Nasional

Dari Dialog ke Kepercayaan: Lobi Sebagai Elemen Penting Manajemen Krisis Public Relations

×

Dari Dialog ke Kepercayaan: Lobi Sebagai Elemen Penting Manajemen Krisis Public Relations

Sebarkan artikel ini
Dari Dialog ke Kepercayaan: Lobi sebagai Elemen Penting Manajemen Krisis Public Relations
Ilustrasi

Dari Dialog ke Kepercayaan: Lobi sebagai Elemen Penting Manajemen Krisis Public Relations

LIMADETIK.COM, SURABAYA – Dalam era komunikasi publik yang semakin kompleks, krisis pada suatu organisasi tidak lagi muncul sebagai peristiwa tunggal. Krisis dapat berkembang menjadi rangkaian dinamika yang melibatkan berbagai pihak kepentingan politik, ekonomi, sosial maupun media, Sabtu (20/12/2025).

Pada situasi ini, Public Relations (PR) kerap kali dituntut sebagai aktor strategis dimana hal tersebut melampaui fungsi teknisnya. Salah satu elemen penting yang kerap diperdebatkan adalah lobi.

Di tengah citra negatif yang melekat, lobi dalam praktik Public Relations pada hakikatnya berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara organisasi dan pemangku kepentingan. Utamanya dalam konteks manajemen krisis, lobi menjadi ruang dialog strategis dalam upaya menjaga kepercayaan dan mencegah disinformasi.

Lobi Sebagai Penjembatan Kepentingan

Pada dunia PR, lobi memiliki peranan sangat penting. Tidak hanya sebagai sarana menyampaikan kepentingan organisasi, tetapi juga sebagai proses mendengar dan memahami ekspektasi pihak luar sebelum merespons sebuah isu yang sedang berkembang.

Rahmania Zilfi, M.Med.Kom, narasumber yang sudah menggeluti PR 8 tahun terakhir, menegaskan bahwa lobi ialah fondasi dalam membangun komunikasi yang sehat di tengah krisis.

“Peran lobi sangat penting pada dunia PR. Lobi membantu Humas menjembatani kepentingan institusi dengan ekspektasi pihak luar, sekaligus memastikan informasi yang beredar tidak bias dan hoaks. Biasanya kita perlu mendengan terlebih dahulu sebelum menanggapi” ungkapnya.

Pernyataan ini menempatkan lobi bukan sebagai alat dominasi, melainkan sebagai proses komunikasi dua arah yang menuntut empati dan kehati-hatian. Dalam konteks krisis, kemampuan mendengar kerap kali lebih menentukan dibandingkan dengan kecepatan berbicara.

Krisis bukan soal peristiwa, tetapi Respons

Dalam manajemen krisis PR, kepercayaan publik jarang runtuh hanya karena krisis itu sendiri. Melainkan cara organisasi merespons krisis tersebut. Tidak adanya transparansi informasi dan upaya menyembunyikan fakta justru dapat memperparah situasi.

“Biasanya kepercayaan publik bukan turun karena krisis yang terjadi, tetapi bagaimana cara organisasi merespons krisis tersebut. Menyembunyikan fakta justru membuat situasi semakin tidak terkendali”, tegas Zee, panggilannya.

Hal ini memperkuat adanya pandangan bahwa lobi yang tidak melakukan transparansi hanya akan memperparah krisis legitimasi. Dalam situasi penuh tekanan, publik tidak menuntut kesempurnaan, melainkan kejujuran dan tanggung jawab.

Lobi, Integritas dan Keberlanjutan Reputasi

Lebih lanjut, lobi dalam manajemen krisis tidak boleh dipahami sebagai langkah jangka pendek untuk meredam sebuah isu. Lobi harus menjadi bagian dari strategi komunikasi yang terintegrasi dan berkelanjutan. Ketika krisis mulai mereda, maka komunikasi justru tidak boleh berhenti.

Niat baik dan konsistensi menjadi kunci utama keberhasilan lobi. “Lobi harus didasari niat baik untuk berbenah. Ia menjadi bagian dari strategi komunikasi yang terintegrasi, melibatkan civitas akademika untuk mengkomunikasikan pesan secara bersama-sama. Ketika krisis mereda, organisasi sebaiknya tidak berhenti memberikan pembaruan, karena itu penting untuk menjaga reputasi”, tutur Praktisi PR Untag Surabaya itu.

Pandangan tersebut menunjukkan lobi bukan sekadar alat komunikasi elitis, melainkan ruang kolaborasi yang dapat melibatkan berbagai unsur dalam sebuah organisasi.

Menjaga Persepsi dengan Integritas

Pada akhirnya, praktik PR dan manajemen krisis tidak bisa dilepasjan dari ranah persepsi dan relasi. Namun persepsi yang dibangun tanpa integritas akan mudah runtuh.

“Dalam dunia Public Relations dan manajemen krisis, kita pasti bermain di ranah persepsi dan hubungan. Tapi tanpa integritas dan konsistensi, semua yang dibangun akan luruh begitu saja. Tugas kita tetap menjembatani kepentingan organisasi dengan harapan publik, dengan cara yang jujur, proporsional dan tetap memegang nilai-nilai lembaga” tutup Zee.

Lobi sebagai elemen penting manajemen krisis PR tidak seharusnya ditempatkan sebagai praktik komunikasi yang problematis. Ketika lobi dijalankan dengan niat baik, integritas serta keterbukaan, maka lobi justru menjadi kunci dalam membangun kembali kepercayaan public terhadap institusi.

Bagi praktisi maupun akademisi komunikasi, tantangan dewasa ini bukan lagi soal apakah lobi diperlukan, melainkan bagaimana lobi dijalankan secara etis dan berkelanjutan. Di titik ini, Public Relations menunjukkan perannya sebagai penjaga relasi sosial dan bukan sekadar pengelola citra.