Menyikapi Praktik Abuse Of Power di Indonesia
Oleh : Nafi’ah
Mahasiswa Universitas Annuqayah
___________________________________
ARTIKEL – Belakangan ini, media sosial dan berbagai kanal pemberitaan dipenuhi oleh kabar menyedihkan tentang abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di ranah politik, tetapi juga menyusup ke dunia akademik bahkan ke ruang domestik yang mestinya menjadi tempat paling aman bagi individu, khususnya perempuan dan kelompok rentan.
Pembicaraan soal penyalahgunaan kekuasaan mungkin terdengar klise bagi sebagian orang. Namun kenyataan bahwa praktik ini terus berulang membuktikan bahwa idealisme kita sebagai masyarakat sipil tidak boleh padam. Setidaknya, kita harus tetap aware dan kritis terhadap tindakan yang menyimpang dari norma, hukum, maupun etika publik.
Sangat miris melihat bagaimana oknum-oknum tertentu justru mengotori posisi dan privilese yang mereka miliki untuk menindas atau mengeksploitasi pihak yang lebih lemah. Lihat saja kasus pemerkosaan oleh seorang dokter anestesi program PPDS di Unpad, atau pelecehan seksual terhadap 15 mahasiswi oleh guru besar Farmasi UGM.
Belum lagi dugaan kasus korupsi dalam program BSPS di Sumenep yang menyalahgunakan dana yang semestinya untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Ini semua bukan sekadar potret individual, melainkan gambaran sistemik betapa kekuasaan sering kali tidak diawasi dengan baik.
Tentu, dalam aspek hukum, kita tidak kekurangan perangkat. Pasal 17 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan secara tegas melarang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pemerintahan. Ada pula UU Tindak Pidana Korupsi, UU TPKS, serta berbagai aturan lain yang menyasar praktik kekuasaan yang menyimpang. Namun, apakah semua ini sudah cukup?.
Sayang sekali, jawabannya adalah belum.
Masalah utama bukan terletak pada ketiadaan hukum, melainkan pada lemahnya pengawasan dan tidak maksimalnya implementasi hukum itu sendiri. Banyak lembaga yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan justru tumpul atau bahkan ikut bermain dalam praktik yang mereka awasi. Dalam banyak kasus, pelaku justru dilindungi oleh struktur kekuasaan yang membesarkan mereka. Ini menyebabkan rendahnya efek jera dan memperkuat budaya impunitas.
Korban yang berani melapor pun seringkali dihadapkan pada proses yang tidak berpihak mulai dari stigmatisasi, reviktimisasi, hingga ancaman terhadap keselamatan mereka. Tidak heran jika banyak kasus abuse of power akhirnya tidak terungkap karena korban memilih diam demi keamanan pribadi.
Di sinilah pentingnya memperkuat peran pengawasan sosial dan publik. Media, LSM, komunitas akademik, serta masyarakat umum harus menjadi mitra kritis dalam menjaga akuntabilitas kekuasaan. Namun tekanan publik saja tidak cukup, reformasi kelembagaan adalah keniscayaan, dari internalisasi nilai etika di birokrasi dan institusi pendidikan, hingga pembentukan sistem pelaporan yang aman dan terpercaya bagi korban serta pelapor (whistleblower).
Sebagai masyarakat, kita juga harus mendorong terwujudnya sistem rekrutmen, promosi, dan evaluasi pejabat publik yang berbasis pada integritas dan akuntabilitas, bukan kedekatan atau loyalitas semu. Di sisi lain, pendidikan etika harus menjadi bagian dari pembelajaran sejak dini, karena penyalahgunaan kekuasaan bukan hanya soal jabatan, tapi mentalitas.
Penyalahgunaan kekuasaan adalah penyakit yang hanya bisa diberantas dengan kerja sistemik, partisipatif, dan konsisten. Selama pengawasan masih lemah, sistem hukum belum berpihak sepenuhnya pada korban, dan pelaku merasa aman dalam jaring kekuasaan mereka, maka kasus-kasus seperti ini akan terus berulang. Saatnya kita tidak lagi hanya mengutuk, tetapi mendorong perubahan nyata.