Guluk-Guluk, 31 Juli 2019
Oleh: Sulaisi Abdurrazaq
(Ketua YLBH Madura & Wasekjen DPP LPKAN Indonesia)
BEDANYA apa Korupsi Peradilan dengan Judicial Corruption? Ya, sama saja, karena narasi ini kelanjutan dari kisah sebelumnya, tentang hilangnya imparsialitas dalam suatu peradilan yang terjadi karena hakim, atau pejabat pengadilan mencari atau menerima keuntungan dalam bentuk apapun.
Korupsi peradilan ini masalah serius, butuh penanganan khusus, sulit menyangkal Lord Acton yang dengan tanpa ragu menegaskan bahwa: “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” pula pernyataan Aristoteles: korupsi itu menyangkut kemerosotan, dari monarki ke tirani, atau dari aristokrasi ke oligarki.
Agak sebal saja, karena penerapan pasal yang diterapkan terhadap bandit dalam Skandal Belleza tak memenuhi rasa keadilan publik—untuk tidak mengatakan dikorup—kenyataan ini tak bisa disimplifikasi begitu saja, harus diurai agar jadi pelajaran bagi Sumenep.
Pasalnya sama saja, baik dalam kasus Sitrul atau Taufadi, pada dakwaan primair yang diterapkan adalah: Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 ayat (1) b UU No. 31 tahun 1999 tantang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pada dakwaan subsidair pasal yang diterapkan adalah: Pasal 3 jo. Pasal 18 ayat (1) b UU No. 31 tahun 1999 tantang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Yang maksimal dibuktikan oleh Penuntut Umum itu dakwaan subsidair, ancaman minimal 1 tahun, padahal dakwaan primair ancaman minimal 4 tahun. Mau tau nggak legal reasoning nya apa?
Menurut majelis, karena pengertian unsur “setiap orang” dalam pasal 3 adalah pelaku tindak pidana korupsi yang bersifat orang perseorangan yang memangku suatu jabatan atau kedudukan (lebih khusus), berbeda dengan pasal 2 ayat (1) yang bersifat umum, maka unsur setiap orang dalam pasal 3 menurut majelis lebih tepat untuk diterapkan dalam menjatuhkan hukuman terhadap Sitrul dan Taufadi sehingga putusannya menjadi 1 tahun penjara.
“Nasi telah jadi bubur”, waktu tak dapat diputar ulang untuk merubah hukuman mereka, lalu apa yang bisa kita lakukan? Gelar aja kegiatan untuk memberi legal annotation, atau gelar eksaminasi agar kita tahu apakah terjadi korupsi yudisial atau tidak.
Namun, perlu kita dicatat, BUMD Sumenep bukan hanya soal PT. WUS, ada pula BPRS di sana, yang masih menyisakan sesak di dada setelah kasus kebakaran Pasar Anom Sumenep tak disorot secara berlanjut, ada kasus PT. Sumekar yang telah membeli kapal lalu sampai saat ini mangkrak sehingga kapalnya berkarat, dan lain-lain.
Problem BUMD di bumi Sumekar ini berjibun, jurnalis, aktifis NGO dan publik bukan tidak tahu, namun ada gejala silent majority (mayoritas diam), sehingga gayung tak bersambut dalam pagelaran pesta kritik setelah Skandal Bellezza terurai ke ruang publik pasca diskusi YLBH Madura.
Namun, agar cerita BUMD Sumenep ini lebih seksi dan kita tak berdiam diri, khususnya mengenai semraut BPRS dan PT. Sumekar, kita urai pada segmen berikutnya, slowly but sure..











