Nasional

Jagung Hibrida Menjadi Andalan Petani Desa Pasongsongan

×

Jagung Hibrida Menjadi Andalan Petani Desa Pasongsongan

Sebarkan artikel ini
IMG 20191206 WA0013 1
Sundari S.Pd.I (foto/Yant Kaiy)

SUMENEP, Limadetik.com Awal musim tanam jagung tahun 2019 kini lebih lambat ketimbang tahun lalu. Hal ini disebabkan oleh faktor turunnya hujan yang lambat.

Tahun 2018 kemarin, awal musim tanam jagung di Desa Pasongsongan Kabupaten Sumenep dimulai bulan November.

Pada umumnya di Pasongsongan tanah tegalan. Paling sesuai adalah bercocok tanam jagung. Sebuah kebiasaan masyarakat di bagian selatan pesisir pantai Pasongsongan dari jaman dahulu sampai sekarang.

Para petani di Desa Pasongsongan saat ini mulai ada yang menanam bibit jagung jenis hibrida. Awalnya hanya beberapa orang saja yang menanam jenis bibit ini. Pola tanam tradisional yang mereka pertahankan turun-temurun kini mulai tergerus. Dan ini menjadi karakter dari pola pikir lama, bahwa mengkonsumsi jagung hibrida tidak sedap, tidak menambah selera makan.

Sebab umumnya bagi sebagian besar masyarakat Pasongsongan jagung menjadi bahan makanan pokok sehari-hari yang dicampur dengan beras.
Namun dengan hadirnya bibit jagung hibrida beragam varietas di pasaran telah merubah mindset masyarakat petani.

“Ada beberapa jenis bibit jagung hibrida yang hampir mirip tastenya dengan jagung lokal. Benih ini merupakan varietas unggulan. Tahan terhadap penyakit bulai dan bercak daun. Kelebihan lainnya adalah jika ditanam pada lahan kering tidak berpengaruh terhadap pertumbuhannya,” ujar Sundari, S.Pd.I kepada limadetik.com, perempuan muda petani jagung di Dusun Sempong Barat Desa Pasongsongan, Jum’at (6/12/2019).

Menanam jagung hibrida lanjut Sundari lebih ringan kerjanya ketimbang menanam jagung bibit lokal. Tanah tidak harus digemburkan dulu. Bibit jagung langsung ditanam saja. Setelah itu tanah disemprot dengan herbisida atau orang menyebutnya dengan racun rumput. Rumput yang tumbuh akan mati. Sedangkan tanaman budidaya tumbuh dengan baik.

Ketika limadetik.com bertanya merek apa yang cocok untuk bibit jagung unggul. Perempuan beranak dua ini menerangkan, bahwa untuk mengetahui cocok dan tidaknya itu bergantung jenis media tanah itu sendiri. Harus melalui tahap uji coba dulu.

“Ada varietas jagung hibrida yang kalau ditanam di dusun ini cocok hasilnya. Tapi ketika ditanam di tempat lain belum tentu bagus. Jadi, saya tidak bisa merekomendasikan harus bibit ini dan itu,” tandas wanita alumni Ponpes An-Nuqayyah Guluk-guluk ini mantap.

Lebih jauh Sundari mengatakan, bahwa dirinya bukanlah duta dari sebuah perusahaan bibit jagung. Ia menganjurkan pada keluarga dan tetangga karena didorong dengan hasil pertanian yang produksinya lebih banyak ketimbang bibit lokal.

“Dari kerja lebih ringan. Tidak memakai cangkul atau alat bajak, dari mulai tanam sampai panen. Hasil tiga kali lipat lebih banyak, bahkan lebih. Ini yang mendorong kami untuk berubah. Memang tidak mudah merubah mindset lama masyarakat. Semua butuh proses,” pungkas Sundari sembari melanjutkan pekerjaan tanam jagungnya. (Yant Kaiy/Yt)