Korupsi Pertamina Arogansi Pejabat yang Menghancurkan Rakyat
Oleh : Regina Maylani
Prodi: Ilmu Komunikasi
Fakultas: Ilmu Sosial, Hukum, dan Ilmu Politik
Universitas Negeri Yogyakarta
_______________________________
ARTIKEL – “Mahalnya harga BBM? Bukan karena stok langka atau biaya produksi tinggi, tapi karena kerakusan segelintir pejabat!”. Korupsi di Indonesia seakan tak pernah mati. Kali ini, kasus yang mencuat kembali menyeret nama besar Pertamina, sebuah perusahaan milik negara yang seharusnya menjadi kebanggaan, tetapi justru berulang kali menjadi sarang korupsi.
Dari tahun 2018 hingga 2023, impor minyak mentah dan produk turunannya diduga dikendalikan oleh permainan kotor, menyebabkan negara mengalami kerugian sebesar Rp 193,7 triliun (Mulyadi 2025). Angka yang begitu besar, namun seperti biasa, ujung-ujungnya rakyat yang harus membayar harganya.
Sebagai mahasiswa, saya muak melihat bagaimana uang yang seharusnya digunakan untuk membangun negara malah masuk ke kantong para pejabat dan kroni-kroninya. Yang lebih ironis, mereka yang menguras uang rakyat ini adalah orang-orang yang seharusnya menjaga kepentingan bangsa. Tidak cukupkah gaji mereka? Tidak cukupkah fasilitas dan kemewahan yang sudah mereka dapatkan?
Rakyat selalu diberi narasi bahwa kenaikan harga BBM tak terhindarkan karena kondisi global. Padahal, di balik layar, ada skenario busuk yang sengaja dimainkan oleh para elit. Para tersangka, yang terdiri dari petinggi Pertamina dan pihak swasta, sengaja menurunkan produksi kilang dalam negeri untuk menciptakan alasan melakukan impor. Minyak dalam negeri dijual ke luar negeri, sementara kita justru membeli minyak impor dengan harga yang sudah direkayasa agar lebih mahal.
Modus seperti ini bukan sekadar pencurian biasa, tapi penghancuran sistematis ekonomi negara. Dengan mengatur skema impor yang tidak transparan dan memenangkan broker tertentu, mereka menciptakan sistem yang hanya menguntungkan segelintir orang, sementara rakyat harus menanggung BBM yang mahal. Subsidi BBM yang seharusnya meringankan beban masyarakat malah dipermainkan untuk menggelembungkan keuntungan pribadi.
Akibatnya? Harga BBM semakin tinggi, inflasi merangkak naik, dan subsidi yang seharusnya membantu masyarakat miskin justru dikorupsi (Rachmawati 2022). Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur justru mengalir ke kantong-kantong para pelaku korupsi ini.
Sebagai BUMN terbesar di Indonesia, Pertamina seharusnya menjadi simbol kebanggaan nasional. Namun, berulang kali, perusahaan ini justru menjadi episentrum skandal korupsi. Dari pengadaan LNG hingga impor minyak mentah, selalu ada permainan kotor yang menyeret nama Pertamina.
Yang lebih membuat frustrasi adalah bagaimana perusahaan ini selalu mengusung jargon “transparansi dan akuntabilitas”, tapi dalam praktiknya justru menjadi contoh buruk dalam tata kelola perusahaan. Apakah ini pertanda bahwa sistem di dalamnya memang sudah busuk dari akar? Atau mungkin, korupsi di tubuh BUMN sudah menjadi hal yang dianggap “wajar”?.
Masyarakat terus-menerus diminta untuk berhemat, membayar pajak, dan menerima kenaikan harga, sementara pejabat yang seharusnya melayani justru sibuk menumpuk kekayaan pribadi. Skandal ini bukan hanya mencoreng nama Pertamina, tapi juga menciptakan krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan institusi negara.
Korupsi di Indonesia bukan lagi sekadar kejahatan ekonomi, tapi sudah menjadi budaya (Setiadi 2018). Ini adalah fenomena yang terus berulang karena hukuman bagi para pelaku masih terlalu ringan. Apa yang akan terjadi setelah kasus ini?.
Para tersangka mungkin akan ditahan, diberi hukuman ringan, dan beberapa tahun kemudian mereka bisa menikmati hasil korupsi mereka. Bahkan, tidak jarang para mantan koruptor ini kembali masuk ke dalam sistem pemerintahan atau dunia bisnis, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.
Sebagai mahasiswa, saya muak dengan pola ini. Dimana ketegasan negara?. Dimana reformasi hukum yang dijanjikan?
Setiap kali kasus besar mencuat, kita selalu diberi janji manis: akan ada perbaikan, akan ada evaluasi, akan ada pengawasan lebih ketat.
Tapi dalam waktu singkat, kasus ini akan menghilang dari perhatian publik, dan sistem akan kembali berjalan seperti biasa.
Kita tidak bisa lagi hanya menunggu pemerintah mengambil tindakan. Kita harus lebih vokal, lebih kritis, dan lebih berani menuntut perubahan. Karena jika dibiarkan, bukan tidak mungkin lima atau sepuluh tahun lagi kita akan membaca berita yang sama: Korupsi di Pertamina, Korupsi di BUMN, Korupsi di Pemerintahan.
Hukuman bagi para koruptor di Indonesia masih terlalu ringan dan sering kali tidak memberikan efek jera. Seharusnya, hukuman untuk koruptor kelas kakap seperti dalam kasus Pertamina ini bukan sekadar beberapa tahun penjara, tapi perampasan seluruh aset mereka, pencabutan hak politik, dan hukuman seberat-beratnya.
Jika perlu, hukuman mati layak dipertimbangkan. Mengapa kita harus berbelas kasihan kepada mereka yang telah merampok ratusan triliun rupiah uang rakyat? Jika di negara-negara seperti China atau Singapura para koruptor besar bisa dihukum mati atau dipenjara seumur hidup, mengapa di Indonesia mereka justru masih bisa hidup nyaman setelah keluar dari penjara?.
Hukum yang lemah hanya akan membuat para pejabat terus mengulang pola yang sama, karena mereka tahu tidak ada konsekuensi berat yang harus mereka tanggung. Transparansi tidak akan cukup jika tidak ada keberanian dari rakyat untuk terus bersuara.
Kita, sebagai mahasiswa dan masyarakat, harus berhenti bersikap apatis! Sudah terlalu lama kita hanya diam dan membiarkan para koruptor merajalela. Jika kasus ini tidak ditindaklanjuti dengan serius, kita harus turun ke jalan, menuntut reformasi nyata dalam tata kelola BUMN dan sistem hukum yang lebih keras bagi koruptor.
Jangan sampai kasus ini menguap begitu saja seperti skandal-skandal sebelumnya, sementara kita kembali dikibuli dengan janji-janji perbaikan yang tidak pernah terwujud.
Sering kali justru masyarakat kecil yang harus menanggung dampak dari korupsi ini. Harga BBM yang tinggi, subsidi yang dikorupsi, dan ekonomi yang semakin sulit adalah hasil langsung dari kerakusan para pejabat yang bermain di balik layar.
Sementara mereka hidup dalam kemewahan dengan uang hasil korupsi, rakyat dipaksa berhemat dan menerima beban ekonomi yang semakin berat. Ini adalah bentuk penghianatan terbesar terhadap bangsa dan rakyat.
Jangan lagi kita hanya berharap pada pemerintah untuk memperbaiki keadaan, karena berkali-kali mereka gagal membuktikan keberpihakan mereka kepada rakyat. Jika rakyat tidak bersuara, jika mahasiswa hanya diam, jika media hanya meliput tanpa ada tekanan publik yang kuat, maka skandal seperti ini akan terus berulang.
Kita harus berani menuntut keadilan, menolak segala bentuk kompromi terhadap korupsi, dan memastikan bahwa kasus ini tidak berakhir dengan hukuman ringan yang memalukan.
DAFTAR PUSTAKA :
Mulyadi, Ardian. 2025. “ADA APA DENGAN PERTAMINA? ANALISIS HUKUM TERHADAP KASUS KORUPSI PT. PERTAMINA PARTA NIAGA.” BHAKTI: Jurnal Antikorupsi 1(1):37–48.
Rachmawati, Amalia Fadhila. 2022. “Dampak Korupsi Dalam Perkembangan Ekonomi Dan Penegakan Hukum Di Indonesia.” Eksaminasi: Jurnal Hukum 1(1):12–19.
Setiadi, Wicipto. 2018. “Korupsi Di Indonesia.” Jurnal Legislasi Indonesia 15(3):249–62.