Limadetik.com – Oleh: Muhlis
(Mahsiswa STKIP PGRI Sumenep)
Sumenep, 18 Agustus 2020
ARTIKEL – Pengimplementasian berbagai macam persoalan terutama yang memiliki korelasi dengan kepemimpinan atau status suatu jabatan tertentu, di dalam kehidupan berbangsa dan berwarganegara dalam konteks universal yakni kenegaraan haruslah dilakukan secara demokratis berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Secara komprehensif dan parsial, pelaksanaan dalam bidang kenegaraan, terutama yang berhubungan dengan kepemimpian ataupun status jabatan tertentu secara eksplisit sudah menggambarkan negara demokratis, walaupun masih belum dapat diklasifikasikan sebagai negara dengan sistem pemeritahan demokrasi yang sempurna. Pasalnya, pada realita yang sesungguhnya, pelaksanaan demokrasi dalam konteks dan ranah yang lebih sempit di luar dari pokok pembahasan tentang negara ini masih belum terlaksanan dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam problematika yang demikian, terlepas dari pembahasan dalam konteks kenegaraan, akan tetapi dalam konteks limitatif yang difokuskan pada kinerja dan pengaplikasian nilai-nilai demokrasi oleh sebuah badan pada lembaga tertentu, sebagai sebuah intervensi terhadap lembaga tersebut yang kalau kita boleh juluki sebagai politik bertopeng demokrasi. Dan sejauh ini memanglah demokrasi hanyalah menjadi sebuah kontestasi, polemik ataupun diskursus belaka yang dalam pengalikasiannya masih jauh dari yang diekspektasikan, sebab hal ini disinyalir oleh eksistensi rasa subjektivitas tertentu yang melahirkan eksklusif-fanatis, sehingga pelaksaan negara yang berprinsipkan demokrasi dirasa masih sukar untuk implementasikan terutama dalam sebuah lembaga tertentu.
Padahal demokrasi yang sesungguhnya kalau kita melihat dengan kaca mata yang tidak tertutup sebelah tidaklah demikian, sebab prinsip dalam demokrasi adalah inklusif – humanis – emansipatoris yang lebih bersifat moderat dan lebih luas terhadap sebuah keadilan dengan tetap menginaugurasikan persamaan hak. Karena secara fundamental hakikat dari sebuah demokrasi adalah sebuah instrumen signifikan yang merepresentasikan kepentingan universal bukan hanya untuk kepentingan kelompok tertentu ataupun kepentingan pribadi. Sebagaimana ungkapan dari Abraham Lincoln “The Democracy is government from the people, by the people and for the people”. Apabila kita tarik benang merah dari pernyataan tersebut maka akan didapat pemahaman bahwa demokrasi ditujukan untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan kelompok ataupun kepentingan pribadi.
Dalam sebuah lembaga tertentu, anggota yang merupakan komponen dan kontruksi dari lembaga tersebut secara eksplisit harus dipartisipasikan dalam segala hal yang berhubungan dengan pemilihan seorang pimpinan atau pemilihan seseorang untuk menduduki jabatan tertentu. Karena setiap anggota dari suatu lembaga tertentu berdasarkan prinsip kenegaraan juga memiliki hak untuk mengeluarkan suaranya berdasarkan hati nuraninya, dan inilah yang dimaksud dengan tahap demokratisasi untuk menuju demokrasi. Sebagaimana yang termaktub dalam pasal 28 dan pasal 28 E ayat 3 UUD 1945 bahwa setiap orang berhak untuk mengeluarkan pendapat baik itu dalam bentuk lisan ataupun lisan.
Kalau kita korelasikan dalam ranah pemilihan terhadap pimpinan atau pemilihan untuk menduduki jabatan tertentu dalam sebuah lembaga, ini memiliki artian bahwa anggota yang merupakan komponen dan kontstruksi badan tersebut memiliki hak untuk menggunakan hak suaranya dalam memilih pemimpin atau memilih wakil sebagai representasi kepentingannya di sebuah jabatan tetentu dalam lembaga tersebut. Namun, realita yang terjadi tidaklah demikian, sebab dalam pelaksanannya status dan jabatan hanya dibagikan bagi segelintir orang saja berdasarkan sistem kedekatan atau kesamaan pandangan ideologis. Sehingga dalam hal ini tidak semua orang bisa mendapatkan akses untuk menduduki sebuah jabatan tertentu dalam lembaga tersebut. Karena dalam pengemplementasiannya untuk mendapat sebuah status atau jabatan tertentu dilakukan dengan cara-cara yang tidak demokratis.
Dalam pembahasan demokrasi dari sudut pandang rakyat, demokrasi terbagai menjadi dua bagian berdasarkan partisipasi rakyat, yakni di antaranya adalah demokrasi langsung (Direct Democracy) dan demokrasi tak langsung (Indirect Democracy). Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa dalam demokrasi langsung (Direct Democracy) rakyat atau anggota suatu organisasi atau lembaga tertentu dipartisipasikan untuk memberikan suaranya terhadap calon yang dikehendakinya yang nantinya akan menjadi representasi penyalur kepentingannya dengan memilih berdasarkan hati nuraninya dan kesukarelaan tanpa ada intervensi sebagai mana yang tercanangkan dalam pasal 28 E ayat 2 UUD 1945 bahwa setiap orang berhak untuk menyatakan dengan pikiran atau sikap terhadap sesuatu berdasarkan hati nuraninya.
Sedangkan di lain sisi terdapat pula demokrasi tidak langsung (Indirect Democracy) yang mana seorang rakyat atau anggota dari suatu oraganisasi atau lembaga tertentu tidak menyatakan pilihannya secara eksplisit, melainkan dalam hal ini direpresentasikan orang-orang yang sudah dipilih oleh rakyat. Dengan kata lain seseorang tidak perlu memberikan hak suaranya terhadap calon yang ia kehendaki, melainka suara seseorang diwakilkan pada seseorang yang sudah diberikan mandat kekuasaan atau jabatan tertentu oleh rakyat atau anggota. Namun, secara parsial dalam tahap demokratisasi baik menggunakan demokrasi langsung (Direct Democracy) atau demokrasi tidak langsung (Indirect Democracy) rakyat atau anggota harus tetap dipartisipasikan atau dilibatkan dalam proses pengampilan keputusan dalam pemilihan tersebut.
Dalam pelaksanaannya, ternyata hal tersebut tidaklah semudah membolak-balikan tangan, karena pada waktu yang bersamaan ada rasa subjektivitas yang dapat menjadi sebuah liabilitas dalam proses demokratisasi tersebut. Sehingga dalam hal ini, kelompok mayoritas dalam sebuah badan tertentu yang secara implisit memiliki kewenangan lebih besar dibandingan dengan kelompok minoritas akan berlaku secara semena-mena. Padahal kelompok minoritas berdasarkan prinsip demokrasi juga memilik hak tertentu untuk memberikan suara atau juga memiliki hak yang sama dalam kursi pemerintahan atau dalam konteks yang lebih sempit memiliki hak untuk menduduki jabatan tertentu dalam sebuah lembaga sebagaimana hal tersebut tercanangkan dalam pasal 28 D ayat 2 UUD 1945.
Dalam sejarah Indonesia, Presiden RI yang ke-4 yaitu Abdurrahman Wahid atau yang lebih akrab dipanggil dengan Gus Dur sudah banyak memberikan kontribusi walaupun pemerintahannya tidak sampai dua tahun, yakni salah satu di antaranya adalah membela kelompok minoritas. Sehingga dalam hal ini kita bisa menyimpulkan bahwa, bukan hanya kelompok mayoritas saja yang memiliki hak, melainkan kelompok minoritas juga memiliki hak yang sama untuk ikut serta dalam setiap kegiatan apapun maupun dalam jabatan dalam suatu lembaga tertentu tanpa pandang bulu serta harus objektif. Sebagaimana dalam pasal 28 I ayat 3 bahwa setiap orang bebas dari pelakukan deskrimantif dalam bentuk apapun. Kerap kali harmonisasi antara kelompok mayoritas dan minoritas tidak selalu berjalan dengan yang semestinya.
Seperti yang sudah dipaparkan di atas bahwa peran badan tertentu yang sama sekali tidak memiliki korelasi dalam menghegemoni suatu lembaga, hanya akan mengindikasikan eksistensi pengakuan hak hanya pada kelompok mayoritas yang merupakan bagian dari badan tersebut. Sehingga secara perlahan hak minoritas akan secara kontinuitas selalu dikesampingkan atau hanya dipandang sebelah mata. Dominasi kelompok mayoritas dalam segala bidang yang berhubungan dengan sebuah lembaga tertentu kerap kali menjunjung tinggi wacana seperti konsep fundamental demokrasi yakni ”Dari, oleh, dan untuk bersama”.
Padahal yang sebenarnya tidaklah demikian, sebab dominasi yang dilakukan di segala bidang dalam sebuah lembaga tertentu, semata-mata bukanlah untuk bersama, melainkan terdapat maksud terselubung, sebagaimana dalam oligarki yaitu hanya untuk kepentingan kelompok, sekaligus menjadi sebuah metode terselubung untuk memudahkan akses kelompoknya untuk menduduki jabatan bidang tertentu setelahnya.
Bahwasanya pada problematika yang sudah dipaparkan di atas, dapat memberikan pembelajaran kepada kita semua bahwa kontestasi, diskursus, ataupun polemik tentang demokrasi tidaklah terlalu urgen dan signifikan untuk dijadikan topik pembahasan. Sebab ada hal yang lebih signifikan dan perhatian kita bersama harus dikonversikan pada hal tersebut yaitu tentang bagaimana untuk menciptakan kesadaran kepada segenap masyarakat untuk mengaplikasikan nilai-nilai demokrasi, karena dalam hal ini yang dibutuhkan adalah pengaplikasian bukan hanya sekedar teori belaka.
Dan pada akhirnrya satu hal yang saat ini menjadi tugas bagi kita semua yaitu kita harus berkolaborasi, berkoordinasi, dan bersinergi untuk memanifestasikan demokrasi dalam realita kehidupan kita.
Supaya pembahasan akan demokrasi tidak hanya menjadi kontestasi belaka namun ada bukti konkret berupa perilaku yang melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi, dan ini tidaklah mudah untuk dicapai kecuali terdapat kesadaran yang mendalam akan pentingnya penerapan demokrasi, dimulai dari ranah yang lebih kecil yaitu dalam konteks lingkungan kita sendiri. Dan dalam hal ini rasa subjektivitas dan kepentingan pribadi atau kelompok harus dikesampingkan demi tercapainya situasi dan kondisi yang kondusif dengan memprioritaskan rasa keadilan dan kesejahteraan bersama sebagaimana yang dicita-citakan dalam Pembukaan (Preambule) UUD 1945 pada alinea keempat dan juga pada sila kelima Pancasila yang berbunyi ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. (*)