Opini

Wajah Pendidikan Indonesia Sangat Buruk?

×

Wajah Pendidikan Indonesia Sangat Buruk?

Sebarkan artikel ini
IMG 20191122 WA0048
Sumenep, 5 Desember 2019
Opini: Yant Kaiy

OPINI — Seperti dilansir dari berbagai media online. Berdasar hasil penilaian Survei Program for International Student Assessment (PISA), bahwa pendidikan di tanah air masuk sepuluh besar terbawah. Artinya wajah pendidikan RI sangat buruk.

Sebegitu burukkah wajah pendidikan kita? Sehingga Mendikbud Nadiem Makarim berapi-api mau mengevaluasi dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Sangat meniscaya. Asa terhampar diantara korupsi merajalela pejabat Negara. Bukan pesimistis, tapi bersih-bersih kacoak dan tikus kantor juga penting agar tidak mudah terjangkit penyakit.

Jangan lupa pula, selama ini penyakit pendidikan Indonesia juga berasal dari kepentingan politik dari pemangku kebijakan itu sendiri. Dari luar tampak regulasi itu akan bisa mengobati penyakit, tapi pada akhirnya cuma sebuah mega proyek yang mengenyangkan golongannya. Sungguh memalukan. Sudah wajah pendidikan buruk masih mau telanjang-bulat pula. Najis.

Sebagian besar guru honorer sangat mengapresiasi pernyataan Mendikbud. Lebih-lebih guru PN di pelosok daerah. Mereka ingin kepastian regulasi apa yang bisa menyembuhkan borok  bernanah di tubuh pendidikan Indonesia. Harus ada pil pahit sebagai penawarnya.

Gonjang-ganjing kurikulum yang akan diubah. Ujian Nasional akan ditiadakan dan semacamnya, telah menjadi isu hangat di kalangan para guru. Pada akhirnya para pendidik pun ikut angkat bicara di beberapa ruang di mana mereka bisa menyalurkan aspirasinya. Wajar, mereka merupakan pemain. Mereka akan tetap mengikuti skenario dan arahan sutradara.

Menurut Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, bahwa penghapusan Ujian Nasional (UN) memerlukan pengkajian secara komprehensif. Supaya tidak ada kesan bahwa ganti menteri ganti kebijakan.

Kebijakan apa pun memang penuh risiko, penuh tantangan. Seorang menteri Negara tentu akan mampu memilih dan memilah serta menimbang satu kebijakan. Ia tidak berdiri sendiri. Banyak tangan dan kaki yang bisa digerakkannya. Tinggal ucapan keputusan dari bibirnya. Akhirnya diambillah satu kebijakan. Tidak boleh mencla-mencle.

Tapi perlu juga diingat, bahwa para guru, terutama guru honorer, telah bersusah-payah membangun dunia pendidikan. Paradigma kalau guru honorer berfungsi ganda selama ini perlu dapat catatan. Guru honorer kebanyakan sebagai guru plus operator itu benar adanya. Mereka menghandel dua posisi urgen di sekolah.

Bahkan ada guru honorer merangkap jadi penjaga sekolah. Namun apa lacur, kerja kerasnya bagai embun pagi hari saja. Tak dapat apresiasi dari siapa pun.

Kini ada Mendikbud baru ramai-ramai membicarakan perubahan di dunia pendidikan. Sejatinya kita bijak, yang berkarya dan berprestasi siapa selama ini. Mari kita lebih berkontemplasi!

Yant Kaiy adalah wartawan limadetik.com