JAKARTA, Limadetik.com – Penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir sudah mengalami banyak kemajuan. Bahkan ditingkat global Indonesia menjadi salah satu rujukan belajar atas berbagai keberhasilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana selama ini. Demikian salah satu poin kesimpulan Diskusi Publik “Sepuluh Tahun Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Platform Nasional (Planas) Pengurangan Risiko Bencana dan AMPU di Jakarta, Selasa (28/8/2018) kemarin.
Diskusi tersebut menghadirkan sejumlah nara sumber, yaitu DR. Ir. Eko Teguh Paripurno, MS.c (Pusat Studi Bencana) UPN Veteran Jogjakarta, DR. Inosentius Samsul, SH., MH (Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI), Ahmad Arif (Wartawan Kompas), Dicky Fabrian, S.H., LL.M (Kabiro Hukum dan Kerjasama BNPB).
Sejak UU Penanggulangan Bencana diundangkan pertamakali di tahun 2007 yang diikuti dengan terbentuknya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), saat ini sudah terbentuk 34 BPBD di 34 Provinsi, dan 472 BPBD Kabupaten/kota dari 514 Kabupaten/kota yang ada.
“Untuk pertama kalinya sejak UU PB lahir, kita saat ini sudah memiliki Rencana Induk Penanggulangan Bencana (RIPB) hingga tahun 2014. Dokumen ini akan menjadi rujukan ke depan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia. Kalau jaman dulu kira-kira semacam GBHN”, terang Kepala Biro Hukum BNPB Dicky Fabrian, SH., LL.
Dicky menambahkan, meskipun banyak kemajuan namun banyak hal yang masih harus dibenahi. Salah satu hal yang harus dibenahi adalah masalah koordinasi, baik koordinasi penyelenggaraan penanggulangan bencana pada situasi normal maupun koordinasi pada situasi tanggap darurat.
“Koordinasi itu mudah diucapkan, tapi sukar untuk dilaksanakan. Bayangkan BNPB harus mengkoordinir 38 kementrian dan lembaga, dan mereka lebih senior. Sudah ada jauh sebelum BNPB berdiri”, sebut Dicky.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah soal bagaimana mengubah perilaku baik masyarakat maupun penyelenggara penanggulangan bencana lainnya. Fakta menunjukkan, selama sepuluh tahun terakhir setiap kejadian bencana berita-berita yang muncul di media tidak jauh-jauh dari urusan koordinasi, keterlambatan bantuan, dan sejenisnya. Hal ini menunjukan bahwa investasi mitigasi bencana selama ini belum bisa mengubah perilaku masyarakat, termasuk dalam konteks perencanaan pembangunan, isu mitigasi belum cukup kuat tercantum dalam dokumen RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah).
Terkait koordinasi ini, Ahmad Arif (Kompas) membandingkan situasi di Jepang dengan di Indonesia. “Kalau di Jepang, kalau bicara jumlah data korban itu ada yang mengurusi sendiri, kalau bicara data kerusakan rumah dan bangunan maka yang berwenang mengumumkan ke publik adalah adalah kementrian PU nya. Masing-masing di sana sudah ada pembagian tugas dan peran. Tapi kalau di Indonesia, saat situasi bencana semua pihak bisa mengeluarkan data menurut versi masing-masing” terangnya.
Sementara itu, DR. Eko Teguh Paripurno menekankan perluanya memperbesar ruang peran masyarakat. Ini menurutnya dikembalikan pada semangat penanganan bencana adalah adalah urusan semua orang. Bukan hanya urusan BNPB, tetapi BNPB akan maksimal bekerja jika dibantu oleh masyarakat, pusat-pusat studi bencana di perguruan tinggi, organisasi pemerintah, swasta dan sebagainya.
Cacat Sejak Lahir
DR. Inosentius Samsul, SH., MH dari Badan Keahlian Dewan (BKD) Komisi VIII DPR RI, mengatakan bahwa UU Nomor 24/2007 ini sejak lahir sudah cacat. Dikatakannya, sebagai produk politik undang-undang ini merupakan kompromi berbagai kepentingan sektoral sehingga bisa dikatakan undang-undang ini memang tidak sempurna.
“Oleh karena itu, setelah melalui uji lapangan selama kurang lebih 10 tahun, penting untuk melihat kembali apakah klausul-klausul yang ada di dalam undang-undang ini masih relevan menjawab kebutuhan atau tidak. Termasuk melihat kembali jangan-jangan ada ketentuan yang tidak bisa dilaksanakan hingga hari ini dengan berbagai alasan”, jelasnya.
Samsul atau yang akrab disapa Sensi juga mengingatkan bahwa UU PB lahir disaat kuat-kuatnya semangat desentralisasi/otonomi daerah. Sehingga dalam kontek penanggulangan bencana sebagai urusan wajib pemerintah sesuai UU nomor 23/2014 jangan diambil hal-hal yang enak saja, sementara hal-hal yang tidak menyenangkan dibuang,
“Pengalaman penanganan gempa di Lombok baru-baru ini saya kira akan menjadi pengalaman berharga untuk membenahi penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia, baik untuk membenahi undang-undangnya sendiri atau bisa saja membenahi kelembagaannya tanpa harus mengubah undang-undang” imbuhnya.
Sebagaimana diketahui, Undang-Undang Penanggulangan Bencana lahir dengan harapan yang terlalu ideal. Pada kenyataannya, setelah melalui uji sepuluh tahun terakhir banyak hal yang tidak/belum bisa dilaksanakan. Salah satunya adalah kalusul yang menyatakan bahwa setiap kegiatan pembangunan harus menyertakan penilaian risiko. Klausul ini ternyata masih susah dilaksanakan sampai hari ini.
Demikian juga terkait dengan sanksi pidana, dengan semangat untuk mewujudkan akuntabilitas penyelenggaraan penanggulangan bencana di Indonesia, nyatanya pasal soal sanksi pidana ini terkesan mubazir. Demikian juga menyangkut keberadaan Dewan Pengarah penanggulangan Bencana. Dari proses rekruitmen, anggota Dewan Pengarah PB harus dilakukan secara terbuka dan melalui fit and proper test dengan komisi 8 DPR RI, dengan harapan bisa menghasilkan anggota Dwan Pengarah yang kompeten dan akuntabel. Pada kenyataannya, keberadaan anggota dewan pengarah saat ini masih belum benar-benar bisa menjadi pengarah BNPB. Keberadaannya hanya untuk legitimasi saja memenuhi kewajiban undang-undang.
Adapun beberapa isu lain yang sempat mengemuka dalam diskusi terkait revisi UU Penanggulangan bencana antara lain soal konsep bencana dan kaitannya dengan mandat yang akan diemban oleh BNPB. Apakah ruang lingkup bencana yang ditangani BNPB hanya bencana alam saja atau jenis bencana yang lain. Hal ini perlu diperjelas, mengingat saat ini ada beberapa produk Undang-Undang lain yang mengatur soal konflik sosial yang mengacu pada UU No. 7 Tahun 2012 Tentang Penanganan Konflik Sosial, atau masalah penanganan kebakaran hutan dan lahan yang selama ini lebih banyak merujuk pada UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Penanggulangan bencana inklusif merupakan hal yang perlu menjadi perhatian semua pihak. Kejadian bencana di Lombok belum lama ini juga memberi pelajaran betapa kelompok penyandang disabilitas belum mendapatkan layanan yang seharusnya. Padahal sebagai kelompok rentan, bentuk layanan dan kebutuhan yang mereka perlukan berbeda dengan orang kebanyakan. (yyt/ld)