesantren di Desa Panaongan. Periode awal aksi syiar mereka mulanya sembunyi-sembunyi. Karena mereka tidak mau keberadaannya terendus oleh beberapa kalangan yang tidak sepaham dengan ajaran mereka.
Perlahan tapi pasti, akhirnya ajaran agama Islam mulai merangkak maju menembus sekat budaya dan tradisi di Panaongan. Dari bulan ke tahun, sebagian warga Panaongan mulai kenal dengan ajaran Islam yang dibawa para arifbillah tersebut. Memang warga tidak langsung menganut ajaran Islam, melainkan awalnya hanya sebatas kenal dan tahu.
Setelah banyak santri yang mondok di situ, mulailah para kaum syekh ini menebarkan jalanya pada warga sekitar lewat budaya yang ada dan berkembang di tengah masyarakat. Mereka tidak langsung memvonis setiap budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam tidak baik. Mereka dengan sabar dan telaten dalam mengajarkan akhlak yang baik, baik itu dalam perilaku dan tutur kata. Mereka sangat meyakini kalau perilaku dan tutur kata yang baik akan melahirkan banyak manfaat yang nantinya akan kembali pada dirinya. Sebuah strategi sangat cerdas yang dijalankan mereka. Akhirnya mereka berhasil mengislamkan warga Panaongan dan sekitarnya.
Kita mengetahui bersama, menurut para ahli sejarah, sebelum Islam masuk ke Madura dan Jawa, mayoritas masyarakat menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Selain menganut kepercayaan tersebut, masyarakat Madura dan Jawa juga dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Hindu dan Budha dari India selama berabad-abad.
Ustadz Aji Lahaji menambahkan, para penyebar Islam itu menggunakan metode perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik sebagai media untuk mengislamisasi masyarakat. Sungguh suatu metode yang cukup pintar yang diaplikasikan para alim tersebut. Tidak ada unsur kekerasan yang mereka dakwahkan, justru kelembutan dan keteduhan yang mereka ajarkan.
Harapan besar Ustadz Aji Lahaji, semoga kedepannya ada kajian yang lebih komprehensif tentang Astah Buju’ Panaongan. Amin. Agar puing-puing peninggalan sejarah tidak musnah. Apalagi hal ini tentang sejarah pendakwah Islam di Pulau Madura dan Jawa.
Tinta Islam di Madura
Menakar Islamisasi di Pulau Madura yang sekarang mayoritas penduduknya beragama Islam tak lepas dari kajian empiris dari situs, budaya, tradisi , dan kearifan lokal. Hal yang mustahil kalau kehidupan suatu daerah tidak memiliki catatan sejarah yang melingkupinya. Masing-masing obyek di alam semesta ini tentu mempunyai nilai kausalitas sehingga terbentuklah sebuah paket histori.
Berpijak dari sinilah kita akan lebih mendekati kepada telaah yang sudah ada sebelumnya. Sebab agama Islam di Madura bukan hasil simsalabim habba kadabra. Proses Islamisasi di Pulau Garam ini membutuhkan waktu cukup panjang karena agama penduduk Madura sebelumnya bukan Islam. Maka akan diperlukan srategi jitu untuk bisa menembus gunung keyakinan mereka. Diperlukan siasat piawai untuk membelah batu kepercayaan mereka yang sudah lama diwarisi leluhurnya. Sebuah mega proyek yang memerlukan perjuangan dan pengorbanan spesial dari mereka berjiwa ikhlas. Orang-orang berjiwa bijaksana lahir-batin inilah di jaman dahulu sebagai pelopor tanpa pamrih, menembus sekat budaya dan tradisi penduduk setempat.
Di Bangkalan misalnya, sejarah perkembangan Islam di kabupaten paling barat di Pulau Madura ini diawali dari masa pemerintahan Panembahan Pratanu yang bergelar Lemah Duwur. Panembahan Pratanu diangkat menjadi raja pada 24 Oktober 1531 dan dirinya sudah memeluk agama Islam. Panembahan Pratanu belajar Islam kepada Patih Empu Bageno. Sedangkan Patih Empu Bageno mempelajari Islam dari Sunan Kudus atas perintah ayah Panembahan Pratanu yang bernama Raja Pragalba. Sebagai orang yang memiliki power kekuasaan, Panembahan Pratanu menyebarkan Islam tanpa mengalami kesulitan di daerah Arosbaya, sekitar 20 km dari Kota Bangkalan ke arah utara. Kendati Islamisasi di Bangkalan berangkat lewat tangan sang penguasa itupun tidak serta-merta masyarakatnya muslim, karena hanya penyebarannya yang mudah. Sementara untuk menjadikan muslim mayoritas masih memerlukan proses panjang dalam tempo yang cukup lama.
Tidak mudah membulatkan pipa besi yang lurus hanya dengan tangan kosong. Dibutuhkan suatu media/alat dengan tata cara yang baik agar hasil akhir sesuai dengan harapan. Begitu pula dengan proses penyebaran agama Islam di Madura. Kita tentu sudah banyak tahu tentang karakter orang Madura yang “keras” karena lingkungan telah mempengaruhinya sedemikian rupa. Tapi setelah masuknya ilmu Islam ke batin mereka, akhirnya watak dan sikap mereka berubah 180 derajat. Mereka kemudian memiliki sifat kelembutan yang membanggakan, seperti yang diajarkan Baginda Nabi Muhammad SAW. Itulah indahnya Islam sehingga banyak penganut-penganut baru bermunculan di bumi Madura.
Adalah Panembahan Ronggosukowati sebagai raja pertama Pamekasan yang secara terang-terangan mengajarkan agama Islam kepada rakyatnya. Beliau menggantikan kedudukan ayahandanya yang sudah tua, Pangeran Nugeroho alias Bonorogo. Panembahan Ronggosukowati memerintah Pamekasan sekitar paruh kedua abad XVI, ketika pengaruh Mataram mulai masuk Madura. Panembahan Ronggosukowati muda belajar Islam kepada Sunan Giri atau Raden Paku. Konon Panembahan Ronggosukowati menyiarkan Islam di Pamekasan bersama seorang santri Sunan Giri bernama Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bil Faqih.
Menurut beberapa literatur tentang sejarah dan perkembangan Islam di Pulau Madura memang banyak telaah. Berbagai riset mengetengahkan data sebagai pijakan opininya mengemuka ke tengah-tengah publik. Ada sebagian yang pesimistis terhadap banyak kajian tersebut karena riset mereka cukup lemah. Namun ada pula yang bergairah dan tersentak merespons temuan anyar terhadap peninggalan jejak sejarah baru. Seperti penemuan jejak sejarah Islam yang ada di Desa Panaongan. Astah Buju’ Panaongan menurut beberapa sejarawan adalah sebagai titik paling awal Islam ada di Madura.
Pada catatan di babad Sumenep diterangkan kalau masuknya agama Islam pertama ada di Pulau Sapudi. Pulau yang masih masuk wilayah administrasi Kabupaten Sumenep ini digadang-gadang memiliki andil awal dalam penyebaran agama Islam. Adalah Sayyid Ali Murtadha (kakek dari Adi Poday dan Adi Rasa) yang datang ke Pulau Sapudi sekitar tahun 1400-an yang bersama puteranya bernama Pangeran Pulang Jiwo atau lebih dikenal dengan nama Panembahan Belingi.
Narasi ini sepertinya “rontok” setelah ditemukannya kuburan para syekh di Desa Panaongan.
Suka tidak suka terhadap kenyataan sejarah ini memang diperlukan lagi sebuah riset menyeluruh terhadap keberadaan Astah Buju’ Panaongan sebagai pembuktiannya. Penemuan makam bernama Syekh Abu Suhri yang wafat 1281 menunjukkan sebuah realitas yang tidak bisa dibantah lagi. Ada lagi kuburan Syekh Al-Arif Abu Said yang wafat 1292. Penemuan ini semakin memperkuat keberadaan Islam di Desa Panaongan.
Jelas dan meyakinkan kalau di abad ke-11 Islam sudah berkembang ‘terbatas’ di daerah ini karena mereka menyebarkan Islam secara sembunyi-sembunyi seperti yang diterangkan oleh KH. Ismail Tembang Pamungkas. Syiar Islam dengan metode sembunyi-sembunyi ini sengaja para waliyullah sikapkan karena mereka tak menghendaki terjadi sesuatu hal yang bisa menyebabkan dirinya terkucil dari lingkungannya. Kalau ini terjadi, sudah dipastikan yang rugi adalah dirinya sendiri. Dari sikap sembunyi-sembunyi arifbillah inilah yang menyebabkan tidak terdatanya mereka di museum sejarah Kabupaten Sumenep.
Ada memang sebagian pengamat sejarah yang meragukan dan mempertanyakan keabsahan sejarah Islam di Panaongan. Itu boleh-boleh saja sepanjang mereka mau menelisik lebih dekat tentang keberadaan Buju’ Panaongan tidak hanya dari satu sisi saja. Tak bijak rasanya kalau kita hanya menelaah dari perspektif kuantitas semata. Sebab Astah Buju’ Panaongan adalah obyek peninggalan bersejarah yang terputus akibat wabah tha’un. Orang-orang yang terkubur di sana diperkirakan hidup di abad ke-11. Maka kita harus menguliti tentang adanya bekas pondasi pondok pesantren di sekitar Astah Buju’ Panaongan yang diperkirakan sebagai berdirinya pondok pesantren tertua di Madura. Kita harus mengupas tuntas tentang sejarah pelabuhan Pasongsongan yang tercatat sebagai pelabuhan pesisir pantai utara terbesar di wilayah Madura.
Dan pelabuhan Pasongsongan ini tercatat pula sebagai tempat mendaratnya para waliyullah etnis Arab. Kita harus juga mempelajari tumbuh-kembang etnis China yang ada di Pasongsongan yang menjadi penggerak utama majunya perniagaan di daerah tersebut. Mau tidak mau juga kita mesti berbenturan dengan keberadaan sosok Syekh Ali Akbar Syamsul Arifin yang tak lain adalah paman dari Raja Sumenep Bindara Saod. Pernak-pernik seperti budaya, tradisi, adat-istiadat juga membutuhkan kajian yang komprehensif agar semuanya menjadi terang benderang. Jernih dan tidak diragukan. Elemen-elemen inilah yang perlu diperjelas dari beberapa riset dan observasi lapangan, bukan sekadar merujuk pada daftar pustaka.
Sama sekali bukan tujuan para tokoh sejarah Desa Panaongan ingin “merampok” eksistensi beberapa temuan sebelumnya yang mengatakan kalau Islam lebih awal ada di tempat lain. Beberapa tokoh agama di Desa Pasongsongan dan Panaongan sama sekali tidak antipati dengan “celoteh” dari sosok yang berlabel sejarawan. Oleh karena itu mereka tetap menghargai berbagai temuan yang direkontruksi oleh beberapa kalangan sebagai wujud ikhtiar dari dedikasi yang dimilikinya. Tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk menuliskan sejarah Desa Panaongan di buku. Namun mereka mempunyai kapasitas meniscaya, sebab mereka lahir dan besar di Panaongan. Mereka tidak akan bisa mengelak dari fakta yang ada. Bukan dari mitos, melainkan situs peninggalan yang riil.
Seperti Syekh Ali Akbar Syamsul Arifin yang meninggal tahun 1000 Hijriah. Tulisan tersebut ada di daun pintu Astah Syekh Ali Akbar. Atau tulisan yang terdapat di nisan Syekh Al-Arif Abu Said (wafat 1292) dan Syekh Abu Suhri (wafat 1281) di Astah Buju’ Panaongan.
Investigasi
1. Antara Buju’ Panaongan dan Syekh Ali Akbar belum ditemukan sebuah korelasi/hubungan kekeluargaan. Para tokoh agama dan sejarah di Pasongsongan dalam penelusurannya juga belum mendapatkan titik terang tentang adanya bukti (sejarah) yang valid kalau keduanya ada keterkaitan pada silsilah keluarga (nasab).
2. Tetapi KH. Ismail Tembang Pamungkas, Ustadz Aji Lahaji, dan beberapa tokoh agama mukasyafah di Pasongsongan menyatakan dengan sebenarnya, bahwa mereka yang terkubur di Astah Buju’ Panaongan adalah orang-orang yang berasal dari Negeri Timur Tengah. Dan Buju’ Panaongan merupakan titik awal lahirnya ulama-ulama besar penyebar agama Islam di Pulau Madura dan Jawa. Memang tidak ada catatan/bukti sahih yang mempertegas itu semua, karena para waliyullah itu dalam mendakwahkan ajaran Islam secara sembunyi-sembunyi pada awalnya. Tak ada kamera pengintai yang mengabadikan semua aktifitas mereka.
3. KH. Ismail Tembang Pamungkas sangat yakin, kalau suatu saat nanti pelabuhan Pasongsongan menjadi pelabuhan internasional, maka berarti Allah SWT. telah mengembalikan lagi kejayaan/kemakmuran pelabuhan Pasongsongan seperti masa silam. Dan saat ini pembangunan pelabuhan Pasongsongan terus dilakukan; mulai peletakan blok beton raksasa sampai ke tengah laut, penimbunan dan pengerukan dasar laut.
DAFTAR PUSTAKA
Graaf, H.J. De, (1990), Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, Jakarta: Pustaka Grafiti.
—————, (1987), Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, Jakarta Utara: Pustaka Grafitipers.
Kaiy, Yant, (2019), Syekh Ali Akbar Syamsul Arifin: Menelisik Sejarah Pasongsongan yang Terputus, Sumenep: Rumah Literasi.
Susanto, Arif, (2015), Pasongsongan Tanah Mardikan: Perspektif Sejarah dan Pengembangan Potensi Wisata di Kecamatan Pasongsongan, Sumenep: Kantor Kecamatan Pasongsongan.
Abdurachman, (Tjetakan II), Sedjarah Madura Selajang Pandang, Sumenep: Pertj. Automatic The Sun.
Al-Humaidi, Muh. Ali, (2010), Cina dalam Bingkai Islam Pesisir, Pamekasan: STAIN Pamekasan.
Raffles, Thomas Stamford, (2008), The History Of Java, Yogyakarta: Narasi
Bachtiar, Tiar Anwar, dkk, ((2002), Sejarah Nasional Indonesia Perspektif Baru, Bogor: Aiems.
Fauziah, Wiwik, dkk, (2010), Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia, Sidoarjo: CV. Orion.
Mestu, Slamet, (2003), Pemakaman Raja-raja Bangkalan: Makam Aer Mata, Bangkalan: Kasi Kesenian, Pengemb. Bahasa dan Budaya, Dinas P dan K.
de Jonge, Huub, (1989), Madura dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, dan Islam, Jakarta: Gramedia.
Gunawan, Restu, (2017), Sejarah Indonesia, Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Vlekke, Bernard H. M, (2008), Nusantara: Sejarah Indonesia, Jakarta: Gramedia.
Ahmad, Zainollah, (2019), Tahta di Timur Jawa: Catatan Konflik dan Pergolakan pada Abad ke-13, Yogyakarta: Matapadi Presindo
Hardjowigeno, Sarwono, (1995), Ilmu Tanah, Jakarta: Akademika Pressindo.
Syamsu As, Muhammad, (1999), Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Jakarta: Lentera.
Hartono Hs, Bambang, (2001), Sejarah Pamekasan: Panembahan Ronggosukowati Raja Islam Pertama di Kota Pamekasan-Madura, Sumenep: Nur Cahaya Gusti.
Mansurnoor, Lik Arifin, (1990), Islam in an Indonesia World Ulama of Madura, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Darmawijaya, M. Isa, (1990), Klasifikasi Tanah (Dasar-dasar Teori Bagi Peneliti Tanah dan Pelaksana Pertanian di Indonesia), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kasdi, Aminuddin, (2003), Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa, Yogyakarta: Penerbit Jendela.
Mahasin, Aswab, (1996), Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.
Azra, Azyumardi, (1999), Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung: Mizan.
Biodata Penulis
Yant Kaiy lahir di Sumenep tahun 1971. Karya-karyanya tersebar di media cetak, antara lain: Jawa Pos, Surya, Memorandum, Bhirawa, Majalah Kuncup, Fakta, Berita Yudha, Sinar Pagi, Buana, Mutiara, Jayakarta, Swadesi, Surabaya Post, Idola, Karya Darma, dan lain-lain.
Untuk media online karya-karyanya dipublikasikan oleh: limadetik.com, lontarmadura.com, maduraaktual.blogspot.com, dan lain-lain
Novelnya berjudul “Ombak dan Pantai” diterbitkan Karya Anda Surabaya sebanyak 20 serial.
Buku cerita anak karyanya antara lain: Bung Karno, Bung Hatta, Cerita Rakyat Madura “Kortak”, Pesan Ibu (penerbit Papas Sinar Sinanti, Depok), Halima, Cerita Rakyat Madura “Ki Moko”, Kumpulan Cerita Anak (penerbit Garoeda Buana Indah, Pasuruan).
Buku sejarah yang telah diterbitkan Syekh Ali Akbar: Menelisik Sejarah Pasongsongan yang Terputus (penerbit Rumah Literasi Sumenep).