Opini

Dari Pelopor Perubahan Menjadi Penjaga Status Quo, Mengungkap Dilema Intelektualitas HMI

×

Dari Pelopor Perubahan Menjadi Penjaga Status Quo, Mengungkap Dilema Intelektualitas HMI

Sebarkan artikel ini
Dari Pelopor Perubahan Menjadi Penjaga Status Quo, Mengungkap Dilema Intelektualitas HMI
Rohaili

Dari Pelopor Perubahan Menjadi Penjaga Status Quo, Mengungkap Dilema Intelektualitas HMI

Oleh : Rohaili
Mahasiswa IAI Al Khairat
KA.bid. PPPA Kom. Al khairat

____________________________

OPINI – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atau biasa dipanggil Rumah Hijau-Hitam merupakan salah satu organisasi tertua dan terbesar yang turut serta mengawal perkembangan Indonesia di awal kemerdekaan. Organisasi ini lahir atas prakarsa mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STI), yang sekarang menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).

Pusat peradaban ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 05 Februari 1947 Masehi. Ayahanda Lafran Pane adalah orang yang memulai ide pembentukan HMI.

Jika kita merefleksikan ulang terhadap sejarah HMI yang dulu dikenal sebagai Rahim organisasi yang melahirkan para pemikir dan aktivis hebat. Diskusi intelektual yang meriah, kajian-kajian terkemuka yang kritis, serta gagasan-gagasan yang berani dan inovatif merupakan ciri khas HMI.

Para pemimpinnya tidak hanya piawai berpidato, tapi juga menganalisis permasalahan kompleks dan merumuskan solusi konstruktif. Merekalah penemu, pionir perubahan dan pengemban aspirasi Masyarakat.

Namun seiring berjalannya waktu, HMI lambat laun kehilangan keintelektualismenya. Antusiasme untuk mendalami wacana intelektual nampaknya mulai memudar. Diskusi-diskusi yang tadinya semarak kini tampak membosankan, penuh retorika tak berarti dan jauh dari analisis mendalam.

Kajian kritis yang tajam digantikan oleh opini-opini yang dangkal dan mudah dibajak. Ide-ide inovatif yang dulunya berani menantang status quo kini tampak terkubur dalam rutinitas organisasi yang menoton. Ibarat sungai yang mengering di musim kemarau, aliran intelektualitas HMI seolah memudar.

Tentu permasalahan ini tidak boleh dibiarkan, yng mana Salah satu akar permasalahan terletak pada sistem kaderisasi. Apakah sistem kaderisasi HMI saat ini masih selaras dengan cita-cita awal Lafran Pane dan para pendiri lainnya?.

Apakah program-programnya mampu mencetak kader yang berilmu, berkualitas, dan mampu berpikir kritis Ataukah sistem tersebut telah terjebak dalam rutinitas yang monoton dan kurang menantang? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu direnungkan secara mendalam.

Dalam hal ini yang harus dilakukan adalah penguatan intelektual disektor akar rumput (kader). Dimana kader yang menjadi sumber dari lahirnya sosok calon pemimpin masa depan dan sebagai agen pembaharu. Penguatan intelektual dan literasi harus terus berjalan.

Sistem kaderisasi HMI saat ini seringkali dilihat sebagai birokratis dan kurang efektif dalam mencetak kader yang berpikir kritis dan inovatif. Banyak kader yang merasa kurang mendapat bimbingan (mentoring) yang memadai dari senior. Diskusi-diskusi internal seringkali lebih berfokus pada hal-hal administratif daripada analisis kritis terhadap isu-isu aktual.

Sebagai contoh, diskusi tentang strategi pencapaian target keanggotaan mungkin lebih sering terjadi daripada diskusi tentang solusi terhadap masalah kemiskinan atau kesenjangan sosial.

Bayangkan seorang kader HMI muda yang memiliki semangat membela lingkungan hidup dan memperjuangkan kedaulatan rakyat, ingin menjadi seperti para pendahulu pendahulu HMI dalam memperjuangkan keadilan bagi seluruh rakyat indonesia, namun terjebak dalam sistem kaderisasi yang lebih mementingkan administrasi ketimbang pengembangan potensi, pelatihan yang relevan pun minim.

Diskusi internal lebih sering membahas target keanggotaan dari pada solusi untuk kemiskinan atau kesenjangan sosial. Ini gambaran umum sistem kaderisasi HMI saat ini: birokratis dan kurang efektif mencetak kader kritis dan inovatif. Reformasi komprehensif dibutuhkan.

Padahal peningkatan atau pengembangan dalam bidang intelektual itu lebih penting dari pada diskusi internal yang hanya ingin mengejar kuantitas belaka, hal ini sesuai dengan tujuan HMI yaitu: “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Alloh SWT”.

Hal lain yang ditakutkan juga adalah dalam proses kaderisasi ada campur aduk politisasi yang mana dalam hal ini akan sangat mengotori visi mulia yang ada di HMI. Tentunya kita semua rindu terhadap HMI yang selalu ada di garda terdepan dalam menyuarakan suara suara rakyat, kita rindu kader-kader HMI yang menjadi kepercayaan Masyarakat dalam menyampaikan keluh kesahnya, karna yang diperlukan sekarang bukan hanya sebuah teori namun, juga bentuk implementasinya.

Maka dari itu sangat penting memupuk kader dari awal, agar kekuatan intelektualnya semakin berkembang sehingga basis massa yang ada dalam HMI akan menjadi penunjang dalam mencapai apa yang menjadi tujuan HMI, serta Gerakan yang dilakukan lebih pasti dan jelas.

Seperti konsep yang pernah ditawarkan oleh Antonio Gramsci bahwa Intelektual berperan penting untuk menggugat jerat ideologis para kaum borjuasi. sebab dengan gerakan pendidikan yang berorientasi pada penyadaran yang bisa melakukan hegemoni secara pemikiran, ide, konsep dan gagasan.

Konsep ini memberikan kesadaran terhadap manusia bahwsa semua pengetahuan yang ada atau yang dimiliki harus diimplementasikan dilapangan karna sejatinya tujuan Pendidikan ialah memanusiakan manusia.

Kita semua tahu, HMI pernah menjadi kiblat intelektual, menghasilkan pemimpin – pemimpin bangsa yang visioner dan berdedikasi. Namun, seiring berjalanya waktu, nyala intelektual itu tampak meredup. Bukan berarti semangatnya hilang, tetapi perlu kembali kita kobarkan! Kita perlu menyulut kembali api perubahan, agar HMI kembali menjadi organisasi yang melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan yang tangguh dan berwawasan luas.

Rumah hijau-hitam yang pernah menjadi benteng intelektual bangsa ini, kini berdiri di persimpangan jalan. Senja telah tiba, namun fajar baru masih mungkin terbit. Apakah bara intelektualitasnya akan padam ditelan zaman, ataukah akan kembali menyala, membakar semangat perubahan dan menerangi jalan menuju Indonesia yang lebih baik?

Jawabannya terletak di tangan kader – kadernya, di tangan para pemikir muda yang berani menantang status quo dan merajut asa untuk masa depan. Mungkinkah HMI kembali menjadi pelopor perubahan, menjadi suara lantang kaum muda yang kritis dan inovatif? Hanya waktu yang akan menjawabnya.”