PAMEKASAN, Limadetik.com – Insiden sakit massal yag menimpa ratusan santri di Kabupaten Pamekasan, Madura Jawa Timur, paska imunisasi difteri, hingga Ahad (11/02/2018) malam, terus meluas ke tiga pesantren dari sebelumnya hanya dua pesantren.
Diperkirakan, korban sakit paska suntikan vaksin itu mencapai ratusan. Data Dinkes Pamekasan menyebutkan, jumlah total santri yangmengalami sakit massal berupa pusing, kejang-kejang, mual dan muntah, hingga pingsan, sekitar 80 orang lebih.
Mereka merupakan santri dari dua pesantren di Kabupaten Pamekasan, yaitu Pesantren Al-Falah, Sumber Gayam, dan Pesantren Hiyatul Mubtadiin di Kecamatan Kadur. Sementara santi yang baru dirujuk ke Puskesmas Larangan karena mengalami hal sama adalah dari Pesantren Al-Husen, Desa Bangkes, Kadur.
Kejadian nahas itu sontak mengundang respon banyak pihak, salah satunya anggota DPD RI Daerah Pemilihan Jawa Timur, Ahmad Nawardi. Menurut Nawardi, kejadian ini berpotensi karena kesalahan human error dari pihak medis karena rentang waktu yang berdekatan antara praktik imunisasi dan sakit yang dialami santri.
“Suntik vaksin difteri itu kan untuk antisipasi dan proteksi mewabahnya penyakit difteri. Tetapi karena hal tertentu, vaksinasi itu justru menimbulkan penyakit yang lain hingga sebagian besar santri harus dilarikan ke rumah sakit daerah, bahkan ada yang ke Surabaya karena parah,” kata Nawardi di Pamekasan, Selasa, (13/02/2018).
Bagi Nawardi, musibah sakit massal santri ini bisa diminimalisir dengan perencanaan dan prosedur imunisasi yang lebih maksimal dan terukur. Ini justru membuat panik masyarakat dan famili korban. Artinya, tambah Nawardi, proses vaksin difteri ini bermasalah.
“Paling tidak, Dinkes melalui dokter sudah sampaikan efek fisikal akibat vaksin difteri ini, sehingga masyarakat dan famili korban tenang karena memang sesuai standar medis dan aman. Sementara ini kan tidak, tiba-tiba banyak korban berjatuhan dan harus dirawat intensif di rumah sakit,” tegas mantan wartawan Tempo tersebut.
Apalagi, menurut Nawardi, ada kesaksin medis yang tidak sama antara Dinkes Pamekasan dengan Dinkes Jawa Timur. Ada yang menyebut sakit massal itu karena efek dari Outbreak Response Immunization (ORI) Difteri. Sementara ada juga yang menyebut hanya faktor psikologis santri.
“Jadi, kesaksian medis yang tidak jelas ini yang justru meresahkan masyarakat. Karena ini urusannya nyawa santri. Kalau benar ada kelalaian dan keteledoran pihak medis, ini bisa menjadi delik pidana. Saya yakin, kalau imunisasi difteri telah sesuai dengan standar prosedur yang baik, tidak akan terjadi musibah seperti ini,” ungkap Ketua HKTI Jawa Timur ini.
Menurut Nawardi, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dan Dinkes Pamekasan harus bertanggung jawab atas insiden yang menimpa ratusan pelajar pesantren ini. Jangan sampai, Dinkes sembunyi tangan dengan hanya mengatakan bahwa korban akan segera sembuh karena sakitnya hanya efek samping.
“Ya memang menjadi obligasi moril dan kerja profesional mereka (Dinkes) untuk bertanggung jawab. Mereka mesti segera mengambil langkah preventif. Jangan sampai, publik merasa tidak percaya lagi dengan kerja medis, ini bahaya,” tegasnya.
“Dinkes mesti berpangku tangan dengan pihak terkait untuk menyampaikan informasi akurat kepada publik dan famili korban agar mereka tidak panik. Dinkes juga harus membantu meringankan biaya rumah sakit korban,” imbuh mantan anggota DPRD Jawa Timur itu.
Nawardi berharap, peristiwa serupa tidak lagi terjadi. “Mesti harus detail dan prosedural perencanaan imunisasi terhadap masyarakat, apalagi pelajar. Harus ada sosialisasi dengan penjelasan medis yang akurat sebelum dan setelah imunisasi,” tutupnya.(nw/rd)