Menapaki Perjalanan Pembelajaran: Kesadaran Pemuda Migran di Malaysia
Oleh : Ma’rifatul Khoiroh
IAI A-Khairat
Manajemen Pendidikan Islam (MPI)
Sekretarus 2 PKN Internasional Malaysia
________________________________
ARTIKEL – Mungkin kita tidak pernah memikirkan nasib mereka yang lahir tanpa identitas resmi, yang memiliki cita-cita luhur namun terhalang oleh penghalang yang jelas yang dikenal sebagai status diri.
Di Indonesia, anak-anak usia sekolah dasar dapat bebas mewujudkan impian mereka sendiri, tetapi hal sederhana ini tidak mungkin dilakukan oleh anak-anak migran yang lahir di Malaysia.
Pertanyaannya adalah, “Apa alasannya?” Jawabannya adalah, “Ya, tetap sama, terutama terkait dengan hambatan yang besar dan jelas.” Bukankah hidup ini sungguh keras? Pendidikan seharusnya menjadi hak semua anak, namun sayangnya, itu adalah mimpi yang jauh dari jangkauan banyak orang.
Ini melibatkan lebih dari sekadar birokrasi; ini juga tentang kemanusiaan yang seharusnya hadir, yang memungkinkan kita untuk membuka hati dan lebih menghargainya.
Perjuangan yang Tak Terelakkan
Tantangan yang sesungguhnya terlihat jelas dalam situasi seorang anak migran yang bercita-cita untuk melanjutkan pendidikan tinggi namun tidak memiliki akta kelahiran atau kartu identitas, sehingga menghalangi mereka untuk mengakses pendidikan formal.
Hal ini mau tidak mau mendorong mereka untuk mencari pendidikan di sekolah komunitas seperti SB (Sanggar Bimbingan), yang merupakan sekolah yang disediakan oleh Kedutaan Besar Indonesia untuk anak-anak migran di Malaysia.
Meskipun demikian, terlepas dari niat dan tujuan positif mereka, sekolah-sekolah komunitas ini seringkali menghadapi tantangan seperti kurangnya buku teks, tenaga pengajar, dan pendidik yang berkualitas.
Hal ini mungkin menjelaskan mengapa keterlibatan peserta PKN Internasional Indonesia sangat penting, menawarkan bantuan kecil dan mengarahkan upaya kemanusiaan mereka. Namun demikian, semua pembatasan ini tidak mengurangi keinginan anak-anak migran untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak-anak lainnya..
Kesulitan ini hanyalah salah satu dari sekian banyak kesulitan keuangan yang dihadapi keluarga anak-anak migran ini. Tujuan utama mereka pindah adalah untuk mengejar kehidupan yang lebih baik, khususnya stabilitas keuangan yang lebih baik.
Namun, hal ini diperumit oleh dua pilihan yang jelas: menyediakan makanan atau pendidikan bagi anak-anak. Akibatnya, banyak anak migran yang seharusnya bersekolah justru tergantikan dengan beban kerja hanya untuk satu kali makan.
Selain itu, ada tantangan lain yang sama pentingnya: keragaman budaya, bahasa, dan program pendidikan. Anak-anak yang lahir di negara tetangga mungkin tidak ingat cara berkomunikasi dalam bahasa ibu mereka. Mereka mungkin tidak lagi mengenali sejarah tanah air mereka.
Namun, mereka tidak diajarkan tentang sejarah bangsa tempat mereka tinggal. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan harga diri, perasaan dikucilkan, dan rumor negatif dari teman sebaya, yang menciptakan stigma sosial.
Secercah Optimisme yang Tak Boleh Dipadamkan
Di tengah kesulitan-kesulitan ini, bersinarlah secercah harapan yang tak boleh kita abaikan, secercah harapan kecil yang harus kita pupuk dengan segenap kekuatan kita, terus-menerus mengisinya dengan bahan bakar agar cahayanya tetap menyala.
Pendidikan yang ditawarkan kepada anak-anak migran bukan hanya untuk kepentingan mereka sendiri, bukan semata-mata demi kesejahteraan masa depan mereka, dan bukan sekadar percakapan sepihak. Namun, semua ini merupakan investasi yang cukup besar.
Anak-anak yang mengenyam pendidikan akan tumbuh menjadi individu yang mandiri dan menjanjikan, yang pada akhirnya akan memberikan banyak dampak positif bagi komunitas lokal mereka. Melindungi masa depan mereka sama saja dengan melindungi masa depan kita sendiri dan masa depan bangsa Indonesia.
Sekolah komunitas SB (Sanggar Bimbingan Belajar) ini sangat penting bagi pendidikan anak-anak migran di Malaysia. Mereka terus menjaga keberlangsungan pendidikan, menawarkan lingkungan pendidikan yang aman dan ramah bagi anak-anak migran Indonesia yang seringkali memiliki akses terbatas ke sekolah formal di negara asal mereka.
Selain itu, pusat bimbingan (SB) yang didirikan oleh Kedutaan Besar Indonesia menawarkan pendidikan yang setara, dengan kurikulum yang sesuai dengan sistem Indonesia, sehingga memungkinkan anak-anak migran Malaysia ini untuk melanjutkan pendidikan mereka di Indonesia dengan lancar.
Pusat bimbingan ini juga mempromosikan kesejahteraan psikososial dan pengembangan karakter, memastikan anak-anak ini mendapatkan dukungan pendidikan yang penting untuk mengatasi kesulitan emosional, menumbuhkan prinsip-prinsip moral, dan membangun harga diri.
Dengan demikian, kita dapat menunjukkan bahwa welas asih dapat membawa transformasi yang bermakna. Pada akhirnya, ini bukan hanya tentang “mereka” atau “kita”, melainkan “kita semua”.
Perjalanan pendidikan anak-anak migran, yang umumnya dianggap sulit, bahkan mustahil, sungguh difasilitasi oleh dukungan orang lain. Kita dapat menjamin bahwa semua anak memiliki akses pendidikan, terlepas dari waktu atau lokasi, dan menawarkan mereka kesempatan yang sama untuk mewujudkan aspirasi mereka melalui kerja sama tim, pemahaman, dan upaya nyata.