Yang Penting Jadi Kader
Oleh: Noris Soleh
Kader HMI Cabang Pamekasan Komisariat Al-Khairat
______________________________
OPINI – “Yang penting jadi kader” menjadi isu yang marak di kalangan mahasiswa, khususnya di lingkungan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Banyak mahasiswa yang menganggap bahwa mereka telah melaksanakan seluruh tugas sebagai kader setelah menyelesaikan Latihan Kader 1 (LK 1) tingkat pertama, seolah-olah sertifikat keanggotaan dan gelar merupakan puncak dari proses pendidikan kader.
Padahal, LK 1 merupakan langkah awal menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang kepemimpinan, filosofi, dan tanggung jawab sosial. Ironi bahwa sebagian besar peserta LK 1 setelah itu “menghilang” dari radar aktivis hal ini perlu ditelaah lebih lanjut.
Masalah ini muncul akibat kesalahpahaman tentang apa itu kaderisasi. Banyak mahasiswa yang tidak melihat LK 1 sebagai proses pertumbuhan intelektual dan spiritual, tetapi lebih sebagai proses administratif atau gelar untuk dipamerkan.
Mereka tidak memahami makna mendasar dari pelatihan, mereka hanya mengikutinya karena ingin dianggap telah “masuk” ke dalam lingkaran kaderisasi. Setelah LK 1, struktur kaderisasi saat ini sering kali gagal menjaga semangat kader.
Tidak ada jaringan yang kuat, pendampingan berkelanjutan, atau ruang yang cukup untuk sepenuhnya mewujudkan potensi yang ditemukan selama pelatihan. Kader-kader muda ini lambat laun kehilangan minat dan ikatan dengan organisasi sebagai akibatnya.
Anggapan bahwa “Yang penting jadi kader” telah merasuki pola pikir sebagian besar kader HMI.
Mereka merasa telah menuntaskan “tugas” setelah berhari-hari mengikuti serangkaian pelatihan. Padahal, LK 1 hanyalah awal dari perjalanan panjang pengabdian dan pengembangan pribadi. Anggapan ini memiliki konsekuensi yang sangat berbahaya.
Para pemuda yang seharusnya menjadi agen perubahan justru tersisih dari organisasi. Mereka yang dulunya menjadi penyemangat dan inspirasi selama pelatihan kini hanya menjadi “Anggota Buta” tanpa kontribusi nyata.
Menjadi kader merupakan proses dinamis yang menuntut pengabdian terus-menerus, bukan sekadar posisi yang tetap. Setelah mengikuti LK 1, seorang kader sejati memulai perjalanannya untuk:
1. Mengamalkan cita-cita yang diajarkan
2. Mengembangkan kapasitas intelektual
3. Memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat
4. Terus-menerus menguji dan menilai diri sendiri
Paradigma kader harus diubah secara mendasar. Organisasi harus:
1. Menetapkan program pembinaan jangka panjang
2. Memberikan ruang nyata bagi keterlibatan
3. Menawarkan pendampingan pasca-LK 1
4. Membangun jaringan yang kuat di antara para kader.
Kader muda perlu menyadari bahwa LK 1 adalah komitmen awal mula dari se seumur hidup untuk belajar, berkontribusi, dan memperbaiki diri, bukan sekadar mengikuti pelatihan. LK 1 adalah titik awal, bukan tujuan.
Makna mendasar dari pembinaan kader masih belum diketahui oleh orang-orang yang merasa “cukup” setelah mengikuti LK 1. Mereka yang tekun berproses, belajar, dan terus berkontribusi terhadap perubahan dianggap sebagai kader sejati.
Saatnya menghilangkan kekeliruan tentang anggapan.”Yang penting jadi kader” dan menciptakan budaya pembinaan kader yang lebih terarah, berkelanjutan, dan berfokus pada perubahan sosial yang lebih signifikan.