Oleh: Moh.Muhlis
Indonesia sebagai negara berkembang yang berumur hampir satu abad lamanya terhitung sejak dari kemerdekaannya tanggal 17 Agustus 1945, sudah banyak mengalami fluktuasi baik dalam pelbagai ranah politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lain sebagainya. Sehingga hal tersebut berdampak pada stabilitas negara Indonesia itu sendiri, sebab cenderung hal yang demikian dijadikan oleh para elite politik sebagai instrumen terselubung yang bersifat oportunitif. Konstelasi politik merupakan sebuah akar yang memanajemen hampir seluruh
aktivitas kenegaraan. Miriam Budiardjo (2008) bahwa politik merupakan sebuah instrumen untuk mencapai kehidupan yang baik. Di mana hal tersebut memiliki korelasi dengan sebuah pepatah Indonesia gemah ripah loh jinawi dan dalam bahasa Yunani Kuno terutama Aristoteles dan Plato disebut sebagai en dam onia atau the good life.
Secara eksplisit, pernyataan tersebut mengandung artian bahwa politik memiliki fungsionalitas yang sangat sifnifikan dan esensial dalam upaya otimalisasi tujuan dari negara Indonesia. Namun, pada realitanya hal tersebut paradoks, yang semestinya politik dijadikan sebagai sarana untuk mencapai sebuah kehidupan yang baik, malah bertransformasi sebaliknya. Tidak dapat dipungkiri, bahwa begitu banyak problematika yang timbul dan bersifat dekonstruktif terhadap kepentingan umum malah lepas begitu saja, tanpa adanya proses hukum yang adil. Ini mengindikasikan bahwa hukum yang diharapkan bisa menegakkan sebuah kebenaran, harus tumpul ketika berhadapan dengan orang yang memiliki otoritas tinggi dan berfinansial. Dan pada saat yang bersamaan, hukum tersebut berlaku tajam ketika dihadapkan pada masyarakat proletariat yang melakukan suatu perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad).
Sehingga sebuah asas hukum yang berbunyi ”equality before the law” hanya menjadi sebuah simbolis saja yang dalam implementainya belum teraktualisasikan dengan baik. Sebab proses pelaksanaan hukum di Indonesia masih bersifat deskriminatif dan pandang bulu. Padahal dalam UUD 1945 yang merupakan sumber hukum tertulis setelah Pancasila berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 dicanangkan dalam pasal 27 ayat 1 bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di muka hukum. Maka pada hakikatnya hukum harus berlaku universal dengan sanksi pidananya didasarkan pada intensitas dan kuantitas pelanggaran hukum yang dilakukan.
Dalam realita fenomena keseharian bangsa Indonesia, begitu banyak problematika-problematika yang berupa pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para elite politik seperti halnya pembunuhan 6 laskar FPI yang dilakukan sendiri oleh aparat keamanan. Pada awal terjadinya, hal tersebut menjadi sebuah konversi utama dan polemik oleh segenap para pengamat politik dan juga berbagai macam kalangan yang mengecam bahwa hal tersebut haruslah diproses secara hukum, sebab sudah menyalahi hak asasi manusia sebagaimana dalam pasal 28 UUD 1945 dan pasal 9 UU No. 39 Tahun 1999 yaitu hak untuk hidup. Selayaknya aparat keamanan yang menjadi subjek untuk mengaktualisasikan hukum, cenderung sebaliknya menjadi subjek yang melanggar hukum itu sendiri.
Sebelum peristiwa tersebut terjadi, masih terdapat kasus-kasus lain sebelumnya yang melanggar hukum dan proses peradilan hukum yang cenderung kalau kita tidak ingin mengatakan buruk yakni masih jauh dari keadilan yang diharapkan. Hal ini tampak jelas pada peristiwa penyiraman air keras kepada Novel Baswedan yang pada saat itu menjabat dalam lembaga komisi pemberantasan korupsi (KPK) dengan tugas untuk menyelidiki para pelaku tindak pidana korupsi. Karena keberanian untuk melantangkan kebenaran, akan memiliki konsekuensi tersendiri yang bahkan dapat mengancam jiwa pada pihak yang menyuarakan kebenaran tersebut. Sehingga kasusnyapun sampai berlarut-larut. Dan setelah sekian lamanya, ketika pelaku tindak pidana tersebut ditemukan, proses penjatuhan hukuman pidanyapun tidak adil. Sehingga ini akan membentuk paradigma masyarakat universal, bahwa hukum di Indonesia saat ini sudah tidak bisa lagi dijadikan sebagai tumpuan untuk menegakkan kebenaran di Indonesia.
Jika dianalisis secara intensif dan komprehensif dengan paradigma yang terbuka dan objektif, peristiwa-peristiwa pelanggaran hukum hanyalah pengaliha isu belaka, supaya peristiwa terdahulu yang menjadi sorotan masyarakat bisa terlaihkan dan masyarakat bisa kemudian terfokus pada kasus baru. Sehingga dengan begitu, proses peradilan hukum kasus terdahulu bisa terlepas dari cengkraman hukum. Inilah yang menjadi alasan bahwa negeri ini disebut sebagai negeri kambing hitam, sebab untuk menutupi kasus pelanggaran hukum yang satu, maka kemudin dibuatlah lagi sebuah kasus yang lain. Representasi peristiwa tersebut secara deskriptif sedikit banyak mengindikasikan konstelasi politik Indonesia yang sedang dalam kedaan sakit dan tidak baik-baik saja.
Pengalihan isu-isu tindak kriminalitas oleh para oknum elite politik secara mudah dapat diaplikasikan oleh mereka dengan rapid dan terstruktur. Ini menunjukka bahwa tingkat sensitivitas dan daya kritis bangsa Indonesia masih rendah. Sehingga semakin banyak penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan dari waktu ke waktu secara leluasa oleh oknum- oknum yang tidak bertanggung jawab, yang notabene memiliki status dan otoritas yang tinggi. Sehingga Karl Gunna Myrdal (1898-1987) menilai negara Indonesia sebagai soft-state (negara luna), yaitu negara yang warga negara dan pemerintahnya tidak memiliki ketegaran moral yang jelas, khsusunya moral sosia politik. Pernyataan tersebut adalah gambaran parsial dari negara Indonesia, sehingga pada umumnya kita semua hidup dalam kelembekan (leniency). Dan pada akhirnya, itu berdampak pada kurangnya kepekaan kita terhadap berbagai macam penyelewengan (Nurcholish Madjid : 2018).
Terjadinya berbagai macam penyelewengan di Indonesia, menjadi bukti konkret bahwa implementasi dari Pancasila itu sendiri masih jauh dari yang diharapkan. Sebab pada kenyataannya, kelima sila yang seharusnya diaktualisasikan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara belum memiliki dampak eksplisit bagi atmosfer kehidupan di Indonesia. Padahal Pancasila yang berstatus sebagai ideologi dan dasar negara Indonesia merupakan sebuah terobosan mutakhir yang dikristalisasikan ole para founding fathers dan notabene secara menyeluruh sesuai dengan karakteristik banga Indonesia. Hal yang demikian selaras Ir. Soekarno yang pernah mengatakan bahwa Pancasila merupakan sebuah pandangan mendunia (weltanschauung) dan dasar filosofi (philoshopische grondslagI) (Kartohadiprodjo : 1956).
Dalam peninjauan secara filosofis, menurut Noor MS Bakry (2010) menyebutkan bahwa sila pertama dan kedua merupakan sebuah landasan moral, dan sila yang ketiga dan keempat merupakan sebuah prosedur untuk tercapainya tujuan bangsa Indonesia sebagaimana sila yang kelima yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang apabila benar-benar diimplementasikan sesuai dengan esensi rumusan dalam Pancasila tersebut, akan berdampak positif secara signifikan pada berbagai aspek kenegaraan, baik dalam ranah politik, ekonomi, pendidikan, dan buadaya serta lain sebagainya. Namun yang menjadi persolan saat ini adalah pemerintah yang seharusnya melindungi kepentingan warga negara cenderung berperilaku sebaliknya.
Berapa banyak kita sudah melihat bersama-sama terkait dengan penjatuhan hukum pidana, yang kurang bijak dalam implementasinya. Bagi masyarakat proletariat yang sama sekali tidak memiliki otoritas dan status bertendensi dijatuhi dengan hukuman yang tidak sewajarnya. Dan ini berbanding terbalik dengan para koruptor yang mengorupsi uang negara dengan kuantitas milyaran atau bahkan triliunan rupiah yang berdampak pada liabilitas perekonomian negara, hanya dijatuhi hukuman beberapa tahun, atau bahka sama lamanya dengan pidana masyarakat biasa yang hanya mencuri kayu di hutan. Ini merupakan hal yang ironi yang sedang menerpa bangsa kita saat ini. Padahal setiap warga negara memiliki hak asasi mansia yang sama. Prof. Bagir Manan membagi HAM menjadi beberapa klasifikasi diantaranya hak sipil, hak politik, ha sosial, hak ekonomi dan hak budaya (Abdul Hamid dkk : 2018).
Hak sipil di sini sangat berkaitan erat dengan hak diperlakukan sama di muka umum (equality before the law), hak bebas dari kekerasan dan lain sebagainya. Namun negara saat ini tidak mengindahkan hal tersebut, terutama dalam hal penjatuhan pidana kepada para pelaku tindak pidana yang sering deskriminatif. Selain hak sipil yang menjadi tugas besar pemerintah yang belum tercapai adalah hak ekonomi. Yaitu hak masyarakat universal untuk mendapat kesejahteraan hidup sebagaimana pasal 33 UUD 1945. Namun, kejahatan korupsi sebagai sebuah conflict of interest, belum dapat diberantas secara tuntas, sehingga progresivitas perekonomian dalam rangka untuk menciptakan kesejahteraan rakyat Indonesia masih terliabilitas.
Aktualisasi teori politik Montesquieu yang dikenal dengan trias politika dengan membagi kekuasaan negara menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif merupakan sebuah upaya untuk saling mengontrol satu sama lain dalam pemerintahan untuk meminimalisasi adanya sebuah peyelewengan (Miriam Budiardjo : 2008). Namun pada kenyataannya, bukan saling mengontrol dengan mekanisme cheks and balances, akan tetapi malah bersama-sama berkonspirasi untuk menutupi satu kasus kriminalitas atau penyelewengan dengaan kasus penyelewengan yang lain untuk menghapus jejak pelanggaran terdauhulu dan mengalihkan fokus perhatian masyarakat, sehingga dengan mudah kasus yang terjadi sebelumnya bisa lepas tanpa adanya proses hukum yang adil karena fokus dan perhatian masyarakat umum berusaha untuk meneyelesaikan problematika baru, padahal problematika lama masih belum terselesaikan. Ini adalah tugas besar kita bersama-sama sebagai warga negara Indonesia untuk meningkatkan pemikiran yang kritis dalam melihat berbagai macam problematika yang merugikan bangsa ini.
Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan STKIP PGRI Sumenep
Catatan: seluruh isi artikel bukan tanggun jawab penerbit