Artikel

Hari Desa: Antara Janji Pemerintah dan Realitas

×

Hari Desa: Antara Janji Pemerintah dan Realitas

Sebarkan artikel ini
Hari Desa: Antara Janji Pemerintah dan Realitas
Abdul Manan

Hari Desa: Antara Janji Pemerintah dan Realitas

Penulis: Abdul Manan, S.H
Praktisi Hukum

_________________________

ARTIKEL – Hari Desa dirayakan setiap tanggal 15 Januari sejak diresmikan oleh Presiden ke-7 Joko Widodo melalui Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2024. Sebuah momen yang didedikasikan untuk merayakan keberadaan dan kontribusi desa dalam pembangunan nasional, seharusnya menjadi refleksi atas perjalanan panjang pemberdayaan masyarakat desa.

Namun, di balik perayaan dan pidato-pidato yang menggaungkan janji-janji besar, sering kali realita di lapangan tidak mencerminkan apa yang dijanjikan. Desa-desa, sebagai akar dari kehidupan sosial dan ekonomi bangsa, masih menghadapi tantangan yang kompleks, mulai dari ketimpangan pembangunan hingga minimnya akses terhadap sumber daya.

Pemerintah, melalui berbagai kebijakan dan program telah menunjukkan komitmennya untuk memajukan desa. Salah satu tonggak penting adalah lahirnya Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014, yang memberikan kewenangan lebih besar kepada desa untuk mengelola anggarannya sendiri melalui Dana Desa.

Sejak kebijakan ini diterapkan, ratusan triliun rupiah telah dialokasikan untuk pembangunan desa. Pemerintah juga sering menyatakan bahwa Dana Desa telah berhasil meningkatkan infrastruktur, membuka lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan di tingkat desa.

Namun, di tengah optimisme yang dibangun oleh pemerintah, banyak masyarakat desa yang merasa bahwa perubahan yang dijanjikan masih jauh dari harapan. Salah satu masalah utama adalah kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan Dana Desa.

Tidak sedikit kasus korupsi yang melibatkan kepala desa dan perangkatnya, yang menunjukkan bahwa pengawasan terhadap penggunaan dana ini masih lemah. Kondisi ini menimbulkan skeptisisme di kalangan masyarakat, yang merasa bahwa Dana Desa lebih sering dimanfaatkan oleh segelintir pihak daripada digunakan untuk kepentingan bersama.

Selain itu, kesenjangan dalam kemampuan pengelolaan menjadi tantangan besar. Tidak semua desa memiliki sumber daya manusia yang memadai untuk mengelola program-program pembangunan dengan baik. Banyak kepala desa dan perangkatnya yang tidak memiliki pelatihan atau pengetahuan yang cukup tentang administrasi, perencanaan, dan pengelolaan anggaran. Akibatnya, program yang dirancang sering kali tidak efektif atau tidak tepat sasaran.

Salah satu aspek yang sering diabaikan adalah kurangnya pendekatan yang berpusat pada kebutuhan masyarakat. Dalam banyak kasus, pembangunan di desa hanya terfokus pada pembangunan fisik, seperti jalan, jembatan, atau balai desa, tanpa memperhatikan kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat. Misalnya, program pemberdayaan ekonomi sering kali tidak diiringi dengan pendampingan yang berkelanjutan, sehingga manfaatnya hanya bersifat sementara.

Di sisi lain, pemerintah pusat sering kali dianggap terlalu mendikte arah pembangunan desa. Kebijakan yang bersifat top-down ini membuat desa-desa kehilangan kemandirian untuk menentukan prioritas mereka sendiri. Padahal, setiap desa memiliki karakteristik, potensi, dan kebutuhan yang berbeda. Pendekatan seragam dalam pembangunan hanya akan memperburuk kesenjangan antara desa yang maju dan desa yang tertinggal.

Realita ini semakin mencolok ketika kita melihat desa-desa yang berada di daerah terpencil atau terisolasi. Infrastruktur yang buruk, akses yang sulit, dan minimnya layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan menjadi gambaran sehari-hari bagi masyarakat di sana. Meskipun Dana Desa telah digelontorkan, desa-desa ini sering kali tidak merasakan dampaknya karena keterbatasan akses dan keterbatasan kapasitas.

Tidak hanya itu, perubahan yang diharapkan dari Hari Desa juga sering kali terbentur pada budaya birokrasi yang lamban dan tidak responsif. Banyak program pemerintah yang membutuhkan waktu lama untuk diimplementasikan, sehingga masyarakat desa merasa bahwa perubahan yang dijanjikan hanya menjadi sekadar wacana. Hal ini diperparah oleh minimnya komunikasi antara pemerintah dan masyarakat desa, yang membuat aspirasi masyarakat sering kali tidak tersampaikan.

Namun, di balik semua tantangan ini, masih ada secercah harapan. Banyak desa yang telah menunjukkan bahwa dengan kepemimpinan yang baik, partisipasi aktif masyarakat, dan dukungan yang memadai, pembangunan desa bisa berjalan lebih efektif.

Contohnya adalah desa-desa yang berhasil memanfaatkan Dana Desa untuk mengembangkan potensi lokal, seperti pariwisata, pertanian, atau kerajinan tangan. Kisah sukses ini menunjukkan bahwa desa-desa memiliki potensi besar untuk menjadi motor penggerak ekonomi nasional jika diberikan kesempatan dan dukungan yang tepat.

Hari Desa seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi sejauh mana janji-janji pemerintah telah terealisasi. Pemerintah perlu lebih serius dalam mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi desa.

Langkah-langkah yang bisa dilakukan antara lain adalah meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di desa, memperkuat pengawasan terhadap penggunaan Dana Desa, dan memberikan ruang yang lebih besar bagi desa untuk menentukan arah pembangunan mereka sendiri.

Di sisi lain, masyarakat desa juga harus lebih aktif dalam mengawal pembangunan di desa mereka. Partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program-program pembangunan sangat penting untuk memastikan bahwa pembangunan benar-benar berpihak pada kepentingan mereka.

Pada akhirnya, Hari Desa bukan hanya tentang merayakan apa yang telah dicapai, tetapi juga tentang menghadapi realita dengan jujur dan mencari solusi bersama. Desa adalah fondasi dari kekuatan bangsa, dan kemajuan desa adalah cerminan dari kemajuan Indonesia secara keseluruhan.

Oleh karena itu, mari kita jadikan Hari Desa sebagai momentum untuk bergerak bersama menuju desa yang lebih mandiri, sejahtera, dan berdaya saing. Dari Desa, Berangkat dari Desa untuk Dunia.