Kesenjangan Digital di Dunia Pendidikan: Tantangan Mahasiswa Terpencil di Sumenep
Oleh : Wahyu Abadi
Mahasiswa dan Pegiat Literasi Digital
________________________________
ARTIKEL – Di era digital seperti sekarang, teknologi telah menjadi tulang punggung berbagai sektor kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Mahasiswa diharapkan mahir menggunakan berbagai perangkat digital, mengakses informasi secara daring, serta mampu mengerjakan tugas-tugas akademik menggunakan teknologi seperti Microsoft Word, PowerPoint, bahkan platform pembelajaran daring. Namun, transformasi digital ini belum sepenuhnya merata dinikmati semua kalangan.
Digitalisasi yang Belum Menyentuh Semua Kalangan
Percepatan digitalisasi pendidikan seringkali mengabaikan kenyataan sosial bahwa tidak semua wilayah memiliki infrastruktur yang memadai. Daerah perkotaan umumnya lebih cepat beradaptasi, sementara wilayah terpencil masih berkutat dengan masalah dasar seperti akses internet, kepemilikan perangkat, hingga literasi digital.
Sarwedi dan Zulhamdani (2023) menyatakan bahwa ketimpangan akses teknologi antara wilayah maju dan terpencil merupakan isu krusial yang memengaruhi kualitas pendidikan. Hal ini mengakibatkan kesenjangan keterampilan dan akses informasi yang semakin melebar antara mahasiswa di daerah perkotaan dengan mereka yang berasal dari pelosok.
Sumenep: Potret Kesenjangan Teknologi di Kepulauan
Salah satu contoh nyata dari ketimpangan ini bisa ditemukan di Kabupaten Sumenep, Madura. Daerah ini terdiri dari daratan dan kepulauan, yang menyebabkan pemerataan infrastruktur digital menjadi tantangan besar. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Abadi (2025), mahasiswa dari daerah kepulauan dan pelosok di Sumenep mengaku mengalami kesulitan besar dalam mengikuti perkuliahan berbasis teknologi.
Mahasiswa tidak hanya harus menyesuaikan diri dengan materi kuliah, tetapi juga dipaksa untuk cepat menguasai perangkat yang bahkan belum pernah mereka sentuh sebelumnya. “Saya belum pernah sama sekali nyalain laptop. Waktu pertama kali dikasih tugas makalah, saya nggak tahu harus mulai dari mana,” ujar salah satu responden dalam penelitian (Abadi, 2025, hlm. 4).
Dampak Langsung terhadap Proses Akademik
Minimnya perangkat digital dan buruknya koneksi internet menjadi penghambat utama mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik. Banyak dari mereka yang hanya memiliki ponsel sebagai sarana belajar, dan bahkan untuk mengakses internet pun harus mencari tempat dengan sinyal yang stabil.
Dalam wawancaranya, Abadi (2025) mencatat bahwa mahasiswa sering merasa “kaget” ketika pertama kali masuk kuliah dan langsung dihadapkan dengan tugas-tugas berbasis digital. Seorang mahasiswa mengungkapkan, “Pas pertama kali disuruh buat makalah, saya bingung. Nggak tahu cara buka Microsoft Word, apalagi ngatur margin” (hlm. 4). Hal ini memperlihatkan bahwa banyak mahasiswa belum pernah mendapatkan pelatihan komputer sejak sekolah menengah.
Belajar Otodidak dan Bantuan Teman
Kondisi ini memaksa mahasiswa untuk belajar secara mandiri. Mereka mencari tutorial di YouTube, bertanya kepada teman, atau bahkan menunggu giliran meminjam laptop untuk menyelesaikan tugas. Sayangnya, upaya ini tidak selalu berhasil. Seorang mahasiswa dari daerah pesisir mengatakan, “Kadang saya nonton tutorial, tapi bingung karena bahasanya cepat dan saya belum ngerti istilahnya” (Abadi, 2025, hlm. 5).
Meski penuh keterbatasan, semangat belajar mereka tetap tinggi. Namun, ketidaksiapan infrastruktur dan kurangnya dukungan kampus membuat proses adaptasi berjalan lambat.
Peran Kampus: Harapan dan Tanggung Jawab
Sebagian besar mahasiswa menaruh harapan besar pada kampus. Mereka berharap ada pelatihan literasi digital sejak awal perkuliahan, akses Wi-Fi gratis, serta fasilitas seperti lab komputer atau ruang belajar digital. Harapan ini sangat rasional, mengingat dunia pendidikan modern mengharuskan keterampilan digital sebagai prasyarat keberhasilan akademik.
Literasi digital sendiri bukan hanya tentang kemampuan teknis menggunakan perangkat, tetapi juga mencakup kemampuan memahami, mengolah, dan menggunakan informasi secara bijak di lingkungan digital (Widodo, 2021). Oleh karena itu, kampus perlu memainkan peran strategis dalam memberikan pelatihan dan pendampingan teknologi secara berkelanjutan.
Tanggung Jawab Pemerintah Daerah
Tidak hanya kampus, pemerintah daerah juga memiliki peran penting dalam memperluas cakupan infrastruktur digital. Calindris (2025) menyebutkan bahwa membangun literasi digital di desa terpencil tidak bisa dilakukan hanya dengan menyalurkan perangkat, tetapi juga harus dibarengi dengan pembinaan sumber daya manusia yang paham teknologi dan mampu menjadi penggerak literasi digital di komunitasnya.
Dalam konteks Sumenep, hal ini berarti perlu adanya kolaborasi antara kampus, pemerintah daerah, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif dan adaptif terhadap kebutuhan zaman.
Kesimpulan: Menciptakan Kesetaraan Digital
Penelitian Wahyu Abadi (2025) menjadi cermin bahwa kesenjangan digital bukan hanya soal ‘punya atau tidak punya’ perangkat, melainkan tentang kesempatan yang tidak merata. Mahasiswa dari daerah terpencil tidak kalah semangat atau potensi, mereka hanya belum mendapatkan akses dan pembinaan yang layak.
Literasi digital di lingkungan pendidikan tinggi harus menjadi perhatian utama, bukan hanya sebagai pelengkap kurikulum, tetapi sebagai kebutuhan dasar. Karena di era digital seperti sekarang, kemampuan mengakses, mengolah, dan memanfaatkan teknologi bukan lagi keunggulan—melainkan prasyarat.
Seperti disampaikan oleh Mauludi (2024), “Ketimpangan akses teknologi adalah tantangan utama pendidikan era digital.” Maka, jika kita ingin pendidikan benar-benar merata, sudah saatnya kesenjangan digital ini diatasi, dimulai dari daerah-daerah terpencil seperti Sumenep.