Harvey Moes dan Pesta Korupsi Indonesia
Oleh : Moh. Muhlis
Konsultan Pemuda Demokrasi
____________________________
ARTIKEL – “Keputusan hakim dalam memutuskan kasus Harvey Moeis sangat menusuk keadilan dalam masyarakat”, begitulah pernyataan Prof. Mahfud MD dalam menanggapi carut-marutnya penegakan hukum di Indonesia yang sangat tidak sesuai dengan nilai luhur Pancasila dan semangat konstitusionalisme pada proses peradilan Harvey Moeis. Harvey Moeis terjerat pada kasus timah yang merugikan keuangan negara sebesar 300 triliun, angka yang sangat fantastis dan merupakan korupsi terbesar sepanjang sejarah penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Bayangkan saja, kerugian keuangan negara pada kasus tersebut yang sebesar 300 triliun, hampir menyamai alokasi pendidikan 20% dari APBN. Hitung-hitungan definitif dari 300 triliun tersebut adalah sebesar 16,37% berdasarkan catatan APBN 2024 yang sebesar 1.834,7 triliun.
Keputusan hakim di pengadilan yang hanya menjatuhkan hukuman selama 6,6 tahun, dengan ganti rugi sebesar 210 miliar dan denda 1 miliar sungguh sangat sarat dengan ketidakadilan dan sarat dengan kepentingan politik. Korupsi sebesar 300 triliun banyaknya, hanya didenda sebesar 210 miliar, yang apabila kita kalkulasi hanya sebesar 0,07% dari kerugian keuangan negara yang sebesar 300 triliun tersebut.
Kerugian yang disebabkan oleh Harvey Moeis bukanlah kerugian ekonomi atau potensi kerugian yang didapat oleh negara, melainkan kerugian riil dalam keuangan negara atau kerugian yang nyata. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi menafsirkan pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” adalah sebagai kerugian negara yang nyata (actual loss).
Kerugian inilah yang dilakukan oleh Harvey Moeis sebagai kerugian negara yang nyata (actual loss) dan harus dipertimbangkan hukumannya berdasarkan besarnya kerugian terhadap negara.
Menggunakan pendekatan Gustav Radbruch dalam tulisannya “Vorschule der Rechtphilosophie” yang kita kenal sebagai Radbruch Formula, di mana pertimbangan hukum harus didasarkan pada tiga bagian penting, yaitu (I). Keadilan; (II). Kemanfaatan dan ; (III). Kepastian hukum.
Pendekatan ini bisa dijadikan landasan dalam melihat putusan hakim di pengadilan terhadap kasus Harvey Moeis apakah sudah sesuai ataukah tidak. Korupsi merupakan salah satu kejahatan luar biasa, dalam kriminologi kita mengenal sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime) yang harus diberikan hukuman yang seberat-beratnya.
Tidak ada kemanfaatan yang terganggu apabila Harvey Moeis dihukum seberat-beratnya, maka dengan menggunakan logika semacam itu, kepastian hukum haruslah diutamakan dalam penanganan kasus tersebut. Karena korupsi adalah tindakan yang merugikan negara, terutama dalam hal inilah adalah timah, yang berdasarkan amanat dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Hukum haruslah bersifat mengikat (vis obligandi), sebagai upaya menghasilkan sifat jera. Hukum harus berfungsi sebagai pengendali sosial sebagaimana adagium hukum “Praestet cautela quammedela” bahwa mencegah lebih baik daripada mengobati.
Tujuan utama hukum adalah menghasilkan serangan psikologis sehingga berimplikasi pada sifat jera untuk melakukan kejahatan yang melanggar hukum. Feurbach mengemukakan sebuah teori yang kita kenal sebagai “psycologischezwang” bahwa hukum harus menghasilkan sifat jera dan serangan psikologis kepada pelaku kejahatan sebagai upaya preventif agar menghindari kejahatan yang lebih besar.
Melihat penegakan hukum yang terjadi pada Harvey Moeis sungguh dilematis. Penegakan hukum yang carut-marut tersebut juga akan berdampak terhadap kondisi sosiologis dan psikologis orang lainnya untuk turut melakukan tindak pidana korupsi besar-besaran mengingat hukuman yang didapatkan akan sedikit.
Problematika tersebut jika dilihat dalam psikologi forensik menggunakan teori Deutsch dan Krauss tentang “level aspiration” bahwa kejahatan sangat ditentukan oleh tingkat kesulitan mencapai tujuan dan probabilitas subjektif pelaku .
Probabilitas subjektif di sini dapat dimaknai sebagai keadaan penegakan hukum di Indonesia yang cenderung sarat dengan kepentingan politis, sehingga membuat pelaku korupsi lainnya semakin bersemangat melakukan korupsi besar-besaran tanpa ada ketakutan sama sekali terhadap ancaman hukuman yang tidak akan seberapa.
Implikasi kasus tersebut juga dapat dilihat menggunakan “broken window theory” atau teori jendela rusak Wilson dan Kelling yang bisa berimplikasi pada ranah sosiologis berupa peluang terjadinya kejahatan yang lebih besar. Teori tersebut menyatakan bahwa jendela yang rusak, apabila tidak kunjung diperbaiki, maka akan semakin membuat jendela rumah semakin rusak dan pada akhirnya berakibat fatal pada kerusakan rumah.
Begitupun halnya dalam kasus korupsi yang telah merugikan negara sebesar 300 triliun, yang jika penegakan hukumnya tidak disesuaikan dengan kerugian tersebut, akan berpotensi dan berpeluang besar terjadinya kasus korupsi yang lebih besar lagi karena tidak adanya kepastian hukum dan pada akhirnya akan berdampak terhadap krisis politik dan instabilitas pemerintahan bahkan pada hal yang lebih besar berupa disintegrasi bangsa.