Opini

Pemuda dan Krisis Kesadaran Sosial: Refleksi 97 Tahun Sumpah Pemuda

×

Pemuda dan Krisis Kesadaran Sosial: Refleksi 97 Tahun Sumpah Pemuda

Sebarkan artikel ini
Pemuda dan Krisis Kesadaran Sosial: Refleksi 97 Tahun Sumpah Pemuda
Moh. Jazuli

Pemuda dan Krisis Kesadaran Sosial: Refleksi 97 Tahun Sumpah Pemuda

OLEH: Moh. Jazuli
Aktivis Mahasiswa Sumenep

______________________________

ARTIKEL – Tahun ini, bangsa Indonesia memperingati 97 tahun Sumpah Pemuda, tonggak bersejarah lahirnya semangat kebangsaan yang menyatukan berbagai suku, bahasa, dan agama di bawah panji “Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia.”

Namun, di tengah gegap gempita peringatan seremonial, kita patut bertanya dengan jujur, bagaimana kondisi kesadaran kebangsaan pemuda hari ini?. Jika Sumpah Pemuda 1928 lahir dari kegelisahan terhadap penjajahan, maka tantangan pemuda hari ini justru lahir dari penjajahan yang lebih halus, penjajahan kesadaran.

Di era digital yang serba cepat, pemuda dihadapkan pada banjir informasi tanpa filter (posh truth), budaya instan, serta tekanan eksistensial dari media sosial. Fenomena krisis kesadaran ini tampak dalam menurunnya minat pemuda terhadap isu sosial dan kebangsaan, rendahnya literasi politik, dan meningkatnya individualisme.

Pemuda hari ini banyak yang enggan aktif mengikuti kegiatan sosial atau organisasi kemasyarakatan. Tantangan utama pemuda hari ini bukan pada kurangnya akses atau kesempatan, tetapi krisis makna dalam berbangsa dan bernegara. Generasi muda, perlu menemukan kembali panggilan
moral untuk menjadikan kebangsaan sebagai proyek peradaban, bukan sekadar identitas
administratif.

Indonesia sat ini sedang menikmati bonus demografi, dengan 52% penduduk berusia di bawah 35 tahun dan pada tahun 2030 meningkat sebesar 68.3%. ini adalah peluang emas untuk mendorong produktivitas, dan pembangunan. Namun potensi bonus ini bisa berubah menjadi beban jika tidak diimbangi kesadaran kritis dan tanggung jawab sosial.

Hari ini, pemuda tidak hanya harus cerdas secara intelektual, tetapi juga harus memiliki empati sosial dan daya juang untuk memperbaiki tatanan sosial.

Tapi, banyak pemuda justru terjebak
dalam budaya flexing dan konsumsi digital yang menjauhkan mereka dari realitas masyarakat bawah. Padahal, Tan Malaka pernah berkata “bila kaum muda yang terpelajar menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat bawah, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”.

Sumpah Pemuda 1928 adalah hasil dari kesadaran kolektif, para pemuda yang berbeda latar belakang menanggalkan ego sektoral demi cita-cita bersama. Semangat itu sekarang perlu direinterpretasi, bukan dengan nostalgia, tetapi dengan aksi nyata. Sebagaimana diungkapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tahun 1945, “Beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncangkan dunia.”

Kalimat ini bukan hanya retorika, tapi pengingat bahwa perubahan besar selalu dimulai dari kesadaran kecil yang menular. Maka refleksi 97 tahun Sumpah Pemuda seharusnya tidak berhenti pada seremonial tahunan saja, dia harus menjadi momen kontemplatif bagi generasi muda untuk menegaskan kembali identitas dan tanggung jawab sejarahnya.

Pemuda Indonesia hari ini harus berani bertanya, apakah kita masih menjadi pewaris semangat 1928, atau justru menjadi generasi yang kehilangan arah dalam kebisingan zaman?.

Bangsa ini tidak menuntut pemuda yang sempurna, tetapi pemuda yang sadar akan sejarahnya, potensinya, dan tanggung jawabnya terhadap masa depan negeri.