PT Garam Sumenep: Sebagai Alat Mensejahterakan Rakyat atau Kepentingan Rezim?
OLEH : Febri Puji Lesmana
Aktivis MFL Kabupaten Sumenep
______________________________
ARTIKEL – PT garam yang diberi amanah untuk mengelola tanah negara sebagaimana diatur dalam UU, kini di Sumenep lahan negara yang dikelola PT garam justru banyak lahan terlantar. Sedangkan dari pihak masyarakat sekitar banyak mengajukan perizinan pemanfaatan dan pemberdayaan lahan PT garam, tetapi ditolak tanpa adanya alasan jelas.
Bila dilihat daripada tanah terlantar, menunjukkan secara eksplisit PT garam mulai membatasi terkait perizinan pemberdayaan pegaraman di Sumenep dengan kelompok masyarakat atau perorangan.
Sedangkan menurut Pasal 4-6 UU 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan & Petambak Garam menegaskan bahwa petambak garam berhak atas pemberdayaan dan akses terhadap sumber daya lahan dan sarana produksi, termasuk melalui kemitraan dengan BUMN.
Ini menunjukan bahwa PT garam saat ini mulai melenceng dari UU tersebut. Karena penolakan atas kelompok masyarakat ataupun perorangan yang mengajukan kerjasama dengan PT garam atas pemberdayaan lahan pegaraman. Padahal menurut UU ini, hak bagi petambak garam.
Dan di dalam prinsip fungsi sosial juga jelas bahwa diwajibkan bagi pengelola tanah untuk memelihara tanah dan memanfaatkan secara baik, dan itu terlampir dalam UUPA.
Kewajiban ini dikhususkan kepada PT garam selaku yang diamanahkan hak oleh Negara dalam mengelola tanah Negara, yangharus digunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan rakyat.
Namun, jika PT garam mulai membatasi kerjasama dengan kelompok masyarakat ataupun perorangan, PT garam mulai melenceng dari prinsip. Artinya PT garam mulai mengesampingkan kesejahteraan masyarakat demi keuntungan oknum didalamnya.
Dengan adanya ketegangan ini, mulai timbul spekulasi bahwa adanya penyelewengan kekuasaan didalam PT garam, seperti pemberian kontrak secara ilegal ataupun pemberian izin usaha yang tidak sesuai regulasi hukum berlaku.
Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya berita dari beritajatim.com yg ditulis oleh Remmy P. Jika isu ini benar, maka patut dipertanyakan PT garam sebagai BUMN apakah sudah menjalankan prinsip Good Corporate Governance (GCG) atau justru tidak sama sekali.
Banyak dampak dari isu ketegangan antara PT garam dengan masyarakat. Masyarakat dari jaman kolonial memang sudah menggantungkan hidupnya kepada hasil dari membudidaya pegaraman ini, justru itu tidak akan dapat lagi. Dan ini memicu bertambahnya kemiskinan dan kemakmuran rakyat hanya akan menjadi dongeng sebelum tidur.
Jika penolakan ini terus berlanjut, sementara lahan garam siap produksi justru terlantar dan menjadi tidak produktif, ini merupakan suatu kerugian bagi Negara.
Hak pengelolaan yang diamanahkan kepada PT garam dengan mimpi untuk mensejahterakan masyarakat, justruk berbalik arah. Pemerintah harus turun dan benar-benar melakukan pengecekan secara objektif sehingga ini tidak sekedar menjadi isu, tetapi juga menjadi urgensi negara untuk segera mengatasi pokok permasalahan ini.
Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
PT garam yang mulai membatasi kerjasama dengan masyarakat, justru jauh dari kata makmur. Bahkan negarapun dirugikan dengan timbulnya tanah terlantar.
Maksud dari pasal diatas adalah sumber daya alam Indonesia dipergunakan demi kemakmuran seluruh rakyat. Bukan hanya eksploitasi semata dan hanya digunakan untuk kepentingan pribadi oknum didalamnya.
Bukan hanya dalam perkataan saja, melainkan tunjukkan kepada masyarakat, jika memang PT garam layak diamanahkan oleh Negara untuk mengelola aset Negara dengan menerapkan prinsip Good Corporate Governance (GCG) ataupun Social License to Operate.
Dengan ini besar harapan kepada Pemerintah Kabupaten Sumenep terkhusus DPRD Kabupaten Sumenep Komisi II untuk mengusut tuntas isu ketegangan antara PT garam dan masyarakat. Lakukan pemeriksaan secara menyeluruh dan transparan, sehingga masyarakatpun bisa melihat profesionalitas kinerja DPRD Kabupaten Sumenep.
Komisi II DPRD Kabupaten Sumenep, berbagai informasi dari berita secara aktif memanggil dan berkoordinasi dengan PT Garam terkait isu-isu kebijakan dan kinerja PT Garam, sehingga dalam hal ini DPRD Kabupaten Sumenep seharusnya mampu menyelami isu ketegangan ini dan mulai membenahi.
Dan kepada Menteri BUMN, sebagai pemegang saham utama atau sebegai wakil pemegang saham mayoritas, memiliki peran sentral dalam pembinaan dan pengawasan PT Garam. Diharapkan juga mengusut tuntas apa yang telah terjadi dilapangan.
Sebagai badan hukum yang menjalankan amanah Negara, seharusnya PT Garam menjadi pelopor utama penegakan prinsip fungsi sosial, sehingga apa yang dicita-citakan Pasal 33 ayat (3) bisa terealisasikan dan tunduk kepada prinsip Good Corporate Governance (GCG) sebagai BUMN strategis.
Apalagi, garam termasuk komoditas strategis nasional, sehingga BUMN seharusnya menjadi fasilitator bagi petambak, bukan pesaing langsung.










