Sistem Polarisasi Budaya Lokal Sebagai Bentuk Implementasi Moralitas Budi Pekerti
Oleh : Suhal
Aktivis PMII STIDAR
_________________________
ARTIKEL – Acap kali budaya lokal yang semakin kering keberadaannya karena diduga implementasi dari masyarakat yang perlu dihilangkan. Ini konsekuensi dari adanya ketidak sesuaian ketika melaksanakan kegiatan yang terkadang bertentangan dengan ideologi bahkan agama.
Namun hal itu merupakan hasil reka-reka pemikiran manusia yang tidak mampu untuk melakukan distorsi kebiasaan masa lampau yang kemudian anggapan mereka akan sangat buruk dengan keberadaannya. Apakah benar begitu?. Ada dalam sebuah desa, desa tersebut termasuk dalam kategori mayoritas masyarakat menengah ke bawah. namun penulis di sini tidak akan menyebut nama desanya.
Sebuah desa yang memiliki ragam kebudayaan sehingga ada banyak mayoritas masyarakat di sekitarnya tidak mampu untuk memahami kebiasaan-kebiasaan tersebut. Diantaranya kebiasaan muang panyaket. Istilah muang panyaket acap kali diimplementasikan oleh masyarakat untuk melakukan penyembuhan saat mengalami sakit parah yang sering terjadi.
Kegiatan itu termasuk kepada kategori syarat-syarat dalam penyembuhan pada manusia. Biasanya syarat-syarat tersebut dilakukan atas instruksi mayoritas dari dukun-dukun atau tabib, sehingga proses penyembuhan harus terselesaikan. Merupakan kegiatan penyembuhan, biasanya seringkali diimplementasikan saat siang berganti malam. karena diyakini bahwa waktu itu merupakan waktu dimana kebanyakan orang mengganggap waktu mustajab.
Instruksi yang telah dilaksanakan oleh kebanyakan orang itu untuk memberikan tiga nasi tumpeng dengan tujuh rupa yang wajib diletakkan di simpang jalan empat, Mengingat penyakitnya akan menghilang.
Dalam hal ini sangat bertentangan dengan kebanyakan pemuka agama yang sangat religiusitas terhadap ideologinya. Mereka menganggap ketika ada kegiatan muang panyaket itu adalah kebiasaan yang mungkin perlu dihilangkan. Dikarenakan bentuk implementasi yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Agama melarang untuk membuang makanan yang masih layak untuk dimakan. Karena perilaku membuang makanan merupakan tindakan yang sangat buruk, bersikap menyepelekan dan kufur terhadap nikmat Allah, SWT.
Selain itu tindakan membuang makanan yang masih layak dimakan adalah bentuk implementasi menyia-nyiakan makanan dan merusak harta, sehingga sabda Rasulullah menyampaikan terkait larangan menyia-nyiakan makanan: Sesungguhnya Allah membenci kalian karena tiga hal; Berita palsu atau gosip, menyia-nyiakan harta, dan banyak meminta.
Dalam hal ini, bisa dikatakan sebagai sumber dasar untuk menyinggung kebiasaan buruk yang telah lama terealisasi dan pada kenyataannya mayoritas masyarakat mengais nafkah demi sesuap nasi. Tak banyak disadari, makanan yang kita konsumsi ini termasuk harta yang tak boleh di sia-siakan.
Lain dari itu, kebiasaan baik dan buruk menurut ideologi dan agama yang sering dilaksanakan oleh kebanyakan masyarakat, terutama masyarakat madura diantarnya: Kerapan Sapi, Sapi Sonok, Clurit, rokat, modok, patuh kiai. Dan masih banyak lagi yang lainnya yang memiliki dampak positif dan negatif terhadap ideologi, agama bahkan sosial.
Dan perlu dipahami ada sedikit kesamaan dari banyaknya ragam kebiasaan dan tradisi Madura dengan kebiasaan di atas yang mengalami islamisasi. Diantaranya adalah upacara rokat. Berbeda dengan kebiasaan muang panyaket.
Upacara rokat sebagai Salah satu bentuk kegiatan yang merupakan kebudayaan masyarakat madura sehingga beranggapan ketika merealisasikan kegiatan ini, semua penyakit, keselamatan dan menghindari dari marabahaya, ini merupakan salah satu solusi yang dianggap urgen bagi mereka.
Semisal seperti wabah penyakit, bencana dan marabahaya yang lainnya dipercaya agar bisa menghindari. Sedikit ada beberapa distorsi yang berbeda dengan muang penyaket di atas. Upacara rokat sering dilaksanakan sesaji, seperti kepala ayam, sapi atau kambing, aneka makanan dan buah-buahan yang perlu dijadikan sajian atau persyaratan.
Secara historis sebelum masuknya Islam ke madura (Pra-Islam) kebiasaan rokat telah sering dilakukan mengingat orang-orang madura menyapa para leluhurnya untuk senantiasa memberkati kehidupan mereka. Oleh karena itu dengan terealisasinya kegiatan upacara rokat, masyarakat madura berharap agar bisa terhindar dari segala penyakit, marabahaya baik di darat maupun di laut. Mayoritas masyarakat madura meyakini bahwa nenek moyang yang telah meninggal masih bisa dimintai pertolongan.
Ada beberapa jenis rokat yang sering dilakukan oleh masyarakat madura diantaranya adalah rokat yang bertujuan hanya untuk kepentingan pribadi (individual), kemudian ada rokat yang meliputi banyak masyarakat atau (universal) misalnya seperti munculnya penyakit rokat tasek dan lain sebagainya.
Namun penulis di sini akan membahas tentang rokat yang secara khusus tidak bersangkutan dengan masyarakat luas yaitu adalah rokat pamengkang. Realisasi rokat pamengkang ini merupakan upacara adat yang diselenggarakan untuk memohon kepada tuhan agar tanah warisan tidak menimbulkan malapetaka bagi pemiliknya, sekaligus merupakan bentuk rasa terimakasih kepada para leluhur karena telah ia titipkan warisannya sebagai fasilitas untuk menjalankan roda kehidupan.
Dalam peraktek upacara rokat pamengkang, syarat-syarat realisasi yang perlu dilaksanakan berisi pembacaan surat yasin, serta dzikir-dzikir khusus rokat pamengkang dilanjut dengan doa bersama. Setelah itu, menyembelih ayam kampung, dagingnya dibagikan kepada tetangga. Sementara darah dan bulunya dikuburkan di lubang dimana lubang tersebut harus diletakkan di tanah warisan itu. Dan dari situ kemudian penguburan darah dan bulu ayam merupakan simbol keselamatan dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Seperti yang telah dibahas dalam uraian sebelumnya upacara rokatan adalah kegiatan yang telah direalisasikan sebelum masuknya islam ke Madura pada saat dimana agama animisme dan dinamisme masih dianut oleh mayoritas masyarakat Madura.
Namun ketika masuknya Islam ke Indonesia, ritualitas telah sedikit diperbarui, entah apakah ini tidak sama halnya dengan kebiasaan muang panyaket seperti yang telah dipaparkan di atas yang pada kenyataannya harus dilakukan konstruksi terhadap sebagian sistem untuk mendistorsi kebiasaan-kebiasaan buruk yang sudah sering dilakukan.
Semisal rokat pamengkang telah diperbarui dengan nilai-nilai tauhid, seperti digantinya tujuan doa-doa kepada roh-roh leluhur yang diganti dengan berdoa kepada Allah SWT.
Sebagai bentuk moralitas budi pekerti yang harus direalisasikan, diharapkan agar sesuai dengan Syariat agama Islam. Lalu yang menjadi pertanyaan peratek demikian dibenarkan dalam islam? Secara khusus acuan dasar apabila ingin membuktikan bahwa pada Zaman Rasulullah pernah melakukan? Dan jawabannya tidak, karena pada zaman Rasulullah memang tidak pernah melakukan ritualitas rokatan.
Namun sebagaimana telah dibahas di atas bahwa rokat pamengkang telah mengalami islamisasi. Artinya kemasan rokatnya memang tetap seperti sebelumnya, namun orang-orang tidak akan pernah menemukan ritual pelaksanaan yang bertentangan dengan syariat Islam. Semua aspek seremonialnya maupun isinya telah berwarna islam, seperti pembacaan surat yasin bersama masyarakat sekitar atau tetangga kemudian dipungkasi dengan pembacaan doa kepada Allah,SWT tidak lagi kepada roh-roh leluhur.
Bisa kita lihat dari sini bahwa perubahan dan perbedaan yang telah diperaktekan oleh masyarakat Madura sebelum masuknya islam ke madura (pra-Islam) sampai masuknya islam ke madura mengalami sedikit peralihan, dengan kata lain telah terjadi perubahan niat dan motivasi dalam proses pelaksanaan upacara dengan kebiasaan rokat zaman dulu dengan yang sekarang.
Jika sebelumnya masyarakat madura menggunakan niat dan motivasi untuk berdoa kepada roh-roh leluhur, kini sudah tidak lagi seperti itu, melainkan masyarakat Madura memiliki niat dan motivasi untuk mencari keselamatan dan kesejahteraan kepada Allah,SWT.
Dengan kebiasaan rokat pamengkang sebagai bentuk Implementasi Moralitas Budi Pekerti yang sesuai dengan syariat agama Islam kini sudah terealisasi. mengingat kebiasaan-kebiasaan yang sudah diperaktikan oleh masyarakat tidak lepas dari nilai-nilai keislaman itu sendiri, lain lagi kalau seperti kebiasaan mondok, istilah mondok di sini adalah seseorang yang mencari ilmu dan menetapkan diri dalam lingkungan pesantren, yang pada dasarnya merupakan anjuran dari agama islam itu sendiri.
Bahwasanya sebagai orang muslim diwajibkan untuk mencari ilmu dari sejak lahir sampai meninggal yang berbunyi “tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat” yang pada kenyataannya mondok pun merupakan kebiasaan masyarakat madura bahkan jawa.
Urgensi untuk mengimplementasikan kebiasaan atau tradisi di dalam sebuah tempat, masih belum ditemukan agar menjadi barometer sebagai stratifikasi tingkat moralitas dan budi pekerti. Karena ketika ditinjau dari nilai-nilai keislaman, antara rokat dan mondok sama-sama memiliki kebiasaan untuk melakukan kebaikan dan tidak pernah kita temui tentang tindakan yang tidak sesuai dengan syariat islam.