Artikel

Pemerintah Tak Hadir, Rakyat Terluka: Sumenep di Titik Nol Kemanusiaan

×

Pemerintah Tak Hadir, Rakyat Terluka: Sumenep di Titik Nol Kemanusiaan

Sebarkan artikel ini
Pemerintah Tak Hadir, Rakyat Terluka: Sumenep di Titik Nol Kemanusiaan
Mamluatul Hasanah

Pemerintah Tak Hadir, Rakyat Terluka: Sumenep di Titik Nol Kemanusiaan

Oleh: Mamluatul Hasanah
Mahasiswi Universitas Annuqayah

_____________________________

ATTIKEL – Sumenep sedang terluka. Bukan luka biasa, melainkan luka yang lahir dari diamnya pemimpin dan membesarnya penderitaan rakyat. Ketika krisis demi krisis datang bertubi-tubi, pemerintah daerah justru sibuk mencari kalimat pembelaan, bukan solusi nyata. Kegagalan demi kegagalan dipoles dengan pernyataan normatif, sementara di baliknya rakyat menjerit dalam diam.

Mulai dari rencana survei seismik di Kangean yang ditolak warga karena dianggap tidak berpihak pada masyarakat lokal. Pemerintah daerah justru bersikap pasif, seolah tidak punya kuasa melindungi warganya dari eksploitasi yang terbungkus atas nama pembangunan. Di sinilah awal dari masalah: ketika pemimpin tidak berpihak, siapa lagi yang bisa dipercaya?.

Lalu, kasus pencabulan terhadap santri. Peristiwa tragis ini tak hanya menghancurkan masa depan anak-anak, tapi juga mengoyak sendi moral masyarakat. Pemerintah lambat merespons, pendampingan minim, dan suara korban tak kunjung mendapat keadilan. Dalam kondisi seperti ini, negara benar-benar terasa jauh, padahal kekerasan itu terjadi hanya beberapa kilometer dari kantor mereka.

Dugaan korupsi dana bantuan rumah rakyat kecil juga menunjukkan wajah buruk birokrasi. Ratusan miliar rupiah menguap tanpa bekas, dan lagi-lagi, rakyat kecil menjadi korban. Mereka yang seharusnya mendapat tempat tinggal layak justru dikhianati oleh pejabat yang diberi mandat untuk melayani.

Kelangkaan gas elpiji bersubsidi, maraknya tambang galian ilegal, hingga peredaran rokok tanpa cukai hanyalah fragmen dari satu narasi besar: ketidakbecusan pemerintah daerah. Semua ini terjadi karena pengawasan lemah, penindakan setengah hati, dan prioritas kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Pemerintah tampak lebih sibuk memelihara citra daripada menyelamatkan kondisi riil di lapangan.

Kemanusiaan di Sumenep hari ini seperti barang murah. Ditinggalkan begitu saja demi menjaga kenyamanan birokrasi. Sementara ibu-ibu antre gas hingga larut malam, anak-anak trauma karena kekerasan, dan masyarakat desa takut bencana karena tambang liar, para pejabat masih duduk tenang di ruang rapat ber-AC dengan kopi hangat dan notulen kosong.

Ini bukan hanya tentang kurangnya tindakan. Ini tentang hilangnya kepekaan. Tentang ketidaksanggupan pejabat publik melihat penderitaan sebagai tanggung jawab. Ketika suara mahasiswa diabaikan, ketika kritik dianggap serangan, dan ketika penderitaan dianggap rutinitas, maka kita tidak sedang menjalankan roda pemerintahan, melainkan hanya mempertahankan kursi.

“Pray for Sumenep Merah” bukan hanya sebuah frasa emosional. Ia adalah sinyal bahaya. Sebuah jeritan kolektif dari masyarakat yang merasa dikhianati oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka. Ini bukan saatnya lagi untuk menyusun pernyataan pers atau membuat tim kecil. Ini saatnya bagi pemkab Sumenep untuk bertanya jujur pada diri mereka: sudahkah mereka benar-benar hadir untuk rakyat?
Jika jawabannya masih ragu, maka mungkin yang terluka bukan hanya rakyatnya. Tapi juga nurani para pemimpinnya.