Artikel

Santri dan Euforia Perkuliahan : Peran Pengendalian Diri

×

Santri dan Euforia Perkuliahan : Peran Pengendalian Diri

Sebarkan artikel ini
Santri Dan Euforia Perkuliahan : Peran Pengendalian Diri
Ma'rifatul Khoiroh

Santri Dan Euforia Perkuliahan : Peran Pengendalian Diri

OLEH : Ma’rifatul Khoiroh
Mahasiswi IAI Al-Khairat Pamekasan

ARTIKEL – Apakah kalian familiar dengan konsep euforia? Dan apa yang terjadi ketika euforia memengaruhi mahasiswa santri yang baru saja memasuki dunia perkuliahan? Euforia adalah perasaan ketika seseorang mengalami kebahagiaan, kegembiraan, atau antusiasme yang luar biasa secara berlebihan, yakni over untuk mencoba hal-hal baru tanpa berfikir panjang. sehingga mereka sering mengabaikan tanggung jawab dan apa yang seharusnya tidak mereka lakukan. Mengapa demikian?.

Melihat situasi saat ini, banyak santri lulusan pesantren menghadapi hal tersebut ketika mereka melanjutkan pendidikan di universitas. Perubahan lingkungan secara drastis yang sangat berbeda dengan lingkungan sebelumnya.

Kebebasan waktu, interaksi sosial yang luas, kelompok, dan berbagai acara kampus lainnya memengaruhi mereka seolah-olah hal yang biasa dan tidak melampaui batas. Bagaimana dengan kita? Apakah sama? Atau apakah kita telah berhasil mengatasinya secara efektif?.

Maka disinilah kita sekarang, memanfaatkan euforia tersebut terdahap hal-hal yang memang benar-benar positif dengan disiplin diri yang kuat, sehingga mengurangi risiko menyimpang dari nilai-nilai Islam dan prinsip-prinsip pesantren yang mengakar kuat.

Sebagian besar mahasiswa bercita-cita memasuki kehidupan kampus, sebuah fase baru yang sama serunya dengan fase sebelumnya. Kehidupan yang lebih bebas, tanpa aturan yang kaku, memungkinkan mereka untuk bertindak bebas tanpa mempertimbangkan batasan-batasan pesantren sejak mereka meninggalkannya; tanpa pengawasan, tanpa tuntutan atau tekanan, dan kebebasan untuk berinteraksi dengan siapa pun.

Hal inilah yang seringkali memicu euforia di dunia perkuliahan, khususnya hasrat yang kuat untuk menikmati keajaiban kehidupan kampus tanpa menyadari bahwa semua ini dapat berdampak buruk jika tidak disertai dengan pengendalian diri.

Awalnya, sebagian besar santri mungkin merasa mampu mengendalikan diri sendiri, bertekad untuk mempertahankan prinsip-prinsip pesantren dalam pendidikan mereka.

Namun, banyak individu mulai terhanyut oleh meningkatnya tanggung jawab akademik, semakin padatnya organisasi, tekanan gaya hidup modern, dan gelombang media sosial yang seringkali membuat mereka mengabaikan disiplin diri.

Mereka mulai melupakan latar belakang “santri” yang mereka miliki. mengabaikan kedisiplinan, melalaikan salat, mengabaikan waktu belajar, dan bahkan terlibat dalam pergaulan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang mereka junjung tinggi di pesantren.

Namun, identitas seorang santri bukan sekadar label dari sejarah mereka, melainkan representasi dari karakter mereka. Santri sejati bukan sekadar individu yang pernah bersekolah di pesantren, melainkan mereka yang mampu menjunjung tinggi perilaku dan nilai-nilai mereka di mana pun dan kapan pun.

Hal ini berarti tetap setia pada prinsip-prinsip hidup mereka yang selaras dengan nilai-nilai Islam di lingkungan perkuliahan yang cukup bebas. Meskipun demikian, euforia tidak selalu berujung pada hasil negatif jika mahasiswa santri mampu mengelola impuls dan menolak konformitas, sekaligus memiliki keberanian untuk menyatakan “tidak” dan “cukup” kepada diri sendiri dan orang lain.

Hal ini menyoroti pentingnya disiplin diri. Memiliki kemampuan untuk mengatur diri sendiri agar tidak melewati batas, tidak terhanyut oleh tren negatif, dan menolak godaan sesaat. Pengendalian diri bukan tentang mengabaikan kebahagiaan, melainkan tentang mengaturnya agar tetap bermakna dan instruktif. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa santri dapat terlibat dalam organisasi, meraih kesuksesan akademis, dan bersosialisasi secara luas sambil tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dan tata krama.

Menjadi mahasiswa dengan latar belakang santri di kampus tidak hanya menuntut status, tetapi juga tanggung jawab etis. Dunia pendidikan tinggi memberikan kebebasan yang luar biasa, menjamin ilmu yang berlimpah, dan menghadirkan beragam pengalaman.

Pada akhirnya, semua ini akan bermanfaat jika dipadukan dengan disiplin diri untuk menjunjung tinggi identitas dan martabat individu yang diuji. Ini bukan tentang membatasi, tetapi tentang menegakkan batasan untuk mempertahankan posisi yang kuat.

Disiplin diri bertindak sebagai penghalang yang jelas agar tidak terbawa arus dan tersesat di persimpangan. Pada akhirnya, mahasiswa santri perlu menemukan cara untuk menyeimbangkan kegembiraan mereka dengan disiplin diri yang mereka butuhkan.

Prestasi seorang mahasiswa tidak hanya ditentukan oleh hasil akademik atau keterlibatannya dalam berbagai organisasi, tetapi juga oleh kemampuannya mempertahankan nilai-nilai yang telah dijunjungnya setelah meninggalkan pesantren.

Kampus, yang dianggap memberikan kebebasan, menjadi lingkungan baru untuk mengukur kedewasaan mereka dan apakah nilai-nilai ketulusan, disiplin, dan tanggung jawab yang diajarkan di pesantren mampu bertahan di tengah derasnya arus kebebasan dunia perkuliahan.

Pada akhirnya, euforia perkuliahan hanyalah sebuah fase transisi menuju kedewasaan. Semangat generasi muda boleh saja membara, tetapi harus diimbangi dengan kesadaran diri agar tidak terjerumus ke dalam kebebasan yang tak terbatas. Disiplin diri adalah prinsip abadi yang akan membimbing mahasiswa santri untuk tetap terinformasi, beretika, dan berbudi luhur di setiap tahap kehidupannya.