Artikel

Mahasiswa Phobia Buku: Pendidikan Kita Sedang Sekarat

×

Mahasiswa Phobia Buku: Pendidikan Kita Sedang Sekarat

Sebarkan artikel ini
Mahasiswa Phobia Buku: Pendidikan Kita Sedang Sekarat
Wahyu Abadi

Mahasiswa Phobia Buku: Pendidikan Kita Sedang Sekarat

Oleh : Wahyu Abadi
Mahasiswa dan Pegiat Literasi Digital

_______________________________

ARTIKEL – Mari berhenti sejenak dan berpikir jujur. Pendidikan kita, khususnya di Kabupaten Sumenep, sedang sekarat. Bukan karena tidak ada sekolah. Bukan karena tidak ada kampus. Tapi karena buku tidak lagi dianggap penting. Karena berpikir tidak lagi jadi kebiasaan. Karena logika digantikan dengan gaya hidup malas. Karena yang disebut “mahasiswa” hanyalah raga, tanpa jiwa.

Kita harus bicara keras. Kita harus bicara jujur. Kita tidak bisa terus menutup-nutupi luka busuk ini dengan kata-kata manis “generasi emas”. Apa gunanya gelar sarjana jika berpikir saja tidak bisa?

Realita Pahit: Mahasiswa Tanpa Buku

Silakan jalan ke kampus-kampus di jantung Kota Sumenep. Lihat langsung. Dari ratusan mahasiswa, yang benar-benar datang ke kampus mungkin cuma puluhan. Ya, puluhan saja. Sisanya? Entah kuliah online yang hanya login lalu pergi, atau tidak kuliah sama sekali, tapi, bukan sulap bukan sihir, bisa tandatangan di absensi. Ini fakta, bukan tuduhan.

Dan mereka yang datang ke kampus pun, lihat baik-baik: Banyak yang datang dengan tangan kosong. Sekalipun membawa, tas yang kecil, tas selempang atau handbag yang tidak cukup untuk menampung satu buku pelajaran pun. Bukan ransel, tapi tas gaya nongkrong. Yang bawa buku? Hampir nihil. Cowok sama saja, cewek pun begitu. Kalau bawa buku pun itu karena dosen minta, bukan karena ingin belajar.

Ini bukan cerita soal pinggiran, ini jantung kota. Ini pusat Sumenep. Kalau jantungnya begini, bagaimana dengan pinggirannya?

Alergi Buku Sejak Sekolah: Salah Siapa?

Masalahnya bukan muncul tiba-tiba. Mereka memang sudah lama “phobia buku” sejak di bangku sekolah. Bukan karena bodoh, tapi karena sistem tidak pernah mendidik mereka untuk mencintai ilmu. Sekolah hanya menjejali soal dan tugas. Nilai jadi ukuran tunggal kecerdasan. Tak peduli apakah siswa bisa berpikir atau tidak.

As’adi Rahman, seorang guru dan pegiat literasi di Sumenep, mengatakan dengan jelas dalam pesan WhatsApp: “Buku bukan lagi prioritas, dan semacam terbentuk justifikasi massal bahwa buku merupakan satu bagian dari benda yang menakutkan,” Sabtu (31/05/2025).

Jelas. Bukan hanya dugaan, ini pengakuan dari orang dalam sistem pendidikan sendiri. Guru tahu, siswa tahu, masyarakat tahu, tapi semua diam. Seolah-olah ini normal. Padahal ini gila.

Ketika siswa akhirnya lulus dan masuk kuliah, mereka kaget. Disuruh presentasi, mereka cuma baca PowerPoint. Disuruh bikin makalah, mereka tinggal copas dari internet. Disuruh diskusi, mereka hanya diam atau ngelantur. Apakah seperti ini wajah mahasiswa yang dibanggakan itu?

Pendidikan yang Kosong Tapi Berisik

Apa gunanya universitas kalau hanya melahirkan manusia yang tidak bisa membedakan antara membaca dan menyalin? Apa gunanya sekolah kalau setelah 12 tahun belajar siswa masih takut buka satu buku referensi?

Kita mencetak generasi yang kelihatannya pintar tapi sebenarnya kosong. Nilai tinggi, IPK bagus, tapi ketika diminta berpikir, gagap. Mereka hebat di media sosial, tapi nalar mereka beku. Lulusan SMA bahkan tidak bisa membaca satu halaman opini di koran dan memahami maksudnya. Lulusan S1 bahkan tidak tahu cara menyusun argumen. Ini bukan lagi krisis. Ini bencana.

Zaitun: “Lihat di Lampu Merah Aja!”

Zaitun, seorang pegiat literasi di Sumenep, tidak bertele-tele saat bicara. Ia langsung menampar kenyataan: “Bagi orang Sumenep, literasi tidak penting. Tidak usah lihat sebanyak apa mereka baca buku, cukup lihat di lampu merah, banyak yang nerobos kan, itu juga literasi loh, literasi numerasi, membaca simbol, lampu merah simbol berhenti kan,” Sabtu (31/05/2025).

Ini bukan hanya sindiran, ini tamparan telak ke wajah kita semua. Literasi bukan sekadar membaca teks. Tapi membaca situasi, membaca simbol, membaca makna. Jika lampu merah saja tidak dipahami sebagai simbol berhenti, maka jangan heran kalau buku pun tidak dimengerti sebagai jendela ilmu.

Budaya Copy-Paste dan Kebanggaan Palsu

Mahasiswa akhir terlihat lebih rajin membawa buku. Tapi jangan tertipu. Buku itu hanya dibawa untuk daftar pustaka. Apakah dibaca? Belum tentu. Banyak dari mereka hanya menyalin dari Google Scholar, ResearchGate, atau bahkan langsung dari AI seperti ChatGPT. Tanpa dibaca, tanpa dipahami. Yang penting ada, yang penting terlihat pintar.

Padahal seperti dalam artikel The Conversation (Sibarani, 2021), budaya membaca di Indonesia rendah karena masyarakat tidak menganggap membaca sebagai kebutuhan hidup. Buku bukan teman sehari-hari, tapi hanya “alat tempur” sesaat menjelang sidang atau tugas akhir.

Tanggung Jawab Siapa?

Siapa yang harus disalahkan? Semua. Orangtua yang tidak pernah menyediakan buku di rumah. Sekolah yang tidak membangun perpustakaan. Dosen yang hanya memberi nilai tanpa proses. Pemerintah yang sibuk pencitraan. Mahasiswa yang tidak mau berpikir. Semua berkontribusi pada matinya semangat literasi ini.

Yandri (2023) dalam artikelnya di Tirto.id menyebut bahwa sekolah di Indonesia tidak mengajarkan anak untuk bertanya. Mereka diajarkan patuh, diam, dan menghafal. Tidak heran jika begitu banyak anak muda tidak punya kemampuan analisis. Mereka bingung saat diminta berpikir mandiri, karena tidak pernah diajarkan cara berpikir sejak awal.

Perpustakaan Itu Nyawa, Bukan Pajangan

Solusi? Bangun perpustakaan. Bukan sekadar gedung, tapi ruang hidup yang dipenuhi buku, kegiatan literasi, diskusi, dan kreativitas. Di Sumenep, masih banyak sekolah yang tidak punya perpustakaan. Atau kalau ada pun hanya ruangan kosong dengan lemari berdebu. Padahal perpustakaan adalah jantung sekolah. Tanpa itu, sekolah hanya bangunan kosong yang melahirkan manusia kosong.

Andriansyah (2023) dalam Kompas.com juga menyatakan bahwa rendahnya budaya baca disebabkan oleh tidak adanya fasilitas literasi yang memadai, terutama di daerah. Jika sekolah tidak menyediakan ruang untuk membaca, dari mana anak-anak akan mengenal buku?

Tutup: Kalau Masih Takut Buku, Jangan Ngaku Mahasiswa

Jika hari ini Anda masih takut membuka buku, masih menganggap membaca sebagai beban, maka Anda bukan mahasiswa. Anda hanya penumpang gelap dunia pendidikan. Anda hanya sedang menunda kebodohan dengan seragam kampus. Jika Anda tidak bisa berpikir, tidak bisa membaca, tidak bisa menulis, maka gelar sarjana hanya tempelan plastik yang tak bernilai.

Sudah saatnya kita berhenti pura-pura. Sudah saatnya sistem pendidikan ini dipreteli dan dibangun ulang. Pendidikan bukan soal nilai, bukan soal gelar, tapi soal akal sehat. Dan akal sehat tidak akan lahir dari generasi yang phobia buku.