Perang Tanpa Musuh: Reformasi Polri di Medan Moral
LIMADETIK.COM, SURABAYA – Badan Koordinasi Himpunan Mahasiswa Islam (BADKO HMI) Jawa Timur melalui Bidang Hukum, Pertahanan, dan Keamanan Regional menyerukan agar proses reformasi Polri tidak berhenti pada perubahan struktur dan seremonial, tetapi menembus ke jantung moral institusi budaya dan perilaku aparat penegak hukum.
Koordinator Bidang Hukum, Pertahanan, dan Keamanan BADKO HMI Jatim, Dzulkarnain Jamil, menegaskan bahwa pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri oleh Presiden Prabowo Subianto merupakan momentum strategis yang harus diawasi publik.
“Reformasi Polri adalah perang tanpa musuh, pertempuran moral antara nurani dan kekuasaan. Yang perlu dilawan bukan rakyat, tetapi sistem yang membuat penegak hukum kehilangan jiwa keadilan,” ujarnya di Surabaya, Jumat (7/11/2025).
Menurut Dzulkarnain, langkah Presiden membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2025 adalah bentuk keseriusan negara merespons krisis kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.
Namun, ia mengingatkan bahwa tim ini hanya akan bermakna jika berani menyentuh akar persoalan: budaya feodal, pungutan liar, ketimpangan hukum, dan relasi kuasa di tubuh kepolisian.
“Masalah Polri bukan sekadar seragam atau struktur, melainkan kultur yang korosif. Reformasi sejati harus menata ulang moralitas kekuasaan dari mental tunduk pada jabatan, menjadi loyal pada kebenaran,” katanya.
Dzulkarnain menilai, kehadiran figur seperti Jimly Asshiddiqie, dan Mahfud MD dalam komisi tersebut memberi sinyal positif bahwa reformasi tidak boleh bersifat kosmetik. “Namun publik berhak mengawal, agar hasilnya tidak menjadi laporan teknokratis yang sunyi dari keberanian politik,” ujarnya menambahkan.
Badko HMI Jawa Timur menilai, pembentukan dua poros reformasi komite eksternal oleh Presiden dan tim internal oleh Kapolri harus bersinergi dalam semangat transparansi dan keadilan.
“Kita mendukung langkah Kapolri yang responsif, tapi reformasi sejati tidak lahir dari seremonial internal. Ia lahir dari keberanian membuka borok institusi di hadapan rakyat,” tegas Dzulkarnain.
Ia menekankan bahwa reformasi Polri mesti menjawab tiga tantangan pokok:
1. Reformasi struktural. Memperjelas garis komando, memulihkan profesionalisme, dan memastikan akuntabilitas internal berjalan tanpa intervensi politik.
2. Reformasi kultural. Menumbuhkan etika pelayanan publik, menghapus pungli, serta mengembalikan citra polisi sebagai pelindung, bukan penindas.
3. Reformasi kesejahteraan. Memperbaiki ekonomi anggota Polri agar tidak terjerumus dalam penyimpangan dan moral hazard birokrasi.
“Reformasi tanpa perbaikan kesejahteraan hanyalah utopia. Namun, kesejahteraan tanpa moralitas akan melahirkan polisi yang makmur tapi kehilangan empati,” kata Dzulkarnain.
Lebih jauh, ia menyerukan agar Komisi Percepatan Reformasi Polri membuka ruang dialog dengan kampus, ormas, dan masyarakat sipil di seluruh daerah, termasuk Jawa Timur. “Polri tidak boleh direformasi dari atas saja, tetapi juga dari suara bawah dari desa, jalan raya, dan ruang publik tempat rakyat berinteraksi dengan polisi setiap hari,” ujarnya.
Menurut Badko HMI Jatim, reformasi Polri adalah bagian integral dari reformasi keadilan bangsa. “Jika hukum gagal menegakkan nurani, maka rakyat akan belajar mencari keadilan di luar negara, dan saat itulah republik kehilangan maknanya,” tutup Dzulkarnain Jamil.











