Fluktuasi Harga Garam: Masuknya Garam Impor Picu Penurunan Harga, Petani Garam Madura Enggan Memproduksi
Oleh : Maya Noravika
Mahasiswa Pascasarjana IPB Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
____________________________
ARTIKEL – Garam adalah salah satu dari sepuluh kebutuhan dasar yang diperlukan oleh masyarakat Indonesia, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 27/M-Dag/PER/52017. Oleh karena itu, garam telah menjadi salah satu komoditas yang memiliki peran strategis dan selalu melibatkan peran aktif pemerintah dalam regulasinya.
Kehadiran pemerintah dalam pengelolaan komoditas garam mencerminkan signifikansinya dalam memenuhi kebutuhan dasar penduduk Indonesia serta menjaga stabilitas harga dan pasokan garam di pasar.
Produksi garam dari lima provinsi penghasil garam terbesar di Indonesia pada tahun 2019 hingga 2021 menunjukkan penurunan yang signifikan terutama pada Provinsi Jawa Timur. Sebagai provinsi penghasil garam terbesar di Indonesia, produksi garam di Jawa Timur pada tahun 2021 turun hingga 44% dari tahun 2019 yaitu sebesar 559.054 ton.
Faktor utama yang menyebabkan penurunan produksi garam adalah cuaca buruk yang tidak menentu, sehingga mengakibatan kegagalan panen bagi sebagian besar petani garam. Namun, tidak kalah pentingnya adalah dampak kebijakan pemerintah terkait impor garam yang sangat longgar.
Harga garam yang rendah akibat adanya impor garam dengan harga yang sangat murah menciptakan situasi dimana petani lokal kehilangan insentif untuk memproduksi garam. Kurangnya daya saing harga dengan garam impor membuat usaha petani kurang menguntungkan dan sebagai akibatnya, mereka kehilangan motivasi untuk melanjutkan produksi garam lokal.
Madura, sebuah pulau yang terkenal dengan keindahan panorama pantainya, juga merupakan tempat tinggal bagi ribuan petani garam yang menggantungkan mata pencaharian utama mereka pada produksi garam. Madura memiliki lapisan kehidupan yang tak terpisahkan dari produksi garam yang melibatkan komunitas petani yang kuat.
Dampak krisis harga garam lokal yang terjadi beberapa tahun terakhir telah meresahkan petani garam di Madura. Ketidakpastian ekonomi ini mengancam keberlanjutan tradisi pertanian garam di Madura dan dapat berdampak negatif pada kesejahteraan sosial maupun ekonomi masyarakat Madura.
Kebijakan impor garam yang longgar di Indonesia telah menyebabkan harga garam di Madura turun secara signifikan, mencapai kisaran harga yang sangat rendah, yaitu antara Rp 1.500 hingga Rp 2.000 per kilogram. Akibat dari harga garam yang sangat rendah ini, banyak petani yang memilih untuk tidak menjual garam mereka dan lebih memilih untuk menyimpan atau menimbunnya.
Sementara itu, strategi menimbun garam juga menciptakan tantangan lain dalam rantai pasokan garam. Hal ini dapat mengarah pada kelangkaan garam di pasar lokal, yang pada gilirannya dapat memengaruhi konsumen dan industri yang bergantung pada garam sebagai bahan baku.
Sama seperti produk pertanian lainnya, harga garam juga dibentuk oleh dinamika permintaan dan penawaran di pasar. Ketika harga garam naik, petani terdorong untuk meningkatkan produksi garam mereka. Namun, ketika harga garam turun di pasar, petani garam lokal kehilangan motivasi untuk memproduksi lebih banyak.
Fenomena ini terjadi secara khusus di Madura, dimana sejak tahun 2019 terjadi penurunan penambak garam secara signifikan. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak tahun 2019 hingga 2021 setidaknya terjadi penurunan penambak garam sebesar 54% di Sumenep, Madura yaitu dari 3.222 orang menjadi hanya 1.735 orang.
Penurunan jumlah penambak garam di Madura menjadi salah satu indikasi bahwa komoditas garam tidak lagi menarik bagi petani. Ketika petani kehilangan minat dalam memproduksi garam, dapa memicu kenaikan harga garam secara perlahan karena stok dalam negeri tidak dapat terpenuhi. Menurut laporan dari Katadata.co.id pada tahun 2022, terjadi lonjakan harga garam lokal hingga mencapai 50%.
Hal ini disebabkan bukan hanya karena gagal panen, melainkan juga karena semakin sedikitnya petani yang bersedia memproduksi garam. Situasi ini menunjukkan kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh sektor pertanian garam di Madura, dengan perubahan preferensi petani yang berdampak signifikan pada keseimbangan pasokan dan permintaan garam, serta pada akhirnya pada harga garam dalam negeri.
Upaya Forum Petani Garam Madura (FPGM) untuk menstabilkan harga dan produksi garam dalam negeri melibatkan penerapan teori harga, dimana petani garam mengusulkan pembentukan lembaga penyangga stok garam dan penetapan Harga Pokok Pembelian (HPP) kepada pemerintah.
Konsep ini sesuai dengan teori harga yang menggambarkan strategi untuk mencapai keseimbangan antara penawaran dan permintaan dalam pasar garam domestik. Dengan adanya lembaga penyangga stok garam, diharapkan dapat diciptakan kestabilan pasokan dan permintaan garam, sehingga dapat mengurangi fluktuasi harga garam yang berlebihan.
Selain itu, penetapan HPP kepada pemerintah dapat menjadi instrumen kontrol yang efektif untuk mencegah penyalahgunaan harga di pasar. Melalui langkah-langkah tersebut FPGM berupaya untuk menjaga keberlanjutan industri garam lokal.
Lebih lanjut, rekomendasi dari Forum Petani Garam Madura (FPGM) juga mencakup dukungan terhadap kebijakan pemerintah terkait impor garam yang difokuskan pada kebutuhan industri dan farmasi. Pendekatan ini sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 126 Tahun 2022, yang menekankan percepatan pemberdayaan dan pengembangan sentra garam rakyat menuju hilirisasi.
Dengan demikian, upaya ini tidak hanya bertujuan untuk mempertahankan stabilitas harga garam di pasar dalam negeri, tetapi juga mendorong pertumbuhan sektor lain seperti industri dan farmasi yang memerlukan pasokan garam yang berkualitas dan terjamin. Dengan mendukung kebijakan impor yang terfokus, diharapkan dapat tercipta keseimbangan yang menguntungkan antara kebutuhan domestik dan pengembangan industri, serta menciptakan sinergi positif bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan petani garam dalam negeri.