Demokrasi Sudah Kehilangan Maknanya
Oleh : Noris Soleh
Mahasiswa Institut Agama Islam Al-Khairat Pamekasan
____________________________
OPINI – Demokrasi, yang didasarkan pada gagasan kesetaraan dan kedaulatan rakyat, adalah bentuk pemerintahan yang benar-benar mengagumkan. Namun sepanjang sejarah modern, demokrasi sering kali direduksi menjadi formalitas belaka yang telah kehilangan karakter esensialnya.
Pada dasarnya, demokrasi adalah sistem yang memastikan warga negara berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan, bukan sekadar menyelenggarakan pemilihan umum atau mengganti pemerintahan secara berkala.
Ironisnya, demokrasi telah berubah menjadi tontonan politik di banyak negara saat ini, dengan penduduk hanya digunakan sebagai alat peraga untuk mobilisasi politik dan kemudian diabaikan setelah pemilihan umum selesai.
Demokrasi kehilangan maknanya ketika uang mulai menjadi pusat perhatian dalam politik. Partai politik dan kandidat kini bersaing berdasarkan kekuatan finansial dan besarnya dana kampanye, bukan visi dan tujuan.
Kepentingan sekelompok kecil elit yang memiliki akses dan pengaruh finansial mengalahkan suara rakyat yang sebenarnya. Media massa.yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi, sering kali berubah menjadi wahana penciptaan opini dan propaganda yang didominasi oleh kepentingan tertentu.
Polarisasi dan ujaran kebencian telah mencemari ruang publik, yang seharusnya menjadi tempat untuk diskusi kritis dan berbagi ide, sehingga membahayakan kekompakan masyarakat.
Pendidikan Politik yang dangkal semakin memperburuk kondisi. Masyarakat tidak lagi diberikan pemahaman mendalam tentang hakikat demokrasi, hak-hak konstitusional, dan tanggung jawab kewarganegaraan. Mereka hanya dijejali narasi-narasi sederhana, emosional, dan provokatif yang mudah memecah belah.
Selain itu, sistem pengawasan dan keseimbangan yang seharusnya mencegah pemusatan kekuasaan di satu lengan pemerintahan semakin memburuk. Lembaga-lembaga negara kini dipengaruhi oleh tujuan-tujuan politik yang pragmatis, alih-alih berdiri sendiri.
Dalam lingkungan di mana keadilan tampak selektif dan tidak seimbang, penegakan hukum telah kehilangan rasa hormatnya. Meningkatnya ketidakpedulian dalam pemungutan suara merupakan tanda runtuhnya kepercayaan pada proses demokrasi.
Demokrasi terancam kehilangan signifikansinya ketika orang-orang percaya bahwa suara mereka tidak lagi didengar dan ketika janji-janji politik terus-menerus dilanggar.
Namun, hal itu tidak berarti tidak ada harapan. Demokrasi adalah proses berkelanjutan yang menuntut kesadaran kelompok. Harus ada generasi baru yang memahami demokrasi secara utuh, bukan hanya formalitasnya. Mereka harus mampu memperbaiki sistem yang rusak dan membangunnya kembali atas dasar kejujuran, moralitas, dan perhatian yang tulus terhadap kesejahteraan rakyat.
Mengembalikan martabat demokrasi memerlukan pendidikan kritis, literasi digital, pengawasan partisipatif, dan pola pikir bahwa kekuasaan selalu dipahami. Alih-alih hanya menonton atau menjadi korban dari unjuk kekuatan, setiap warga negara harus menjadi pelindung demokrasi yang tulus.
Demokrasi perlu diperjuangkan, bukan sekadar hasil akhir. Semua aspek masyarakat harus bekerja keras, berdedikasi, dan berpartisipasi aktif untuk terus melindunginya dari berbagai bentuk penyimpangan dan korupsi yang berarti. Sekaranglah saatnya untuk memikirkan kembali demokrasi sebagai cara hidup yang menghormati kesetaraan, keadilan sosial, dan martabat manusia, bukan hanya sebagai sebuah proses.